Tahukah kita bahwa sebagian orang memiliki perilaku yang secara etis lebih baik daripada kebanyakan orang-orang Kristen? Tahukah kita bahwa sebagian orang sangat bersimpati terhadap kekristenan tetapi mereka tidak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat? Tahukah kita bahwa sebagian orang Kristen yang rajin beribadah ke gereja ternyata tidak pernah mengalami perjumpamaan pribadi dengan Kristus? Moralitas yang mereka tunjukkan merupakan hasil pola pembinaan dalam keluarga. Apakah semua moralitas yang baik dan simpati yang tulus terhadap kekristenan ini cukup?
Hari ini kita akan mempelajari pergumulan seorang tokoh Alkitab yang hanya dicatat di dalam Injil Yohanes. Namanya Nikodemus. Pertemuan pertamanya dengan Yesus mengajarkan sebuah pelajaran penting: menjadi orang baik saja ternyata tidak cukup. Ada yang lebih esensial daripada sekadar moralitas humanis dan simpati terhadap kekristenan, yaitu kelahiran kembali oleh Roh Kudus.
Kesalehan yang menipu
Kita kadangkala terkecoh dengan kesalehan seseorang, karena kita memahami ‘kesalehan’ secara keliru. Kita terlalu terfokus pada penampilan luar seseorang tanpa memperhatikan keadaan rohani orang itu dari dalam. Apa saja yang berpotensi mengecoh penilaian kita?
Antusiasme terhadap hal-hal spektakuler
Pembagian perikop dalam terjemahan modern kadangkala mengaburkan keterkaitan antara suatu bagian dengan bagian di sekitarnya. Hal ini pula yang kita hadapi di Yohanes 3. Dari sisi sintaks, pasal 2:23-25 dan 3:1-12 sebenarnya sangat berkaitan. Pemunculan frasa “adalah seorang manusia dari antara orang-orang Farisi (anthrōpos ek tōn pharisaiōn)” di 3:1 terlihat janggal, karena Yohanes bisa saja menggunakan ungkapan yang lebih umum, misalnya “seorang Farisi” (tis tōn pharisaiōn, Luk 7:36) atau bentuk tunggal Pharisaios (Luk 11:37; Kis 5:34; 26:5). Penggunaan kata ‘manusia’ (anthrōpos) pasti dimaksudkan untuk menampilkan Nikodemus sebagai perwakilan dari orang banyak yang percaya kepada Yesus sesudah melihat tanda-tanda ajaib yang Ia lakukan (2:25 “...tentang manusia...di dalam hati manusia”). Selain itu, pemunculan kata ‘tanda-tanda’ disertai kata ganti penunjuk ‘itu’ di 3:2 (tauta ta sēmeia) jelas merujuk pada tanda-tanda yang disebutkan sebelumnya, yaitu di 2:23-25. Jika Nikodemus adalah perwakilan dari orang banyak di 2:23-25, maka Ia termasuk orang yang kepadanya Yesus tidak mau mempercayakan diri-Nya (2:24) karena Ia melihat sampai kedalaman hati manusia (2:25), bukan hanya antusiasme luar yang terlihat bersemangat.
Hal ini tidak berarti merendahkan nilai mujizat. Semua tanda yang dicatat dalam Injil Yohanes dimaksudkan sebagai sarana iman (20:30-31). Murid-murid Tuhan Yesus juga percaya kepada-Nya sesudah melihat tanda (2:11). Bagaimanapun, percaya tanpa melihat tanda merupakan iman yang ditekankan dalam Injil Yohanes (20:29; bdk. 4:48). Orang Yahudi yang menentang Yesus selalu menuntut tanda (2:18; 6:30). Melihat tanda bukan jaminan bagi iman (12:37). Sebagian orang bahkan memperalat tanda untuk kepentingan jasmani mereka (6:26). Pendeknya, para pencari tanda yang antusias justru memberi tanda buruk atas kerohanian mereka.
Pengetahuan kitab suci yang baik
Nikodemus disebut sebagai Farisi (3:1). Golongan Farisi terkenal karena pengetahuan dan kegigihan mereka dalam menaati setiap detil perintah Taurat, baik secara tertulis maupun lisan. Banyak aturan yang mereka tambahkan sendiri (8:15 ‘kamu menghakimi menurut ukuran manusia’; bdk. Mat 15:3) untuk menegaskan kesalehan mereka. Tidak jarang mereka menganggap diri lebih menguasai kitab suci daripada orang-orang kebanyakan (7:48-49).
Sebutan lain yang dikenakan pada Nikodemus adalah ‘pengajar Israel’ (3:10). Penggunaan artikel di depan ‘pengajar Israel’ (ho didaskalos tou Israēl) meyakinkan banyak penafsir bahwa Nikodemus bukanlah pengajar yang sembarangan. Ia seorang ahli kitab suci yang terpandang. Ia bahkan memulai percakapan dengan pernyataan: ‘kami tahu’ (3:2). Keheranan Tuhan Yesus terhadap ketidaktahuan Nikodemus (3:10) juga menyiratkan betapa seorang pengajar Israel seharusnya mengetahui banyak hal dalam kitab suci.
Pengetahuan teologi ternyata tidak cukup. Mengenal Bapa hanya dimungkinkan melalui Yesus Kristus, karena Dialah satu-satunya yang pernah melihat Bapa (1:18). Dia adalah kebenaran yang sejati yang melalui-Nya orang dapat datang kepada Bapa (14:6). Kitab suci digenapi di dalam Dia (2:22; 7:38; 17:12), sehingga menyelidiki kitab suci tanpa mengakui Dia adalah kesia-siaan.
Apresiasi terhadap Yesus
Nikodemus adalah ‘seorang pemimpin agama Yahudi’ (3:1). Dalam teks asli dan semua versi modern tidak ada tambahan ‘agama’ (archōn tōn Ioudaiōn, lit. ‘pemimpin orang-orang Yahudi’). Walaupun frase archōn tōn Ioudaiōn bisa merujuk pada pemerintah daerah atau nasional (Sanhedrin, LAI:TB lebih memilih istilah ‘Mahkamah Agama’), kemungkinan besar istilah ini menyiratkan bahwa Nikodemus adalah anggota Sanhedrin (synedrion), sebuah badan tertinggi pemerintahan Yahudi (NIV ‘a member of the Jewish ruling council’), karena ia berdomisili di Yerusalem dan keterkaitannya dengan para imam dan imam kepala (7:45-52). Fakta bahwa di antara banyak pemimpin yang bersimpati kepada Yesus (12:42) hanya nama Nikodemus yang disebutkan (3:1; 7:50-51; 19:39) mungkin menunjukkan bahwa ia merupakan salah satu tokoh penting dalam Sanhedrin.
Sebagai seorang anggota Sanhedrin, kerelaan Nikodemus untuk menjumpai Yesus merupakan hal yang patut dipuji. Orang Yahudi di Yerusalem cenderung memandang rendah orang Yahudi lain yang berasal dari propinsi Galilea (7:52). Bahkan di mata sesama penduduk Galilea, kota asal Yesus – yaitu Nazearet – tidak masuk hitungan (1:45-46). Jika seorang dari Yerusalem dan anggota Sanhedrin berkenan mendatangi Yesus, hal itu bukan pemandangan yang biasa.
Bagaimanapun, datang kepada Yesus secara fisik tidaklah cukup. Walaupun Nikodemus memberanikan diri datang kepada terang (3:19-21), tetapi Ia masih memilih datang di tengah kegelapan malam, yang dalam Injil Yohanes menyimbolkan kegelapan kerohaniannya (11:10; 13:30) akibat takut kepada orang-orang Farisi yang lain (7:13; 9:22; 19:38). Banyak orang juga datang kepada Yesus dengan motivasi yang keliru (6:24-26), sehingga mereka tidak dapat bertahan (6:66). Hanya mereka yang datang karena diberikan (6:37, 39), ditarik (6:44), dan dikaruniai (6:65) oleh Bapa. Jadi, mereka sebetulnya tidak sungguh-sungguh mau datang dan percaya kepada Kristus (2:23-25; 12:42-43).
Pengakuan terhadap Yesus
Ada dua pengakuan yang diutarakan Nikodemus. Ia menyebut Yesus sebagai ‘guru’ (3:2 rabbi). Ini bukan pengakuan yang sembarangan. Nikodemus sendiri adalah seorang guru (3:10), namun ia mau mengakui orang lain yang tidak memiliki latar belakang studi Taurat yang formal (7:15 “bagaimanakah orang ini memiliki pengetahuan demikian tanpa belajar?”) sebagai guru.
Pengakuan terhadap Yesus sebagai ‘guru’ tidaklah cukup. Pengakuan ini menuntut ‘tinggal bersama Yesus’ (1:38-39; bdk. orang banyak di 6:25-26, 66). Pengakuan sebagai guru juga harus disertai dengan pengakuan sebagai Tuhan (13:13). Dua sebutan ini menuntut peniruan tingkah laku dan ketaatan (13:14).
Nikodemus juga mengakui Yesus sebagai seorang yang diutus dan disertai oleh Allah (3:2). Hal ini sesuai dengan ucapan Yesus sendiri bahwa Ia diutus dan disertai oleh Bapa (8:29, 42; 7:29; 16:32). Dibandingkan dengan orang-orang Farisi lain yang menuduh Yesus tidak datang dari Allah (9:16a), Nikodemus termasuk sangat baik. Pengakuan yang sama juga diungkapkan orang buta sejak lahir pada saat ia berdebat dengan orang-orang Farisi (9:33).
Pengakuan ini juga tidak memadai. Yesus bukan hanya diutus oleh Allah seperti nabi-nabi yang lain, tetapi Ia datang dari surga (3:13). Ia tidak hanya disertai oleh Bapa, tetapi Ia sejak kekekalan selalu bersama-sama dengan Bapa-Nya (1:1-2). Ia adalah Allah sendiri (1:1-2, 18).
Kelahiran kembali adalah pembedanya!
Terlepas dari semua kelebihan yang ditunjukkan oleh Nikodemus, terutama apabila dibandingkan dengan orang-orang Yahudi atau Farisi yang lain, Tuhan Yesus ternyata tidak terkesan. Ia mengenal hati semua orang (2:24-25), termasuk Nikodemus. Nikodemus membutuhkan perubahan dari dalam, bukan dari luar. Ia memerlukan kelahiran baru (3:3-5), bukan sekadar perubahan perilaku; pertobatan yang bersumber dari pekerjaan Roh Kudus, bukan sekadar ketaatan pada norma dan legalitas Taurat. Dia perlu dilahirkan kembali.
Apakah kelahiran kembali itu? Pertama, kelahiran kembali merupakan syarat untuk masuk dalam Kerajaan Allah (3:3, 5). Berpijak pada kebiasaan Yohanes dalam menggunakan sinonim, kita sebaiknya tidak membedakan antara ‘melihat’ (3:3) dan ‘masuk’ (3:5) Kerajaan Allah. Kerajaan ini bukan berasal dari dunia, melainkan dari atas (18:36). Di lain pihak, dunia berada dalam kekuasaan si jahat (12:31; 16:11). Mereka yang tidak dilahirkan kembali tetap akan menjadi anak-anak Iblis (8:41-42, 44).
Kedua, kelahiran kembali berarti kelahiran dari atas. Kata anōthen (3:3, 7) bisa berarti ‘kembali’ (Luk 1:3) atau ‘dari atas’ (Mat 27:51//Mar 15:38). Nikodemus menangkap arti yang pertama (Yoh 3:4), padahal pemunculan kata anōthen di Injil Yohanes selalu merujuk pada arti yang kedua (3:31; 19:11, 23). Seandainya ia membaca prolog Injil Yohanes (1:1-18) seperti para pembaca injil ini, ia pasti mengetahui bahwa kelahiran anōthen bukan hanya merujuk pada kelahiran kedua, namun kelahiran yang dilakukan oleh Allah (1:12-13). Kontras antara kelahiran dari daging dan dari Roh di 3:6 sejajar dengan kontras antara kelahiran dari keinginan manusia dan dari Allah di 1:13.
Ketiga, kelahiran kembali adalah pekerjaan ilahi. Salah satu poin penting yang sering diabaikan adalah bentuk pasif dari ‘kelahiran kembali’. Dari tujuh kali pemunculan kata ini di teks Yunani pasal 3:1-12, semua dalam bentuk pasif (3:3, 4, 5, 6, 7, 8). Hal ini sesuai dengan pengetahuan umum tentang kelahiran: semua bayi adalah dilahirkan. Apa yang dikatakan Tuhan Yesus di 3:3 dan 3:5 bukanlah sebuah perintah (Nikodemus tidak mungkin bisa melahirkan dirinya sendiri secara rohani). Penggunaan kata ‘seseorang’ (tis) di dua ayat ini menyiratkan bahwa ini adalah sebuah pernyataan yang berlaku bagi semua manusia, bukan sebuah perintah khusus untuk Nikodemus.
Keempat, kelahiran kembali adalah kelahiran dari air dan Roh (3:5). Kata ‘air’ dan ‘Roh’ di ayat ini dihubungkan dengan kata sambung ‘dan’ (kai) serta dipayungi oleh satu kata depan (ex atau ek), sehingga menurut kaidah tata bahasa Yunani dua kata benda tersebut merujuk pada satu hal, bukan dua jenis kelahiran yang berbeda. Lebih jauh lagi, teguran Tuhan Yesus kepada Nikodemus bahwa sebagai pengajar Israel ia seharusnya tahu apa maksud dari kelahiran ini (3:10) memberi petunjuk bahwa kelahiran dari air dan Roh bersumber dari konsep Perjanjian Lama. Teks yang sedang dipikirkan Tuhan Yesus adalah Yehezkiel 36:25-27, karena ide tentang ‘air’, ‘roh’, dan ‘pembaruan dari hati’ muncul bersamaan dalam teks ini. Jadi, kelahiran dari air dan Roh merupakan penggenapan dari nubuat kitab suci sebagai bagian dari pemulihan yang akan dilakukan oleh Mesias. Roh Kuduslah yang mampu membersihkan hati manusia yang mengandung motivasi buruk (2:24-25) dan memampukan mereka untuk menaati Allah dengan konsep yang benar.
Kelima, kelahiran kembali tidak ditentukan oleh hal-hal yang bersifat jasmaniah (3:6-7). Kontras yang tegas antara kelahiran daging dan Roh di 3:6 pasti mengagetkan Nikodemus (bdk. 3:7, 9), sebab orang-orang Yahudi meyakini bahwa mereka semua – berdasarkan keterkaitan biologis/etnis – adalah anak-anak Allah (8:33, 39, 41, 53). Mereka juga memandang rendah bangsa lain (8:48). Pandangan ini dengan tegas ditentang oleh Tuhan Yesus. Orang-orang Yahudi yang tidak percaya kepada-Nya adalah anak-anak Iblis (8:44). Mereka lahir dalam keadaan buta secara rohani (9:40-41). Faktor biologis maupun jasmaniah lain tidak menentukan kelahiran kembali.
Keenam, kelahiran kembali dapat dilihat dari hasilnya (3:8). Proses kelahiran kembali tidak terlihat oleh mata, namun hasil dari proses itu tetap dapat dirasakan. Orang yang lahir baru pasti menunjukkan iman yang benar kepada Tuhan Yesus (1:12-13). Di samping itu, Injil Yohanes beberapa kali mengajarkan keterkaitan erat antara status anak dan kemiripan tingkah laku dengan bapa. Status seseorang sebagai anak, entah itu anak-anak Allah atau anak-anak Iblis, dapat dilihat dari tingkah laku mereka: semua orang akan meniru perbuatan bapanya masing-masing (8:41-44, 47; lihat juga 8:39; 12:36). Pendeknya, walaupun orang yang terlihat saleh belum tentu sudah dilahirbarukan oleh Allah, namun orang yang sudah mengalami kelahiran kembali pasti menunjukkan kesalehan di dalam dirinya.
Apakah kita selama ini bersikap baik hanya sebagai hasil disiplin dari sebuah pola pembinaan keluarga yang santun? Apakah kebaikan kita lebih didorong oleh faktor dari luar (tuntutan jabatan, norma masyarakat, upaya menghindari masalah, dsb.) atau dari dalam (kelahiran kembali oleh Allah)? Apakah kita hanya terobsesi dengan pengetahuan teologi yang mendalam tanpa perjumpamaan secara pribadi dengan Kristus? Ingat, semua itu hanya melahirkan kesalehan yang semu dan keyakinan keselamatan yang menyesatkan. Soli Deo Gloria.