Selama bulan Januari 2014 ini kita sudah beberapa kali membicarakan tentang imputasi (pemerhitungan) dosa dari Adam kepada semua manusia (Roma 5:12-21). Manusia mewarisi status dan natur yang berdosa. Dosa asal (original sin) inilah yang kemudian melahirkan berbagai perbuatan dosa (actual sins). Keadaan ini diperparah dengan intervensi dan dominasi si jahat dalam kehidupan orang berdosa. Orang yang berdosa berasal dari si jahat (1 Yoh 3:7-10) dan dibutakan oleh si jahat (2 Kor 4:4). Adakah tempat bagi orang berdosa untuk melarikan diri dari penghakiman Allah? Adakah alasan untuk membela diri di depan Alah?
Teks kita minggu ini menjelaskan sisi lain dari keberdosaan manusia. Inti persoalan kita bukan terletak pada ketidakadaan kebenaran atau ketidakmapuan mendapatkan kebenaran. Sebaliknya, manusia berdosa justru secara aktif melawan kebenaran. Mereka tidak dapat berdalih. Mereka tidak dapat lari dari murka Allah.
Murka Allah (ayat 18a)
Penerjemah NIV tidak mencantumkan kata sambung gar (‘sebab’) yang ada di ayat ini, padahal semua versi lain tidak melalaikan hal ini. Absennya kata sambung gar dalam versi NIV menimbulkan kesan bahwa ayat ini tidak terlalu berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya. Hal ini sangat disayangkan. Ayat 18-20 merupakan penjelasan dari Paulus tentang kebenaran melalui iman di dalam Injil Yesus Kristus (ayat 16-17). Mengapa keselamatan/pembenaran harus melalui iman? Ayat 18-20 menyediakan jawabannya: sebab semua manusia berbuat dosa dan berada dalam murka Allah! Tidak ada yang melakukan kebaikan di hadapan Allah.
Paulus secara spesifik menyatakan bahwa murka ilahi ini dinyatakan dari surga. Mengapa Paulus perlu menambahkan keterangan ‘surga’? Sebagian penafsir menduga hal ini didasari oleh tradisi Yahudi yang populer tentang penghukuman Sodom dan Gomora, yaitu pada waktu Tuhan menurunkan hujan belerang dan api dari langit (Kej 19:24). Sebagian yang lain berpendapat bahwa murka dari surga merupakan sebuah ungkapan untuk menandaskan bahwa tidak ada satu manusia di bumi yang diperkecualikan (lihat 3:9-20). Alternatif lain adalah sebagai cara untuk menekankan kemuliaan dan keterpisahan Allah dari manusia (Allah di surga, manusia di bumi), sehingga dosa manusia yang tidak mau memuliakan Allah (ayat 21), menggantikan kemuliaan itu dengan ciptaan (ayat 23) maupun mengganti kebenaran-Nya dengan dusta (ayat 25) tampak jauh lebih serius. Ketiga penafsiran ini mungkin sama-sama ada dalam pikiran Paulus, walaupun dua yang terakhir lebih mendapat dukungan dari konteks.
Hal yang menarik dari cara Paulus menjelaskan murka Allah di sini adalah bentuk kekinian (present tense) dari kata apokalyptetai (LAI:TB ‘nyata’; versi Inggris ‘is [being] revealed’). Sebagaimana kita ketahui, penyataan murka Allah biasanya dihubungkan dengan akhir zaman. Paulus pun mengajarkan hal ini di bagian selanjutnya (bdk. 2:5 ‘pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan). Kalau demikian, mengapa ia sekarang memakai bentuk kekinian?
Terlepas dari usulan beberapa penafsir yang memahami bentuk kekinian ini sebagai penekanan terhadap kesegeraan murka Allah di masa yang akan datang, kita sebaiknya menerima bentuk kekinian sesuai artinya yang lebih umum, yaitu tindakan yang sedang atau terus-menerus berlangsung. Dukungan untuk hal ini adalah pemunculan kata apokalyptetai di ayat 17. Sebagaimana kebenaran Allah sedang dan terus-menerus dinyatakan di dalam pemberitaan Injil, demikian pula murka Allah juga sedang dan terus-menerus dinyatakan di dunia. Murka ini akan terus berlanjut dan mencapai titik puncaknya pada kedatangan Kristus yang kedua kali (2:5).
Pertimbangan konteks mengarahkan kita untuk melihat hukuman ilahi ini dalam dua bentuk. Yang terutama adalah melalui proklamasi Injil. Sebagaimana pemberitaan Injil menyatakan kebenaran Allah (ayat 17), dengan cara yang sama pemberitaan Injil menyatakan murka-Nya atas dosa-dosa manusia (ayat 18a). Paulus sendiri baru menguraikan kebenaran melalui iman (3:21-24) setelah ia menunjukkan keberdosaan seluruh umat manusia (3:9-20). Injil tidak akan menjadi kabar baik apabila keadaan manusia yang buruk dan terpuruk dalam dosa tidak disampaikan. Injil bukan hanya tentang kasih Allah, namun juga penghakimannya atas dosa.
Bentuk lain adalah melalui penyerahan manusia ke dalam dosa-dosa yang lebih nista. Roma 1:21-32 secara eksplisit mencatat tentang respon Allah terhadap dosa-dosa manusia, yaitu menyerahkan mereka ke dalam dosa yang lebih parah (frase ‘karena itu Allah menyerahkan...’ di ayat 24, 26, dan 28). Bentuk lampau yang digunakan pada kata ‘menyerahkan’ (paredōken) menyiratkan bahwa hukuman ini sudah berlangsung sejak permulaan kebudayaan manusia pasca kejatuhan manusia ke dalam dosa. Meminjam ungkapan dari seorang teolog kita dapat menyimpulkan poin ini sebagai berikut: ‘sejarah dunia adalah penghakiman dunia’. Dengan kata lain, keadaan dunia yang dipenuhi dosa dan penderitaan merupakan salah satu wujud murka Allah atas dosa.
Konsep ini selaras dengan ajaran Alkitab di bagian lain. Allah mengeraskan hati Firaun dengan maksud untuk menghukum dia (Kel 4:21; 7:3; 9:12; 10:20, 27; 11:10; 14:4, 8, 17). Kebebalan anak-anak imam Eli terhadap teguran ayahnya dimaksudkan untuk membunuh mereka (1 Sam 2:25). Realisasi hukuman Allah atas Ahab melibatkan intervensi roh-roh dusta dalam diri para nabi palsu yang memang sudah lama memperdayai dan dipercayai oleh Ahab (1 Raj 22:20-38). Sebaliknya, anak-anak Allah pasti akan menerima teguran dan hajaran dari Allah (Ibr 12:5-13).
Penyebab murka Allah (ayat 18b)
Allah bukanlah seperti dewa-dewa kafir kuno yang mudah marah tanpa alasan yang jelas. Kalau beberapa dewa menimbulkan bencana ke dunia akibat peperangan antar dewa, Allah tidaklah demikian. Penyebab murka ilahi adalah tindakan manusia. Kalau pada mitologi kuno solusi untuk meredakan murka Allah ada pada manusia (sesajen, ritual tertentu, dsb.), murka Allah di ayat 18a diredakan oleh Allah sendiri melalui pengorbanan Anak-Nya (1:16-17; 3:24-26).
Apa yang menyebabkan murka Allah? Pertama, segala kefasikan (asebeia) dan kelaliman (adikia) manusia. Kata asebeia biasanya merujuk pada ketidakadaan rasa hormat terhadap keilahian, sedangkan adikia pada kejahatan atau perampasan hak orang lain. Dalam konteks Roma 1:18b, dua kata ini sebaiknya tidak terlalu dipisahkan secara tegas. Keduanya tampaknya merujuk pada pada satu hal namun diterangkan dalam dua sisi (seperti mata uang logam).
Ada beberapa alasan yang mengarahkan kita kepada kesimpulan ini. Kata ‘segala’ (pasan) hanya muncul sekali dan menerangkan baik kata asebeia maupun adikia. Struktur seperti ini dalam tata bahasa Yunani menyiratkan keterkaitan yang sangat erat antara dua kata yang disatukan. Selain itu, di bagian akhir ayat 18 Paulus hanya menyebutkan ‘kelaliman’ (adikia) untuk merangkum tindakan berdosa di ayat 18b. Yang tidak kalah pentingnya adalah cara dosa-dosa di ayat 21-32 dijelaskan. Semua kejahatan yang dilakukan bersumber dari pembangkangan terhadap Allah: tidak memuliakan Allah atau mengucap syukur kepada-Nya (ayat 21), menggantikan kemuliaan Allah (ayat 23), dan menggantikan kebenaran Allah (ayat 25). Dari penjelasan ini terlihat bagaimana asebeia dan adikia memang sangat terkait. Konsep dan sikap kita tentang Allah akan mempengaruhi cara kita hidup, entah itu secara positif atau negatif.
Kedua, penindasan terhadap kebenaran. Kata kerja ‘menindas’ (katechō) dapat berarti ‘menekan’ (LAI:TB; mayoritas versi Inggris) atau ‘memegang erat.’ Arti pertama menyiratkan tindakan aktif untuk melawan kebenaran. Arti kedua merujuk pada tindakan memegang erat kebenaran tetapi tidak mau melakukan kebenaran itu. Yang terakhir ini mungkin diwakili oleh rekan dialog imajinatif Paulus yang munafik di 2:1, 17-24. Terlepas dari makna mana yang lebih tepat, keduaya tetap menyiratkan bahwa para penindas di sini mengetahui kebenaran, entah mereka sengaja melawan atau tidak mau mempraktekkan kebenaran itu. Poin yang ingin diutarakan Paulus tetap jelas: inti persoalan bukan terletak pada ketidakadaan atau ketidakjelasan kebenaran, melainkan pada diri manusia yang cenderung bersikap negatif terhadap kebenaran. Kebenaran ilahi ada, tetapi manusia berdosa meresponinya secara salah.
Di bagian selanjutnya Paulus menandaskan bahwa orang-orang Yunani maupun Yahudi sama-sama mengetahui kebenaran. Orang Yunani dari wahyu umum berupa ciptaan (1:18-20), hukum moral dan hati nurani (2:12-16), sedangkan orang Yahudi dari Hukum Taurat dan perjanjian dengan Allah (2:17-29). Seandainya mereka hidup seturut dengan wahyu tersebut mereka dapat dibenarkan dan diselamatkan (2:6-11, 13). Kenyataannya, tidak ada seorang pun yang mampu menyelamatkan diri melalui usaha sendiri (3:9-20). Seluruh dunia berada dalam murka Allah (1:18; 3:19). Sekali lagi, persoalan orang berdosa adalah dirinya sendiri, bukan ketidakadaan atau ketidakjelasan wahyu Allah. Tidak peduli wahyu apapun yang diberikan Allah, orang berdosa akan selalu memberi reaksi negatif terhadap wahyu tersebut.
Penjelasan tentang menindas kebenaran (ayat 19-20)
Seperti yang sudah disinggung di atas, semua manusia sebenarnya mengetahui kebenaran Allah. Hanya saja, mereka memberikan respon buruk terhadap kebenaran itu. Mengapa mereka dikatakan sudah mengetahui kebenaran? Ayat 19 menjelaskan bahwa Allah telah menyatakan kepada mereka.
Frase ‘apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah’ (LAI:TB; RSV/NRSV/ESV) atau ‘apa yang mungkin mereka ketahui tentang Allah’ (KJV/NIV) bisa menimbulkan kesan seolah-olah apa yang diwahyukan belum tentu diketahui oleh manusia. Beberapa versi secara tepat memilih: ‘apa yang diketahui tentang Allah nyata bagi mereka’ (ASV/NASB). Pengetahuan tentang Allah di sini memang sesuatu yang sudah jelas, karena Allah telah menyatakannya (bentuk lampau ephanerōsen) kepada mereka. Jadi, sesuatu tentang Allah adalah nyata (phaneron) bagi mereka, sebab Allah telah menyatakan (ephanerōsen) hal itu.
Bagaimana Paulus dapat mengatakan demikian? Dari mana manusia mengetahui tentang Allah? Ayat 20 menjelaskan bahwa kebenaran tentang Allah ini dikomunikasikan melalui ciptaan (lihat Mzm 19). Seperti yang diajarkan berulang kali dalam Alkitab, Allah tidak dapat dilihat (ayat 20a; Kel 33:19-20; Yoh 1:18; 6:46; Kol 1:15-16; 1 Tim 1:17; Ibr 11:27). Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sifat dan keberadaan Allah tidak dapat diketahui. Sama seperti sifat dan kapasitas seorang artis dapat terlihat dari lukisan atau ukiran yang ia buat, demikian juga beberapa sifat Allah dapat diketahui dari ciptaan-Nya.
Paulus secara khusus menyebutkan dua hal: kuasa dan keilahian-Nya yang kekal (ayat 20b). Dalam khotbahnya di Listra, Paulus menyebutkan ‘kebaikan Allah’ yang dapat diketahui melalui ciptaan (Kis 14:17). Di khotbahnya yang lain di Athena, Paulus menerangkan keterkaitan antara pengaturan ciptaan dan kemungkinan manusia untuk menemukan Allah (Kis 17:26-27). Jadi, apa yang disinggung di Roma 1:20 tidak lengkap. Hal ini dapat dipahami, karena tujuan Paulus bukan untuk mengajarkan aspek apa saja dalam diri Allah yang bisa diketahui dari ciptaan, melainkan menunjukkan bahwa keberadaan Allah sudah cukup jelas dari ciptaan, terlepas dari berapa jumlah sifat Allah yang mungkin ditemukan melalui ciptaan.
Kekekalan sifat (kuasa) dan hakekat (keilahian) Allah tidak mungkin terlihat oleh manusia seandainya Allah tidak mengambil inisiatif untuk mengungkapkan hal itu di dalam waktu. Allah yang kekal (tidak terbatas oleh waktu) mau menyatakan diri-Nya di dalam waktu. Dalam istilah teologi hal ini disebut akomodasi (Allah membuka diri melalui bahasa dan cara berpikir manusia). Betapa besar anugerah-Nya bagi kita!
Penggunaan ungkapan ‘nampak kepada pikiran’ (LAI:TB; nooumena kathoratai) di sini cukup menarik perhatian. Kata kathoraō hanya muncul sekali di PB, tetapi pemunculannya di Septuaginta (LXX) hampir selalu merujuk pada tindakan ‘melihat [dengan mata]’ (Kel 10:5; Bil 24:2; Ul 26:15; Ay 10:4; 39:26; Bar 2:16; Ydt 6:19). Menariknya, apa yang dilihat oleh mata ini dikaitkan dengan pikiran (noeō). Seandainya Paulus hanya menggunakan kathoraō saja, kita mungkin akan kesulitan memahami ayat ini karena banyak orang melihat tetapi tidak memahami apa yang mereka lihat. Sebaliknya, jika noeō saja yang muncul, kita mungkin membayangkan semacam pengetahuan mistis yang tiba-tiba muncul tanpa didahului oleh tangkapan panca indera.
Apakah Paulus sedang mengajarkan teologi alamiah (natural theology) yang hanya mengandalkan pemikiran manusia atas ciptaan untuk menemukan Allah? Tentu saja tidak! Mengetahui bahwa dunia diciptakan oleh Allah dibutuhkan lebih daripada sekadar rasio (Ibr 11:3 “Karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah dijadikan oleh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari apa yang tidak dapat kita lihat”).
Apakah Paulus hanya membicarakan tentang sekelompok orang tertentu yang memiliki kapasitas rasio bagus dalam meneliti dan memahami alam semesta (semacam ilmuwan dan apologet)? Tidak juga! Allah memberikan kemampuan berpikir intuitif kepada manusia, sehingga mereka dapat melihat dan mengerti sesuatu di balik ciptaan, yaitu keberadaan dan beberapa sifat Pencipta. Penyembahan kuno yang berbau animistis (pemujaan pada batu besar, gunung, pohon, dsb) merupakan salah satu contoh ‘kesadaran’ manusia terhadap eksistensi Allah (yang dalam hal ini dipahami sebagai keberadaan adi-kodrati). Perdebatan detil dan teknis dalam apologetika modern dipicu oleh penolakan para ilmuwan naturalis terhadap kebenaran sederhana ini, sehingga seolah-olah diskusi tentang keberadaan Allah melalui ciptaan menjadi sangat akademis dan rumit.
Karena kebenaran Allah sudah sedemikian jelas bagi pikiran intuitif manusia, kegagalan mereka untuk hidup di dalam kebenaran adalah murni kesalahan manusia. Mereka tidak dapat memberikan alasan/dalih apapun untuk membela diri. Orang berdosa tidak dapat tidak berbuat. Bahkan ‘tindakan baik’ yang mereka lakukan pun jika dilihat dari perspektif Alkitab tetap tidak baik, karena tidak didasarkan pada iman yang benar maupun ditujukan untuk kemuliaan Allah.
Bagaimana dengan kita sendiri? Sudah seberapa banyak pengetahuan Alkitab yang kita miliki? Sudahkan semua ini membuat kita semakin tunduk pada Allah ataukah justru menjadikan kita orang-orang yang sombong? Apakah pengetahuan teologis kita sudah mempengaruhi kehidupan kita? Soli Deo Gloria.