Namanya Raja Damai (Yesaya 9:5)

Posted on 27/12/2015 | In Teaching | Leave a comment

Seperti yang sudah diterangkan sebelumnya, semua sebutan untuk Tuhan Yesus di ayat ini harus dikaitkan dengan situasi politik pada awal abad ke-8 SM. Ahaz, raja Yehuda, sedang dikepung oleh raja Israel dan raja Aram. Peperangan sebentar lagi akan pecah. Selain itu, bahaya dari negara lain yang lebih besar pun terus mengintai. Bangsa Asyur, Mesir, atau Babel bisa mengancam setiap saat. Di tengah kondisi yang carut-marut inilah janji tentang kedatangan seorang Raja Damai diberikan. 

Janji yang mengagetkan

Kita berkali-kali mendengar istilah “genjatan senjata”: dua atau lebih negara yang sedang terlibat peperangan memutuskan untuk menghentikan peperangan selama beberapa saat. Keputusan ini biasanya dilakukan karena intervensi dari Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) atau negara lain yang jauh lebih kuat daripada negara-negara yang sedang bertikai. Dalam konteks modern, gencatan senjata dapat dicapai dan memberikan solusi yang sama-sama menguntungkan (win-win solution) bagi negara-negara yang berperang. Ini semua dimungkinkan karena ada penengah yang tidak memiliki maksud untuk menguasai negara-negara yang bertikai.

Situasi di abad ke-8 SM jelas berbeda. Waktu itu tidak ada PBB. Kalau pun sebuah negara yang besar yang mau menolong, ia pasti akan menolong yang satu dan menguasai yang lain. Baik yang ditolong atau yang dikuasai pada akhirnya sama-sama berada di bawah pemerintahan negara besar tersebut. Dengan kata lain, kedamaian bagi semua pihak tampaknya menjadi hal yang mustahil pada zaman itu. Paling tidak, peperangan tetap harus dilakukan. Paling tidak, salah satu atau beberapa negara yang bertikai akan menderita kerugian.

Janji tentang kedatangan seorang raja damai mungkin terdengar agak janggal di telinga Raja Ahaz. Pertama, di tengah situasi peperangan, kemenangan seringkali lebih diharapkan daripada kedamaian. Peperangan memakan biaya yang sangat besar. Perlengkapan perang dan konsumsi selama peperangan membutuhkan uang yang sangat besar. Kemenangan berarti penjarahan barang-barang milik mereka yang dikalahkan. Barang-barang jarahan itu dapat digunakan untuk menutupi biaya peperangan yang besar. Jadi, bagi banyak orang kemenangan jelas lebih manis daripada kedamaian.

Kedua, kedamaian seringkali baru bisa dicapai melalui penaklukan diri pada negara lain. Upeti harus diberikan oleh negara yang ditolong. Beberapa wilayah harus direlakan untuk dikuasai sang penolong. Tidak ada skenario sama-sama untung (win-win solution). 

Kedamaian dari Sang Raja Damai 

Pembacaan yang teliti menunjukkan bahwa posisi sebutan “Raja Damai” (śar-šālôm) di bagian terakhir bukan berarti sebutan ini tidak penting. Sebaliknya, sebutan “Raja Damai” tampaknya lebih cocok berfungsi sebagai klimaks dari rentetan gelar bagi Tuhan Yesus. Ayat 3-4 dan 6 merupakan penjelasan tentang sebutan ini. Tiga ayat ini menerangkan bagaimana Sang Raja Damai akan menganugerahkan kedamaian bagi bangsa-bangsa.

Raja Damai akan meniadakan penjajahan (ayat 3). Penjajahan digambarkan melalui tiga kata: kuk, gandar, dan tongkat. Semua ini menyiratkan tekanan, pembatasan, dan penindasan. Semuanya akan dipatahkan oleh Raja Damai.

Ekspansi militer dan kolonialisme bukan rancangan Allah bagi dunia ini. Dosa telah mencondongkan hati manusia pada kekuasaan, keangkuhan, dan eksploitasi. Bangsa-bangsa yang kuat tidak mau berdiam diri. Keinginan untuk membentengi diri dan melebarkan sayap membuat mereka secara aktif memerangi bangsa-bangsa lain, terutama yang lebih kecil kekuatannya daripada mereka.

Raja Damai akan meniadakan peperangan (ayat 4). Meniadakan penjajahan adalah satu hal, meniadakan peperangan adalah hal lain. Sang Raja Damai tidak hanya menentang bangsa-bangsa yang kuat yang ingin menjajah bangsa lain. Ia pun melarang semua jenis peperangan. Setiap sepatu tentara dan pakaian perang tidak akan diperlukan lagi. Keduanya akan dibakar.

Hampir setiap negara memiliki dan terus mengembangkan pertahanan mereka. Berbagai senjata militer diperbanyak dan dipercanggih. Latihan militer terus digalakkan. Bahkan senjata-senjata kimia dan nuklir pun disiagakan. Mereka tidak ingin menjadi sasaran empuk bagi pemangsa mereka. Di mata mereka tampaknya kedamaian hanya bisa dicapai melalui peperangan.  

Raja Damai juga akan memerintah dalam keadilan dan kebenaran (ayat 6). Kedamaian akan kokoh dalam pemerintahan śar-šālôm. Ini dicapai bukan dengan kekuatan militer. Kekerasan bukanlah cara yang dipikirkan oleh Sang Raja Damai. Sebaliknya, kedamaian tercipta karena Ia mendasarkan kekuasaan-Nya pada keadilan dan kebenaran. Yesaya 32:17 mengajarkan: “Di mana ada kebenaran di situ akan tumbuh damai sejahtera, dan akibat kebenaran ialah ketenangan dan ketenteraman untuk selama-lamanya”.

Ilustrasi yang baik bagi poin ini adalah pemerintahan Raja Salomo. Berbeda dengan ayahnya, Raja Daud, yang terus terlibat dalam peperangan untuk memperbesar daerah kekuasaannya, Raja Salomo menggunakan hikmat istimewa yang Allah berikan kepadanya. Negara-negara lain takut kepadanya dan secara sukarela menundukkan diri serta membayar upeti kepadanya. Keadilan dan kebenaran melalui hikmat ilahi telah menjadi senjata pamungkas yang lebih efektif dan efisien daripada pertempuran.

Sang Raja Damai dan Natal 

Pada momen Natal kata “damai” atau “sejahtera” selalu terngiang-ngiang di telinga kita. Natal identik dengan kedamaian. Dan hal ini dapat dibenarkan.

Natal memang berbicara tentang kedamaian, baik secara vertikal (orang berdosa dengan Allah) maupun horizontal (antar sesama manusia). Allah menghendaki keharmonisan di seluruh muka bumi. Ini baru bisa dicapai apabila ada keharmonisan antara sorga dan bumi, seperti yang diserukan oleh para malaikat “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Luk 2:14). Tatkala manusia memberikan kemuliaan kepada Allah, maka kedamaian pun akan dicurahkan di atas bumi. Tatkala manusia menyadari siapa diri mereka sebagai ciptaan dan siapa diri Allah sebagai Pencipta, maka keharmonisan akan menjadi bagian manusia di muka bumi. Semua kedamaian harus dimulai dari pemulihan relasi antara Allah dan manusia, antara surga dan bumi.  

Kedamaian secara horizontal akan tercipta apabila manusia meneladani Sang Raja Damai. Ia tidak mengeksploitasi kekuatan dan kekuasaan-Nya. Sebaliknya, Raja Damai di Yesaya 9:5 adalah Hamba Allah yang menderita di Yesaya 52:13-53:12. Ia rela menanggung penderitaan demi kedamaian. Ia tidak segan-segan mengambil kesalahan orang lain dan menaruhnya di atas bahu-Nya. Kehinaan ditanggung-Nya. Kesalahpahaman diterima-Nya. Semua idlakukan demi kedamaian.

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita didamaikan dengan Allah yang kudus? Sudahkah kita meneladani Sang Raja Damai? Soli Deo Gloria.

Sebuah pepatah terkenal mengatakan: “kita harus berperang untuk menciptakan kedamaian”. Maksudnya, kedamaian seringkali baru dapat diraih dengan cara yang tidak damai.

Yakub Tri Handoko