Dalam tradisi kekristenan Yesaya 9:5 dipandang sebagai salah satu nubuat mesianis yang digenapi oleh Yesus Kristus. Hal ini tampaknya bersumber dari cara Rasul Matius mengutip dan memperlakukan Kitab Yesaya. Ia memandang nubuat tentang kelahiran anak dari seorang dara (Yes 7:14) sebagai nubuat mesianis (Mat 1:22-23). Di awal pelayanan Yesus Kristus di daerah Galilea (Mat 4:13-16), Matius melihat itu sebagai realisasi dari nubuat mesianis di Yesaya 8:23-9:2.
Jika Yesaya 9:5 diterima sebagai sebuah nubuat mesianis, maka penggenapan dari nubuat ini terlihat begitu istimewa. Teks ini ditulis lebih dari 700 tahun sebelum kelahiran Yesus Kristus. Allah tidak melupakan janji-Nya. Tidak ada satu pun yang mampu menghalangi Allah merealisasikan rencana-Nya. Ini selaras dengan ucapan TUHAN ditulis oleh Yesaya: “Ingatlah hal-hal yang dahulu dari sejak purbakala, bahwasanya Akulah Allah dan tidak ada yang lain, Akulah Allah dan tidak ada yang seperti Aku, yang memberitahukan dari mulanya hal yang kemudian dan dari zaman purbakala apa yang belum terlaksana, yang berkata: Keputusan-Ku akan sampai, dan segala kehendak-Ku akan Kulaksanakan” (Yes 46:9-10).
Latar belakang nubuat
Sebutan “Allah Yang Perkasa” (‘ēl gibbôr, 9:5) tidak mungkin dapat dipahami secara memadai tanpa memperhatikan situasi historis di baliknya. Pada waktu itu bangsa Yehuda sedang menghadapi kemelut secara politis dan militer. Mereka sedang dikuasai ketakutan karena dikepung oleh bangsa Israel dan Aram (7:1-2). Dominasi bangsa Asyur yang kian meningkat menjadi ancaman bagi bangsa-bangsa di sekitarnya, termasuk bagi bangsa Yehuda (8:3-8).
Di tengah ancaman seperti itulah janji tentang kedatangan ‘ēl gibbôr diberikan. Sang ‘ēl gibbôr akan melepaskan kuk dan gandar orang-orang yang tertindas serta mematahkan tongkat si penindas (9:3). Semua sepatu tentara akan dibuang ke dalam api (9:4). Ia akan memiliki kekuasaan yang besar dan kekal (9:6).
Dalam bagian-bagian selanjutnya dari Kitab Yesaya kita tahu bahwa Sang Putera di 9:5 adalah hamba TUHAN yang menderita di pasal 53. Ternyata keperkasaan ‘ēl gibbôr dimanifestasikan bukan dengan kekerasan dan peperangan, melainkan dengan pengorbanan. Ia menanggung kejahatan orang lain di atas pundak-Nya. Pada akhirnya TUHAN sendiri berkata: “Sebab itu Aku akan membagikan kepadanya orang-orang besar sebagai rampasan, dan ia akan memperoleh orang-orang kuat sebagai jarahan, yaitu sebagai ganti karena ia telah menyerahkan nyawanya ke dalam maut dan karena ia terhitung di antara pemberontak-pemberontak, sekalipun ia menanggung dosa banyak orang dan berdoa untuk pemberontak-pemberontak” (53:12).
Keilahian ‘ēl gibbôr
Banyak orang Kristen menafsirkan sebutan ‘ēl gibbôr sebagai bukti bahwa Yesus Kristus, Sang Putera, adalah Allah. Penafsiran seperti inilah yang dominan di kalangan orang-orang Kristen injili.
Walaupun demikian, ini bukan satu-satunya alternatif penafsiran. Orang-orang lain telah mencoba melihat Yesaya 9:5 dalam cara yang berbeda. Bagi mereka, teks tersebut tidak dapat digunakan sebagai bukti bagi keilahian Yesus Kristus. Sanggahan mereka dapat dikelompokkan menjadi dua kategori: dari sisi studi kata dan analisa kultural.
Dari sisi studi kata, mereka yang menolak keilahian Kristus biasanya berusaha menunjukkan bahwa baik kata ‘ēl maupun gibbôr tidak selalu merujuk pada Allah. Sebutan ‘ēl kadangkala digunakan untuk allah lain (Ul 3:24; 32:12). Penerjemah Septuaginta (LXX) bahkan menafsirkan ‘ēl di Yesaya 9:5 dengan “malaikat” (angelos). Selain itu, kata ‘ēl juga bisa berfungsi sebagai kata sifat yang berarti “besar” (bdk. Yun 3:3).
Hal yang sama dapat dikatakan tentang istilah gibbôr. Beberapa kali kata ini dipakai sebagai rujukan untuk binatang (misalnya Ams 30:30) maupun manusia (misalnya Kej 10:9; 1 Sam 14:52). Kata ini juga dapat muncul dalam bentuk kata benda dengan arti “pahlawan” atau kata sifat dengan arti “perkasa”.
Penjelasan di atas dianggap cukup untuk menggugurkan doktrin keilahian Kristus yang coba didirikan di atas dasar sebutan ‘ēl gibbôr. Masing-masing kata dalam sebutan ini tidak selalu mengarah pada Allah. Penggabungan keduanya pun tidak boleh dipaksakan sebagai rujukan untuk Allah. Sebagai contoh, sebutan ‘ēl gibbôr muncul dalam bentuk jamak di Yehezkiel 32:21, dan merujuk pada sekumpulan orang yang berkuasa.
Terhadap sanggahan di atas kita perlu menandaskan keutamaan konteks dalam penafsiran. Sebutan ‘ēl gibbôr dalam bentuk tunggal juga muncul di Yesaya 10:21. Di ayat ini ‘ēl gibbôr jelas merujuk pada TUHAN, Yang Mahakudus, Allah Israel (bdk. 10:20). Berdasarkan pertimbangan konteks ini, kita tidak perlu bersusah-payah memisahkan ‘ēl dari gibbôr maupun menemukan artinya di kitab-kitab lain. Bahkan seandainya kita harus melihat sebutan ini di tempat-tempat lain, kita juga akan menemukan bahwa sebutan ‘ēl gibbôr dalam bentuk tunggal juga dikenakan untuk TUHAN (‘ēl haggādôl hagibbôr = lit. “Allah yang besar dan perkasa”, Ul 10:17 dan Yer 32:18).
Dari sisi analisa kultural, mereka yang menyangkal keilahian Yesus Kristus dari Yesaya 9:5 umumnya menunjukkan bahwa pemberian beragam sebutan ilahi pada seseorang tidak selalu berarti bahwa orang itu adalah Allah. Banyak orang memakai nama yang mengandung kata ‘ēl di dalamnya, misalnya Elia (lit. “TUHAN adalah Allahku”), Elkana (lit. “Allah telah mencipta”), dsb.
Perbandingan yang paling mendekati adalah penyematan berbagai gelar dalam tradisi Mesir. Pada saat penahbisan seorang Firaun, ia diberi lima sebutan ilahi. Nama-nama tersebut berkaitan dengan dewa-dewa tertentu, dan dipercayai memiliki efek magis. Berdasarkan kemiripan kultural ini, sebagian orang memahami Yesaya 9:5 sebagai salah satu ekspresi pemberian nama kepada seorang raja Yehuda.
Terhadap sanggahan ini, kita perlu menegaskan beberapa perbedaan esensial yang menunjukkan bahwa kemiripan yang ada tidak seberapa meyakinkan. Yesaya 9:5 berbicara tentang momen kelahiran, bukan penahbisan seorang raja. Jumlah nama yang diberikan berbeda: empat (Yesaya 9:5) versus lima (tradisi Mesir). Lebih jauh, kita juga perlu mempertimbangkan bahwa dalam tradisi Mesir para Firaun memang dipercaya sebagai dewa, sehingga pemberian nama-nama ilahi kepada mereka merupakan hal yang sangat wajar. Tidak demikian di Yehuda atau Israel. Para raja adalah manusia biasa. Tatkala ada seorang raja diberi begitu banyak gelar ilahi yang luar biasa – seperti di Yesaya 9:5 - raja itu pasti bukan raja biasa, apalagi kekuasaan dari raja ini adalah kekal (9:6). Tidak ada satu raja Yehuda pun yang pantas menyandang nama-nama tersebut, kecuali Yesus Kristus.
Natal sebagai kelahiran ‘ēl gibbôr
Nubuat tentang kelahiran seorang Putera yang akan menyelamatkan Yehuda (Yes 7:14 dan 9:5) sudah digenapi melalui kelahiran Yesus Kristus. Rasul Matius menafsirkan kelahiran dari anak dara Maria sebagai realisasi dari Yesaya 7:14. Kali ini jenis keselamatan yang ditekankan bukanlah secara politis. Sebagai ‘ēl gibbôr, Yesus Kristus “akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka” (Mat 1:21). Ia juga adalah Sang Raja yang akan menggembalakan umat Allah (Mat 2:5-6). Ia adalah keturunan Daud yang akan memimpin umat Allah dengan segala kebesaran-Nya (Mat 1:1, 20; 2:5-6).
Siapa saja yang sungguh-sungguh menerima Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat akan dibebaskan dari ikatan dosa. Dosa bukanlah titik akhir. Mereka juga akan digembalakan dengan tangan-Nya yang berkuasa. Ketakutan tidak boleh mengontrol kehidupan kita. Kiranya momen Natal tahun ini memberi kita sebuah penghiburan bahwa Allah Yang Perkasa telah lahir bagi kita. Serahkanlah dosa dan pergumulan kita kepada-Nya. Soli Deo Gloria.