Menjaga Diri Sendiri Dalam Pekabaran Injil (1 Korintus 9:24-27)

Posted on 14/10/2018 | In Teaching | Leave a comment

Kesibukan dalam pelayanan kadangkala bisa membahayakan kerohanian. Kesibukan pelayanan menggantikan kesendirian bersama Tuhan. Kita begitu menikmati apa yang kita lakukan untuk Tuhan, bukan apa yang Tuhan lakukan bagi kita. Kita lebih merindukan Allah bekerja melalui kita daripada di dalam kita. Jika hal ini tidak diwaspadai, kerohanian kita bisa meredup di tengah semangat pelayanan yang membara.

Situasi yang sama bisa menimpa siapa saja, termasuk para pemberita Injil. Kita terlalu sering memberitakan, tetapi lupa menghidupi Injil. Kita berusaha untuk mengubah kehidupan orang lain melalui Injil, tetapi kita sendiri tidak membuka diri untuk diubah oleh Injil itu.

Paulus sangat menyadari bahaya ini. Menjaga diri sendiri sama pentingnya dengan memberi diri bagi orang lain. Apa yang kita lakukan bersama Tuhan sama pentingnya dengan apa yang kita lakukan bagi Dia. Keyakinan terhadap kepastian keselamatan bukan substitusi bagi ketaatan maupun alasan bagi kecerobohan. Setiap orang perlu menjaga diri dalam kehidupan dan pelayanan. Tujuan dari semua ini adalah “supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak” (9:27b).

Untuk menerangkan hal ini Paulus menggunakan sebuah ilustrasi dari dunia olah raga, yaitu pertandingan. Orang-orang Yunani pasti tidak asing dengan gambaran ini, karena pertandingan olah raga merupakan salah satu elemen penting dalam budaya mereka. Ada dua pertandingan besar: Olimpik dan Ithsmian. Kita tidak perlu membatasi ilustrasi ini pada pertandingan Isthmian yang diadakan di dekat Korintus. Metafora dari pertandingan olah raga seperti ini sudah sangat umum, baik di dalam maupun di luar Alkitab (Gal. 5:7; Flp. 2:16; 3:12-14; 4:1; 1Tes. 2:19; 2Tim. 2:5; 4:8).

Jemaat Korintus pasti bisa langsung menangkap inti dari metafora ini. Kehidupan dan pelayanan bukan sekadar jalan-jalan. Bukan rekreasi. Bukan aktivitas bersantai lainnya. Ada tujuan yang ingin dicapai. Ada keseriusan yang dibutuhkan Mereka yang ingin bertanding menganut gaya hidup yang berbeda dengan orang-orang biasa yang tidak ikut. Itulah yang ingin ditekankan dalam metafora ini.

Seorang atlet bukan hanya harus memiliki gaya hidup yang lebih ketat daripada orang-orang lain. Dia juga perlu mempunyai standar yang lebih tinggi daripada atlet-atlet lain. Mengapa demikian? Karena mahkota hanya disediakan bagi satu pemenang. Semua berlomba untuk memperoleh hadiah itu. Tidak cukup hanya menjadi peserta lomba. Tidak cukup hanya sekadar berlari di gelanggang. Hanya atlet yang paling cepat mencapai garis akhir yang akan mengenakan mahkota.

Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa hanya ada satu orang Kristen yang akan memperoleh hadiah sementara yang lain gagal. Sebuah metafora tidak boleh ditafsirkan terlalu detil. Yang penting adalah inti yang mau disampaikan. Dalam konteks 9:24-27 intinya terletak pada keseriusan dan persiapan yang lebih ketat daripada orang lain maupun atlet lain.

Apa saja yang dilakukan oleh seorang atlet untuk memperoleh juara? Gaya hidup apa yang perlu dipraktekkan? Ada empat hal yang harus dimiliki sebelum seseorang memiliki mahkota.

Pertama, kedisiplinan diri (ayat 25a “menguasai dirinya dalam segala hal”). Beberapa versi Inggris memahami penguasaan diri ini sebagai latihan yang ketat (NIV) atau berdisiplinan (NLT), namun kita sebaiknya memahami ini secara lebih luas. Penguasaan diri di sini merujuk pada tekad dan kemampuan untuk menjalankan diet secara ketat dan tepat, mengikuti jadwal latihan atau rutinitas tertentu, ketahanan berlatih di cuaca dingin atau panas, dan sebagainya.

Penguasaan diri sangat diperlukan, karena ada beragam godaan: makanan enak, gaya hidup hedonis, maupun kemalasan. Melihat orang-orang lain hidup secara santai juga dapat menjadi tantangan tersendiri. Tidak jarang, seorang atlet akhirnya lebih memilih untuk mengurangi atau bahkan mengakhiri latihan-latihan yang berat.

Beberapa catatan kuno menunjukkan bahwa atlet dan pelatihnya kadangkala mengikrarkan sebuah sumpah untuk menjalani latihan secara ketat dan berat serta mengadopsi gaya hidup tertentu. Pertandingan memang berlangsung hanya beberapa saat, tetapi persiapannya memakan waktu yang tidak singkat. Dibutuhkan pengendalian diri untuk menjalani prosesnya.

Kedua, tujuan yang mulia (ayat 25b “memperoleh mahkota yang fana…mahkota yang abadi”). Dalam bagian ini Paulus mengontraskan proses dengan hasilnya. Seorang atlet rela berjerih-lelah hanya untuk memperoleh hadiah yang fana. Masyarakat kuno pasti menangkap maksud Paulus. Tatkala sebuah pertandingan sudah usai, pengumuman pemenang akan dilaksanakan. Pada momen ini seluruh penonton diminta untuk berdiam diri sambil nama pemenang dibacakan. Si pemenang lalu akan diberi mahkota dari daun-daunan.

Mahkota ini dengan cepat akan menjadi layu. Namun, yang penting memang bukan mahkotanya. Ada kebanggaan yang akan menyertai pemenang seumur hidupnya. Ada penghormatan dari masyarakat. Ada keuntungan finansial maupun sosial tertentu yang diperoleh.

Walaupun demikian, mahkota yang disediakan oleh Allah jauh lebih mulia dan bertahan lama. Bukan dari barang yang dapat musnah. Bukan hanya bertahan seumur hidup. Mahkota ini akan ada untuk selama-lamanya.

Kesadaran tentang nilai hadiah ini seyogyanya mendorong orang-orang Kristen untuk mau membayar harganya. Jika orang lain mau mengendalikan diri demi tujuan tertentu yang rendah, mengapa kita tidak mau melakukan lebih baik daripada itu? Mengapa kita enggan bersusah-payah demi pekerjaan Tuhan?

Ketiga, latihan yang terarah (ayat 26). Tujuan yang mulia adalah titik akhir yang ingin dicapai. Namun, sebelum sampai ke sana, setiap atlet wajib memperhatikan setiap langkah dan menguasai arah. Tidak boleh berlari tanpa arah (RSV/NASB/NIV/ESV) atau tanpa kepastian (KJV/ASV). Sebaliknya, setiap langkah harus memiliki tujuan (NLT “So I run with purpose in every step”).

Dengan sedikit variasi, Paulus bergeser ke pertandingan tinju (ayat 26b). Seorang petinju yang baik tidak akan memukul sembarangan. Secara hurufiah, bagian ini berarti “memukul angin”. Pukulan yang sembarangan menunjukkan bahwa seseorang tidak menguasai tehnik bertinju atau tidak mengetahui arah pukulan yang pasti.

Keempat, pengorbanan (ayat 27). Terjemahan “melatih” (LAI:TB) kurang begitu tegas. Kata hypōpiazō bisa berarti memukul di bagian wajah, menyiksa, atau memperlakukan secara kasar. Itulah proses yang harus dijalani oleh seorang atlet. Seorang petinju pasti pernah mendapatkan pukulan bertubi-tubi dari lawannya, baik pada saat latihan maupun pertandingan. Di mata orang lain proses ini bahkan bisa dianggap sebagai penyiksaan diri. 

Terjemahan “menguasai seluruhnya” (doulagōgeō) juga kurang kuat. Kata ini lebih tepat diterjemahkan “memperbudak” (NASB/NIV/NRSV). Bukan kita yang mengikuti keinginan tubuh, melainkan tubuh yang mengikuti keinginan kita. Kitalah yang menjadi tuan.

Bukankah semua poin di atas sudah dilakukan oleh Yesus Kristus bagi kita? Dia menguasai diri dalam segala sesuatu. Dia tidak berdosa, sehingga bisa memberikan korban yang sempurna kepada Allah. Dia datang ke dunia dengan tujuan yang jelas dan mulia. Dia tidak mengizinkan tawaran dunia merusak tujuan kedatangan-Nya. Dia tidak sembarangan melayani. Dia menaati setiap kehendak Bapa dengan setia. Dia mengorbankan diri-Nya bagi kita.

Seberapa seriuskah Anda menjalani kehidupan dan pelayanan? Sudahkah Anda menjaga diri sendiri selama melayani? Marilah kita berjuang begitu rupa untuk memberikan kehidupan dan pelayanan yang lebih baik kepada orang lain dan Tuhan. Bukan dengan kekuatan sendiri, melainkan dengan persandaran pada Roh Kudus. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko