
Semua orang Kristen pasti mengetahui betapa pentingnya kasih dalam kekristenan. Kita juga tahu bahwa kasih harus diwujudkan dalam kebaikan. Kasih yang tidak diwujudkan hanyalah perasaan yang tidak menyesatkan. Kasih bukan hanya perasaan, melainkan tindakan.
Mereka yang sudah menunjukkan kebaikan kepada orang lain pun kadangkala gagal untuk mempertahankan hal itu. Mereka menjadi jemu dalam kebaikan. Tidak ada lagi antusiasme.
Situasi inilah yang terjadi pada jemaat di Galatia. Perselisihan internal membuat mereka kehilangan semangat untuk berbuat baik kepada sesama. Mereka saling mencari hormat dan menjatuhkan orang lain (5:26). Mereka menghakimi orang lain (6:3-4). Pertikaian memadamkan kasih. Tidak heran, mereka perlu dinasihati untuk "tidak jemu-jemu berbuat baik" (6:9a). Mereka telah menjadi lemah (6:9b).
Bagaimana menghindarkan diri dari kejemuan dalam mengasihi?
Pertama, menjaga pikiran kita dari kesesatan (6:7). Teguran "Jangan sesat" (mē planasthe) menyiratkan kesalahan secara konseptual. Berdasarkan konteks dekat yang ada, kita sebaiknya mengaitkan hal ini dengan dukungan finansial kepada para pemberita firman (6:6). Sebagian jemaat tidak melibatkan diri dalam pelayanan material ini.
Kita tidak tahu secara persis, konsep seperti apa yang melatarbelakangi sikap seperti ini. Mungkin hal ini berhubungan dengan kebebasan di dalam Kristus. Sebagian jemaat mungkin memandang pemberian uang kepada pemberita injil sebagai produk dari perjanjian yang lama. Mereka mungkin telah menyombongkan diri dan menghakimi para pemberita firman (6:3-5).
Apapun dalih di baliknya, di mata Allah sikap ini merupakan penghinaan bagi-Nya (6:7 "Allah tidak membiarkan diri-Nya dipermainkan"). Secara hurufiah "dipermainkan" berarti "diolok-olok" (myktērizō, LXX 1Raj. 18:27; 2Raj. 19:21; 2Taw. 36:16). Keengganan mendukung pemberita firman secara finansial merupakan penghinaan terhadap Allah. Mereka menganggap bahwa uang lebih penting daripada firman Tuhan. Yang material dipandang lebih bernilai daripada yang spiritual.
Kedua, memikirkan konsekuensinya yang serius (6:7b-8). Secara umum berlaku prinsip "orang menuai apa yang dia tabur" (ayat 7b). Menariknya, Paulus lantas menyinggung tentang menabur dan menuai dalam daging atau Roh (ayat 8).
Dari pernyataan ini tersirat bahwa keengganan beberapa jemaat dalam memberikan persembahan tidak sepenuhnya didorong oleh pertimbangan konseptual. Ini juga berhubungan dengan gaya hidup. Mereka lebih mendahulukan kesenangan duniawi. Mereka tidak menganggap penting hal-hal spiritual.
Pembacaan yang teliti menunjukkan bahwa persoalan ini jauh lebih serius daripada yang terlihat. Konsekuensi yang diperoleh sangat serius. Yang menabur dalam daging akan menuai kebinasaan. Kebinasaan di sini dikontraskan dengan kehidupan kekal.
Jika konsekuensi bagi yang enggan mendukung secara finansial adalah kebinasaan, maka keengganan ini mengungkapkan keadaan rohani mereka. Mereka belum menerima Kristus (5:24). Mereka belum memberi diri dipimpin oleh Roh (5:25). Seandainya mereka sudah di dalam Kristus dan dipimpin oleh Roh niscaya akan ada kemurahan dan kebaikan sebagai buah Roh (5:22). Jika buah Roh ini ada dalam diri mereka, mengorbankan harta buat pekerjaan Tuhan tidak akan sukar untuk dilakukan.
Frase "ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu" tidak boleh dipahami seolah-olah kehidupan kekal merupakan hasil dari pekerjaan baik kita. Kebaikan merupakan bukti bahwa seseorang sudah di dalam Kristus dan dipimpin oleh Roh Kudus. Buah, bukan akar. Bukti, bukan pondasi. Lagipula, kehidupan kekal ini dikatakan “dari Roh itu”, bukan dari kebaikan yang dilakukan.
Ketiga, bersabar menantikan upah (ayat 9-10). Hasil positif dari perbuatan baik kita merupakan sebuah keniscayaan. Ini hanya masalah waktu saja sebelum kita menuai hasilnya. Waktunya sudah ditetapkan oleh Allah dan tinggal menuai kedatangannya (ayat 9b). Rentang waktu antara sekarang dan penuaian bukan waktu yang membosankan dan menyiksa. Sebaliknya, ini adalah sebuah kesempatan (ayat 10 "selama masih ada kesempatan bagi kita"). Kesempatan untuk menghasilkan lebih banyak buah. Semakin lama waktu penantian ini, semakin banyak buah yang masih bisa diupayakan.
Untuk menghindari kesalahpahaman, kita perlu menegaskan bahwa menuai hasil bukanlah motivasi, melainkan konsekuensi. Kita berbuat baik bukan supaya mendapatkan buah tersebut. Namun, dalam kedaulatan Allah yang sudah menetapkan prinsip “tabur-tuai” (6:7b), setiap perbuatan baik akan diperhitungkan oleh Dia. Kita berbuat baik kepada sesama karena kita berada di dalam Kristus dan memberi diri dipimpin oleh Roh. Soli Deo Gloria.