Salah satu kisah favorit dalam Alkitab adalah tentang perempuan yang berzinah dan dihadapkan pada Tuhan Yesus. Respon yang diberikan Tuhan Yesus terhadap perempuan tersebut maupun para penangkapnya menunjukkan hikmat dan kasih-Nya yang luar biasa. Tidak heran, tatkala beberapa versi Alkitab berbahasa Inggris tidak memasukkan bagian ini dalam terjemahan mereka (ataupun memisahkannya dari bagian lain), banyak orang Kristen mempertanyakan, menyayangkan, dan mempersoalkan hal itu.
Reaksi di atas tidak perlu dijadikan masalah besar apabila kita mengetahui dua hal: alasan di balik keputusan beberapa penerjemah dan juga konsep yang benar tentang Alkitab sebagai firman Allah. Mari kita lihat poin yang pertama terlebih dahulu.
Alasan di balik keputusan
Hampir semua ahli salinan kuno Alkitab (dikenal dengan nama kritikus teks) menganggap Yohanes 7:53-8:11 tidak ada di dalam naskah asli Alkitab yang ditulis oleh penulis Injil Yohanes. Bagian ini hanyalah tambahan yang coba dimasukkan oleh penyalinan tertentu. Beragam argumen yang kuat dimajukan sebagai dukungan.
Pertama, salinan tertua Alkitab yang memiliki perikop ini ditulis pada abad ke-5. Beberapa bapa gereja di akhir abad ke-4 juga pernah menyinggung kisah ini (Agustinus, Ambrose, Yerome). Persoalannya, perikop tersebut tidak pernah ditemukan di salinan-salinan lain yang jauh lebih tua dan lebih bisa dipercaya. Bapa-bapa gereja sebelum abad ke-4 tidak pernah mengutip atau menyinggung bagian ini. Sebagai contoh, bapa gereja Origen (abad ke-3) langsung berpindah pembahasan dari 7:52 ke 8:12. Seandainya kisah ini memang ada di naskah asli, mengapa para penyalin awal dan bapa-bapa gereja awal tidak mengetahui bagian tersebut?
Kedua, pada salinan-salinan Alkitab yang memuat kisah ini, posisi perikop ini juga sangat beragam. Ada yang diletakkan di 7:53-8:12, ada yang sesudah 21:25, bahkan ada yang ditemukan di Injil Lukas. Beberapa salinan tersebut juga memberi tanda tertentu yang mengindikasikan ketidaaslian atau – paling tidak – keraguan penyalin terhadap otentisitas bagian tersebut. Jika kisah ini memang ada di naskah asli sejak awal, mengapa para penyalinan yang memiliki bagian itu kebingungan dalam meletakkan posisi kisah itu?
Ketiga, keberadaan kisah ini di 7:53-8:11 menghambat alur cerita di Yohanes 7-8. Dua pasal ini menyoroti tentang perdebatan antara Tuhan Yesus dengan orang-orang Yahudi (atau orang-orang Farisi) selama hari raya Pondok Daun (7:2). Banyak hal yang sangat berkaitan dengan hari raya ini disinggung di 7:1-52 dan 8:12-20, misalnya tindakan Tuhan Yesus mencurahkan air di puncak perayaan (7:37-43) maupun ucapan “Akulah terang dunia” (8:12). Biasanya pencurahan air dilakukan oleh imam sambil mengutip nubuat kitab suci. Selama perayaan orang-orang Yahudi juga menyalakan pelita di mana-mana. Dengan disisipkannya kisah tentang perempuan yang berzinah, alur yang indah tersebut menjadi terganggu.
Keempat, 17% dari kosa kata yang ditemukan di 7:53-8:11 tidak ada di Injil Yohanes. Walaupun ketidakadaan ini dalam taraf tertentu bisa dimengerti (kisah perzinahan memang hanya ditemukan di bagian ini), tetapi beberapa indikasi sangat kuat mengarah pada penulis yang berbeda dari penulis Injil Yohanes. Sebagai contoh, pemunculan “ahli Taurat” (8:3). Injil Yohanes tidak pernah menyinggung tentang “ahli Taurat” sama sekali!
Semua argumen di atas sangat sulit terbantahkan. Berpijak pada hal tersebut, kita sebaiknya memandang Yohanes 7:53-8:11 bukan sebagai firman Allah, karena dari awal memang tidak pernah ditulis oleh penulisnya (Rasul Yohanes).
Konsep tentang Alkitab sebagai firman Allah
Apakah penjelasan di atas berarti pengurangan firman Allah dan – sebagai akibatnya – akan menerima hukuman ilahi (bdk. Why 22:19 “Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis di dalam kitab ini”)? Sama sekali tidak! Perikop itu memang dari awal tidak ada dalam naskah asli Alkitab. Sebaliknya, apabila perikop itu memang tidak diilhamkan oleh Roh Kudus tetapi orang-orang tertentu tetap bersikukuh memperlakukan hal itu sebagai firman Allah, bukankah mereka juga berada dalam bahaya hukuman ilahi yang sama (Wahyu 22:18 “"Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini”)?
Dalam hal ini, konsep yang benar tentang Alkitab sebagai firman Allah akan menolong kita. Pengakuan orang-orang injili bahwa “Alkitab adalah firman Allah” perlu dimengerti secara tepat. “Alkitab” di sini bukan pada taraf salinan, terjemahan, maupun tafsiran. Istilah “Alkitab” merujuk pada naskah asli. Apa yang diilhamkan oleh Allah (2 Tim 3:16; 2 Pet 1:20-21) hanyalah naskah asli tersebut. Salinan, terjemahan, dan tafsiran adalah firman Allah sejauh mereka mengungkapkan kata dan makna yang ada di naskah asli tersebut. Karena itu penting bagi kita untuk mengetahui apa yang benar-benar ada di naskah asli, dan juga untuk menerjemahkan maupun menafsirkannya secara tepat.
Kebenaran historis dan manfaat dari kisah ini
Penjelasan di atas mungkin cukup meyakinkan sebagian orang untuk tidak memperlakukan Yohanes 7:58-8:11 sebagai firman Tuhan. Namun, mereka mungkin tetap menanyakan kebenaran historis dan manfaat dari kisah ini. Dua hal ini sangat berkaitan, sehingga seyogyanya disinggung secara bersamaan.
Isu tentang keaslian teks sebaiknya dipisahkan dari isu tentang kebenaran historis dari teks tersebut. Suatu teks mungkin tidak termasuk di dalam naskah asli, namun cerita di baliknya tetap bisa dipertahankan secara historis. Apakah Yohanes 7:58-8:11 termasuk ke dalam kategori ini?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita sebaiknya memikirkan dua pertanyaan lain. Pertama, apakah ada keharusan untuk mempertahankan historisitas Yohanes 7:58-8:11? Kedua, bagaimana cara membuktikan nilai historisitas tersebut?
Mengingat kisah ini memang tidak diilhamkan oleh Roh Kudus, tidak ada keharusan bagi kita untuk membela historisitas kisah ini. Walaupun kisah ini pada akhirnya terbukti hanya sebagai sebuah legenda yang fiktif, hal itu tetap tidak akan mengurangi otoritas Alkitab. Walaupun demikian, keputusan beberapa bapa gereja di abad ke-5 untuk tetap memelihara kisah ini mungkin bukan tanpa alasan. Ada kemungkinan kisah ini memiliki akar historis yang lebih awal daripada yang dipikirkan banyak orang.
Nah, persoalannya, tidak ada bukti yang memadai untuk mendukung maupun menentang dugaan di atas. Secara teologis kisah ini memang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran lain di dalam Alkitab. Hikmat ilahi yang ditunjukkan Tuhan Yesus di dalam kisah ini juga sesuai dengan kisah-kisah lain di dalam kitab-kitab injil kanonik. Tidak ada petunjuk-petunjuk “aneh” seperti yang biasanya kita temukan pada banyak kisah di berbagai injil non-kanonik. Beberapa rujukan detil di dalam kisah ini pun cukup selaras dengan situasi di abad ke-1. Namun, sekali lagi, semua ini tidak cukup untuk menghantar kita pada sebuah kesimpulan apakah kisah ini benar-benar pernah terjadi atau tidak. Paling jauh yang kita bisa lakukan adalah menerima kisah ini sebagai salah satu tradisi gereja yang indah dan inspiratif, tetapi tetap bukan sebagai firman Allah yang berotoritas. Kita bisa menjadikannya sebagai sebuah ilustrasi khotbah (dengan/tanpa mengasumsikan historisitas ceritanya). Soli Deo Gloria.