Serangan terhadap kekristenan terus dilancarkan sepanjang zaman. Salah satu bentuknya adalah pelecehan terhadap Yesus Kristus. Entah sudah berapa buku dan film yang diluncurkan untuk menampilkan Yesus Kristus yang sama sekali bertentangan dengan ajaran Alkitab. Misalnya, Yesus yang bercumbu dan menikah dengan Maria Magdalena. Tidak terhitung lagi sikap-sikap lain yang merendahkan gereja, pendeta, atau orang Kristen. Artikel ini tidak akan cukup untuk memaparkan semua contoh serangan yang melecehkan atau menista tersebut.
Menariknya, banyak orang Kristen tampaknya tidak memberikan reaksi yang berlebihan terhadap isu ini. Bagi penganut agama-agama lain, sikap ini cukup mengejutkan. Jika hal yang sama ditujukan pada agama mereka, mereka tentu sudah mengambil tindakan yang tegas dan keras, bahkan kasar sekalipun (jika itu dirasa perlu). Jadi, mengapa kita tidak membela agama kita?
Hal pertama yang perlu dijernihkan adalah ini: kita sungguh-sungguh membela. Alkitab memberikan banyak contoh tentang orang-orang Kristen yang berani membela keyakinannya. Paulus beberapa kali memberikan pembelaan untuk Injil di ruang pengadilan (Kis. 24:10; 25:8, 16; 26:1; Flp. 1:7). Petrus menasihati orang-orang Kristen untuk selalu bersiap-sedia memberikan pertanggungjawaban (lit. “pembelaan”; 1Pet. 3:15-16). Jadi, orang-orang Kristen wajib membela keyakinannya.
Yang menjadi perbedaan antara kita dengan penganut agama lain adalah bentuk pembelaan yang kita berikan. Yesus Kristus menentang segala bentuk kekerasan. Pada saat orang lain menolak Injil yang kita beritakan, kita hanya perlu untuk meninggalkan mereka (Mat. 10:14; Mrk. 6:11; Luk. 9:5). Tidak boleh ada kekerasan, pembalasan, maupun pemaksaan. Sebagai contoh, ketika penduduk salah satu desa di Samaria tidak mengizinkan Yesus untuk melintasi daerah mereka, murid-murid-Nya sangat marah dan ingin menghukum penduduk tersebut, tetapi Yesus justru menghardik murid-murid itu (Luk. 9:53-55). Ketika Petrus melawan para tentara yang hendak menangkap Yesus, dia justru menerima teguran dari Yesus (Yoh. 18:10-11).
Kebenaran di atas tidak hanya diajarkan oleh Yesus, melainkan juga dilakukan-Nya sendiri. Ketika Dia terpaku di atas kayu salib dan diolok-olok oleh banyak orang, Dia tidak membalas sekalipun. Kemarahan pun tidak ada pada-Nya. Sebaliknya, Dia justru melepaskan pengampunan untuk mereka (Luk. 23:34).
Pembelaan yang harus kita berikan adalah penjelasan rasional. Tatkala Yesus menerima serangan dan penolakan, Dia mengajak orang lain untuk berpikir secara jernih. Kepada orang-orang Yahudi yang hendak melempari-Nya dengan batu, Yesus bertanya: “Banyak pekerjaan baik yang berasal dari Bapa-Ku yang Kuperlihatkan kepadamu; pekerjaan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?” (Yoh. 10:32). Dia juga mengajak orang-orang Farisi memikirkan ke-Mesiasan-Nya secara logis dari kitab suci (Mat. 22:41-46). Petrus menasihatkan kita untuk memberikan jawaban setiap kali ada orang yang menanyakan keyakinan dan pengharapan kita di dalam Kristus (1Pet. 3:15-16).
Bentuk pembelaan lain adalah melalui kesalehan hidup. Menghidupi kebenaran sama pentingnya dengan memberitakan kebenaran itu sendiri. Orang-orang Kristen diperintahkan untuk meresponi fitnahan dengan kesalehan (1Pet. 2:12). Kita tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, sebaliknya justru mengalahkan kejahatan dengan kebaikan (Rm. 12:17, 21). Kesalehan adalah senjata ampuh untuk menaklukkan para penentang (1Pet. 3:1-2). Ketika kita memberikan pembelaan secara rasional, kita harus melakukan itu dengan sikap yang saleh: lemah-lembut, hormat, dan tulus (1Pet. 3:15-16). Sama sekali tidak ada kekerasan! Kebenaran harus dibela dengan cara yang benar pula. Soli Deo Gloria.