Mengapa Kita Harus Memberikan Persepuluhan? (Kejadian 28:10-22)

Posted on 07/06/2015 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/persepuluhan.jpg Mengapa Kita Harus Memberikan Persepuluhan? (Kejadian 28:10-22)

Membicarakan tentang persepuluhan hampir selalu akan menimbulkan perdebatan. Sebagian orang menanggap persepuluhan sudah tidak berlaku lagi. Sebagian meyakini bahwa persepuluhan masih mengikat orang Kristen.

Bahkan di kalangan mereka yang menjalankan persepuluhan, beragam perdebatan teknis masih bermunculan. Kepada siapa persepuluhan harus diberikan? Apakah 1/10 dari pendapatan atau keuntungan? Apakah harus setiap bulan? Kita tentu saja masih dapat memperpanjang pertanyaan yang ada.

Khotbah hari ini tidak dimaksudkan sebagai jawaban tuntas untuk semua pertanyaan tersebut. Khotbah ini hanya sebagai peringatan agar orang-orang Kristen tidak terjebak pada legalisme seputar persepuluhan. Maksudnya, kita perlu memahami bahwa memberikan persepuluhan sebenarnya lebih berkaitan dengan hati daripada peraturan, lebih sebagai bentuk ucapan syukur daripada keterpaksaan.

Teks hari ini bukanlah teks pertama yang membicarakan tentang persepuluhan (bdk. Kej 14:20). Kejadian 28:10-22 juga tidak mengupas semua hal tentang persepuluhan. Misalnya, teks ini tidak menginformasikan secara eksplisit kepada siapa Yakub memberikan persepuluhan. Bagaimana pun juga, teks ini mengajarkan prinsip dan alasan pemberian persepuluhan yang indah.

Krisis kehidupan (ayat 10-11)

Semua orang pasti pernah berada dalam sebuah krisis. Sebagian bahkan menghadapi krisis yang sangat berat, rumit, dan menentukan dalam kehidupan mereka. Demikian pula dengan Yakub.

Ia sudah mendapatkan apa yang ia inginkan: hak kesulungan dan berkat dari ayahnya (25:30-34; 27:27-29). Apa yang dijanjikan oleh Allah sejak ia berada dalam kandungan sudah mulai digenapi, yaitu ia mendapatkan berkat lebih banyak daripada Esau (25:23). Persoalannya, semua ini ia peroleh melalui cara-cara yang keliru. Ia memperdayai kakak dan ayahnya. Bahkan untuk memuluskan penipuannya terhadap sang ayah, Yakub tidak segan-segan menggunakan nama TUHAN secara sembarangan dengan mengatakan: “Karena TUHAN, Allahmu, membuat aku mencapai tujuanku” (27:20b).

Sesuatu yang diraih secara tidak benar pada akhirnya menimbulkan berbagai masalah serius. Kini nyawa Yakub terancam oleh kakaknya (27:41-42). Jika ia terbunuh, bukankah hak kesulungan dan berkat dari Ishak tidak akan ada artinya sama sekali? Ia pun sekarang harus pergi ke Haran (28:1). Bukankah hal ini merupakan langkah mundur yang signifikan karena Abraham justru dipanggil dari Haran (11:31-12:1-5; Kis 7:2-4)? Pada masa-masa seperti ini, hak kesulungan maupun berkat dari ayahnya seolah-olah tidak ada artinya apa-apa bagi Yakub.

Keluar dari lingkungan keluarga besar juga berarti sebuah ancaman kehidupan yang serius. Masyarakat kuno hidup secara berkelompok, terutama bagi mereka yang masih nomaden (berpindah-pindah tempat). Hidup sendirian seringkali identik dengan bahaya.

Perjalanan yang Yakub harus tempuh pun terbilang sangat jauh. Bersheba ke Haran berjarak ratusan kilometer. Butuh waktu berhari-hari untuk mencapai tujuan. Yakub juga tampaknya tidak terlalu menguasai rute perjalanan dengan baik. Ayat 11 menyiratkan bahwa tempat istirahat yang ia pilih bukanlah tempat istirahat yang umum yang biasa digunakan oleh para pelancong. Kata Ibrani “sampai” (wayyipga”) di awal ayat ini menekankan keacakan pilihan Yakub untuk bermalam. Pilihan acak ini lebih didorong oleh pertimbangan waktu (“karena matahari telah terbenam”). Lagipula, tempat bermalam itu adalah tempat yang kudus, sehingga tidak mungkin dijadikan tempat bermalam publik oleh para pelancong. Intinya, Yakub benar-benar berada di suatu tempat antah-berantah dan maut dapat menjemput dia kapan pun.

Kehadiran TUHAN di tengah krisis kehidupan (ayat 12-15)

TUHAN tidak meninggalkan Yakub sendirian. Melalui sebuah mimpi Ia menemui dan menguatkan Yakub. Pertemuan melalui mimpi ini membuka mata rohani Yakub untuk melihat Allah dalam arti yang sesungguhnya.

Pertama, Allah adalah berdaulat. Dalam mimpinya, Yakub melihat sebuah sullām atau tangga (bisa merujuk pada tangga atau anak-anak tangga). Gambaran ini pasti figuratif, karena para malaikat jelas tidak membutuhkan tangga untuk turun ke bumi atau naik ke surga. TUHAN menguasai surga sebagaimana Ia mengontrol bumi. Transendensi dan imanensi Allah menyatu.  

Dalam teks Ibrani posisi berdiri TUHAN di ayat 13a tidak terlalu jelas. Penerjemah LAI:TB mengambil terjemahan yang sama dengan NRSV (“berdirilah TUHAN di sampingnya”). Mayoritas versi menggunakan “berdirilah TUHAN di atasnya”. Terlepas dari apakah TUHAN berdiri di atas “tangga” atau “tempat tidur Yakub”, makna yang disampaikan tetap jelas: TUHAN berada pada posisi otoritas (bdk. 18:1-2; 1 Sam 19:20; Rt 2:5-6). TUHAN menguasai langit dan bumi.

Kedua, Allah adalah berkemurahan. Yakub telah melakukan beberapa kesalahan sekaligus. Memperdayai kakaknya, menipu ayahnya, dan menggunakan nama TUHAN secara sembarangan. Perjumpaan dengan Allah pasti dipenuhi dengan berbagai teguran dan ancaman. Menariknya, pembicaraan Allah dengan Yakub justru terfokus pada janji-janji Allah, bukan hukumannya atas Yakub. Teguran dari TUHAN secara tersirat memang ada (lihat pembahasan selanjutnya), namun yang dominan adalah kemurahan-Nya.

Ketiga, Allah adalah setia. Allah memperkenalkan diri kepada Yakub sebagai “Allah Abraham dan Allah Ishak” (28:13). Ia setia kepada kakek dan ayah Yakub. Pertanyaannya, apakah Yakub akan menikmati relasi seperti itu? Sebelumnya, Yakub hanya mampu berkata kepada Ishak: “Tuhan, Allahmu” (27:20b). Ia tidak berkata: “TUHAN, Allah kita”. Akankah TUHAN menjadi Allah bagi Yakub juga? Di sinilah kita bisa melihat teguran secara tersirat untuk Yakub.

Untuk mempertegas kesetiaan-Nya, TUHAN memberikan janji-janji kepada Yakub (28:13-14). Semua janji ini sama dengan janji-janji Allah kepada Abraham dan Ishak, yaitu mencakup tanah Kanaan, keturunan yang banyak, dan menjadi saluran berkat bagi banyak orang (12:1-3; 15:5-7; 26:3-4). Untuk mempertegas janji-janji ini TUHAN sendiri berjanji untuk menyertai, melindungi, dan tidak akan meninggalkan Ishak (28:15). Bagi Yakub yang sedang berada dalam pelarian dan ketakutan, tidak ada hal lain yang lebih menghibur selain kebersamaan Allah dengan dia.

Dibandingkan dengan janji TUHAN kepada Abraham, janji ilahi kepada Yakub memiliki keunikan tersendiri. Ia dijanjikan tanah Kanaan, bahkan sebelum ia meninggalkan tanah Kanaan. Ia dijanjikan banyak keturunan, bahkan sebelum ia memiliki istri.

Respon terhadap kehadiran TUHAN di tengah krisis (ayat 16-22)

Kehadiran TUHAN tidak hanya menyentuh emosi. Yakub memang tersadar dan takut (28:16-17), namun ia juga meresponi penyertaan Allah dengan tindakan-tindakan konkrit. Perjumpaan dengan TUHAN membawa perubahan nyata. Seluruh keberadaan seseorang digerakkan oleh perjumpaan itu.

Pertama, mengadakan tanda peringatan (28:18-19). Sesudah menyadari kehadiran Allah di tempat itu, Yakub menjadikan batu tempat ia meletakkan kepala sebagai sebuah tugu peringatan. Ia juga meminyaki bagian atas dari batu tersebut sebagai tanda penahbisan. Tidak lupa ia pun memberikan nama yang baru yang lebih sesuai dengan pengalaman tersebut. Lus yang berarti “tempat perlindungan” sekarang diganti dengan Bethel yang berarti “rumah Allah”. Yakub merasakan perlindungan yang pasti dan nyata saat ia berada di rumah Allah. Allah adalah tempat perlindungan sejati.

Kedua, membangun relasi dengan Allah (28:21-22a). Sebagian teolog menganggap bahwa peristiwa di Bethel tidak mengubahkan Yakub. Ia tetap sebagai orang yang mengandalkan usaha sendiri. Dalam hal ini ia menawar Allah (ayat 21 “Jika Engkau…..maka TUHAN akan menjadi Allahku”).

Pandangan di atas tampaknya kurang tepat. Apa yang dilakukan Yakub di kisah ini menunjukkan bahwa ia sedang mengadakan perjanjian dengan Allah. Elemen-elemen perjanjian muncul secara cukup eksplisit di bagian ini: inisiatif dari pihak superior, janji-janji dari yang superior, tanda persetujuan (tugu dan pencurahan minyak), dan komitmen dari pihak inferior (nazar). Karena ini sebuah perjanjian, sangat wajar jika ditemukan ungkapan-ungkapan bersyarat (“jika….maka….”). Ungkapan “maka TUHAN akan menjadi Allahku” (28:21b) bukan tanda keraguan, apalagi alat tawar kepada TUHAN. Ungkapan itu berkaitan dengan pembuktian dari pihak Allah. Jika Yakub diberkati dan berhasil pulang ke rumahnya dengan selamat, maka hal itu menunjukkan bahwa TUHAN benar-benar Allah yang sudah mengadakan perjanjian dengan Yakub. Dengan demikian relasi dalam konteks perjanjian telah dikukuhkan. Karena itulah ungkapan ini dihubungkan dengan nazar Yakub untuk mendirikan rumah Allah (28:22a). Ia ingin membangun relasi yang penuh makna dengan TUHAN.

Ketiga, mengambil komitmen untuk memberikan persepuluhan (28:22b). Sebelum peraturan Taurat tentang persepuluhan diberikan, Abraham dan Yakub telah bertekad memberikannya (14:20b; 28:22). Analisa konteks di dua teks ini sama-sama mengaitkan persepuluhan dengan berkat dan perlindungan Allah (14:19-20a).

Hal ini mengajarkan beberapa hal penting tentang pemberian persepuluhan. Pemberian persepuluhan lebih didorong oleh ucapan syukur atas kebaikan Allah daripada keterpaksaan yang legalistik dan membebani. Persepuluhan dimulai dengan berkat Allah, bukan alat untuk mendapatkan berkat. Dua poin ini kerap diabaikan oleh orang-orang Kristen modern.

Persepuluhan dan orang Kristen

Relevansi persepuluhan bagi orang Kristen akan terus menjadi bahan perdebatan tanpa akhir. Saya sendiri secara pribadi kurang sepakat bahwa persepuluhan berlaku secara kaku bagi orang Kristen, baik dari sisi jumlah maupun tata cara pemberian. Walaupun demikian, saya mendorong pemberian korban materi yang melebihi persepuluhan. Mengapa?

Pengalaman Yakub di Bethel sebetulnya tidak terlalu istimewa. Dalam Yohanes 1:51 Tuhan Yesus berjanji bahwa murid-murid-Nya akan menikmati “pengalaman Bethel” yang lebih hebat. Yesus adalah rumah Allah (Yoh 1:14 “diam” = “bertabernakel”). Dia adalah bait Allah yang baru (Yoh 2:19-22). Melalui Tuhan Yesus, penyembahan dalam roh dan kebenaran telah dibuka (Yoh 4:21-24). Jika pengalaman Bethel di Kejadian 28:10-22 membuat Yakub secara sukarela ingin memberikan sepersepuluh dari miliknya, apalagi pengalaman Bethel di Yohanes 1:51? Bukankah kita semua telah bertemu dengan Allah secara lebih bebas melalui karya penebusan Kristus? Seberapa besar ucapan syukurmu? Tidak masu akal apabila kita memberikan lebih sedikit daripada yang diberikan Yakub. Sekali lagi, seberapa besar kesadaranmu tentang kebaikan Allah?

Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community