Pertanyaan semacam ini sudah beberapa kali diajukan kepada saya. Wajar jika sebagian orang mempertanyakan hal ini. GKRI Exodus adalah sebuah gereja yang sangat menekankan Teologi Reformed, tetapi gaya ibadah di dalamnya bersifat perpaduan (blended worship), yaitu perpaduan antara ibadah tradisional di dua ibadah pagi (menggunakan hymne dengan iringan piano) dan kontemporer di ibadah sore (lagu-lagu rohani modern dengan iringan band). Bagi orang-orang Reformed lain di Indonesia, teologi Reformed dan gaya ibadah kontemporer dianggap sebagai musuh bebuyutan. Keduanya tidak mungkin dicampuradukkan. Itulah sebabnya gaya ibadah perpaduan ini seringkali dipersoalkan.
Jangankan sekadar pertanyaan tulus seperti ini, kecaman dan kemarahan pun sempat saya terima dari rekan-rekan Reformed. Pernah suatu ketika ada seorang simpatisan yang langsung meninggalkan ibadah gara-gara lagu “Suci, Suci, Suci” dimainkan dengan alat musik modern dalam balutan aransemen yang baru. Beberapa jam kemudian ia mengirimkan surat elektronik yang cukup panjang untuk menegur saya. Sebagian orang mengambil jalan yang lebih bijaksana, yaitu meyakinkan saya bahwa jikalau saya meniadakan ibadah kontemporer di GKRI Exodus, maka gereja ini akan semakin berkembang. Orang-orang yang menyukai khotbah saya tidak akan terhalang dan terganggu untuk datang dengan gaya ibadah yang dipandang tidak Alkitabiah.
Artikel ini merupakan jawaban formal terhadap pertanyaan, masukan, dan kecaman di atas. Lebih daripada sekadar jawaban, artikel ini merupakan undangan untuk memikirkan esensi Reformed kita secara lebih serius. Apakah Teologi Reformed benar-benar tidak mungkin membuka ruang untuk ibadah kontemporer? Ataukah mereka yang mengagungkan himne dan menentang gaya ibadah lain justru yang melanggar nilai-nilai penting dalam Teologi Reformed? Dengan pikiran terbuka dan hati yang rendah, marilah kita mencoba mengkaji ulang isu yang usang ini.
Keterbatasan ruang menggagalkan saya untuk memberikan uraian yang terlalu detil di artikel ini. Sifat tulisan ini yang populer juga mendorong saya untuk menghindari hal-hal yang terlalu teknis atau akademis. Apa yang disampaikan di sini adalah intisari dari pemikiran saya. Kesan terlalu menyederhanakan (oversimplifikasi) mungkin tidak terhindar dalam kondisi seperti ini. Untuk pembahasan detil, saya menyarankan dua buku utama: John M. Frame, Contempory Worship Music: A Biblical Defense, dan R. J. Gore, Jr., Covenantal Worship: Reconsidering the Puritan Regulative Principle. Keduanya sama-sama berasal dari dan berkiprah di kalangan institusi Reformed yang sangat ketat.
Dasar Teologi Reformed
Teologi Reformed dikenal karena fokusnya pada Alkitab. Studi Alkitab yang mendalam dan mendetil menjadi ciri khas dan fokus pemberitaan John Calvin. Bahkan karya agung Calvin yang berjudul The Institutes of Christian Religion ditulis sebagai panduan untuk mengerti kitab suci.
Ciri khas ini sayangnya menjadi kabur di kalangan gereja-gereja Reformed di Indonesia. Khotbah yang filosofis dan doktrinal menjadi primadona. Tidak jarang, teks Alkitab hanya dibacakan di awal khotbah dan selanjutnya tidak diuraikan secara memadai. Sebagian orang bangga bisa mengutip perkataan dari tokoh-tokoh Reformed dunia, tetapi orang yang sama ternyata kurang menguasai kitab suci. Yang paling parah, ukuran kebenaran seringkali adalah tokoh tertentu, seolah-olah ada manusia super yang tidak mungkin keliru. Pandangan orang diterima tanpa ditelaah secara kritis apakah argumen yang digunakan adalah tepat.
Kekaburan di atas juga tercermin dalam diskusi tentang musik gereja. Berdasarkan beberapa diskusi yang saya lakukan secara pribadi dengan rekan-rekan Reformed, saya belum menemukan ayat-ayat Alkitab yang tepat yang diajukan mereka sebagai bantahan terhadap musik kontemporer. Argumen yang dibangun hanya didasarkan pada alasan musikal (yang belum tentu kebenarannya).
Jadi, adakah ada teks Alkitab yang dapat dijadikan sebagai dasar untuk melarang musik gerejawi kontemporer? Sebaliknya, adakah alasan-alasan Alkitabiah yang cukup untuk membatasi musik gereja pada himne saja? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini menentukan kesejatian Reformed seseorang. Apabila suatu pandangan ternyata tidak didukung oleh kitab suci, maka pandangan itu pasti dilandaskan pada tradisi gereja semata-mata. Jika ini yang terjadi, kita tidak berbeda dengan Gereja Roma Katholik yang dahulu sangat ditentang oleh para pendahulu kita.
Keberatan-keberatan terhadap musik gereja kontemporer
Mereka yang menolak musik gereja kontemporer melancarkan berbagai argumen. Untuk memudahkan pemahaman, saya akan membagi semua keberatan ke dalam empat kategori: doktrinal, musikal, historis, dan praktis.
Keberatan doktrinal lebih diarahkan pada lirik lagu. Mereka menilai bahwa lagu-lagu kontemporer banyak mengajarkan konsep-konsep teologis yang tidak Reformed, bahkan yang sesat. Kalau pun ada beberapa yang liriknya tidak bermasalah, konsep teologis yang diajarkan cenderung dangkal dan monoton. Satu hal lagi yang disorot adalah teologi dari para pengarang lagu Kristen kontemporer. Hampir semua mereka berasal dari aliran yang tidak Reformed.
Secara musikal, musik gereja kontemporer dipandang bermasalah karena beberapa jenis musik yang diusung dalam musik gereja kontemporer – misalnya aliran musik rock, jazz, dangdut, reggae, R & B atau sejenisnya - bersifat duniawi. Kualitas estetikanya pun rendah. Musik yang paling indah adalah musik klasik. Gereja perlu memberikan hanya yang terbaik bagi Allah.
Dari sisi historis, salah satu pokok persoalan adalah penggunaan instrumen drum yang sangat terkait dengan pemberontakan. Alat musik ini muncul dari kelompok masyarakat tertentu yang tertindas dan mendambakan kebebasan. Ketukan drum juga dipandang menyalahi ketukan alamiah. Pendeknya, instrumen ini dipandang sebagai ekspresi perberontakan terhadap suatu norma.
Hal lain yang diperdebatkan adalah nilai permanensi. Begitu banyak lagu baru muncul, tetapi banyak pula yang dengan cepat dilupakan orang. Hal ini berbeda dengan lagu-lagu himne yang tidak lekang oleh zaman. Para pendukung himne meyakini bahwa permanensi menyiratkan keunggulan. Lagu-lagu himne dipandang muncul dari pergumulan hidup praktis yang dibalut oleh pemikiran teologis yang mendalam. Lagu-lagu kontemporer hanya asal tulis untuk konsumsi publik. Yang satu mengedepankan spiritualitas, yang satu berfokus pada popularitas.
Secara praktis, musik kontemporer tidak jarang dianggap sebagai pemuas emosi semata-mata. Hal ini terlihat di ibadah gereja-gereja tertentu yang terkesan urakan dan liar. Bertepuk tangan, melompat, dan menari dianggap ekspresi yang tidak tepat di dalam ibadah. Ibadah kepada Tuhan seharusnya serius, khidmat, dan agung.
Secara pribadi saya mengakui bahwa rekan-rekan Reformed yang menentang gaya ibadah kontemporer tentu saja memiliki niat dan motivasi yang baik. Mereka ingin memberikan sebuah ibadah yang terbaik bagi Allah. Setiap elemen ibadah harus yang terbaik, termasuk lagu dan musik yang dinyanyikan. Tidak boleh ada hal-hal yang sembarangan di dalam ibadah.
Mereka juga memegang sebuah prinsip teologis yang mulia tentang ibadah. Fokus ibadah adalah Allah (theosentris). Semua hal yang hanya memuaskan manusia semata-mata perlu dijauhkan dari ibadah Kristiani, begitu pula semua hal yang bertentangan dengan kehendak Allah.
Saya pun sangat sepakat dengan poin-poin tersebut. Ibadah adalah untuk Allah, sehingga harus dilakukan seturut dengan kehendak-Nya.
Jika dua hal penting di atas diterima, mengapa pilihan gaya ibadah yang saya dan rekan-rekan Reformed lain ambil berbeda? Inti perbedaan terletak pada bagaimana prinsip teologis tersebut diterjemahkan dalam hal-hal yang praktis. Sebagai contoh, apakah musik klasik (dengan asumsi bahwa semua himne berasal dari aliran klasik) lebih indah dan bermutu daripada musik kontemporer? Mereka yang memberi jawaban positif terhadap pertanyaan ini tentu saja akan menganggap bahwa ibadah dengan musik klasik lebih menyenangkan hati Tuhan. Persoalannya, benarkah semua himne adalah musik klasik? Benarkah musik klasik secara intrinsik lebih baik daripada musik kontemporer?
Inti perbedaan yang lain terletak pada konsep yang benar tentang ibadah dan budaya. Salah satu hal yang sering dilupakan dalam perdebatan tentang musik gereja adalah pembedaan antara esensi dan ekspresi. Esensi harus sama di segala tempat dan abad, karena bersumber dari kebenaran kekal di dalam Alkitab. Bagaimana hal-hal esensial itu diungkapkan merupakan persoalan kultural. Tiap budaya memiliki ekspresi masing-masing yang unik. Sejauh ekspresi itu tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab, gereja perlu membuka tangan lebar-lebar. Kegagalan melakukan hal ini akan membuat gereja terlihat kuno dan tidak relevan di mata banyak orang. Bukan berarti kita menempatkan penerimaan orang lain sebagai ukuran kebenaran. Sama sekali tidak! Poin saya sederhana: gereja tidak boleh memaksakan hal-hal yang kurang esensial sedemikian rupa sehingga menjadi batu sandungan atau tembok penghalang bagi orang lain.
Tanpa disadari oleh banyak orang Kristen, ibadah kita terlihat begitu kebarat-baratan. Pengkhotbah harus berjas dan berdasi. Lagu-lagu pun diimpor dari Amerika dan Eropa. Jenis musik yang diusung pun dari Eropa (misalnya musik klasik). Apakah semua ini memang diwajibkan oleh Alkitab? Ataukah rutinitas ini hanyalah salah satu ekspresi budaya yang kita anut? Saya meyakini bahwa kebenaran Alkitab tentang ibadah bersifat mutlak (tidak relatif), namun pengejawantahan prinsip itu tidak harus mengambil ekspresi yang sama. Selama ekspresi yang ada menyiratkan esensi yang sama, kita sebaiknya merangkul keragaman tersebut. Bukankah keragaman budaya semakin menegaskan keunikan manusia sebagai gambar Allah?
Dengan pemahaman teologis seperti di atas, saya akan mencoba mengupas beberapa poin perbedaan yang memisahkan pendukung liturgi tradisional dari kontemporer.
Secara umum saya mengamini bahwa muatan teologis lagu-lagu kontemporer cenderung dangkal. Topik yang diusung dalam lagu-lagu itu sangat terbatas. Mereka cenderung menekankan kemahakuasaan dan kebaikan Allah. Sifat-sifat Allah yang lain nyaris tidak pernah disinggung.
Bukan hanya dangkal, beberapa lagu bahkan mengajarkan konsep yang keliru dan sesat. Misalnya, beberapa lagu merefleksikan konsep Tritunggal yang rancu, misalnya Yesus disamakan dengan Roh Kudus atau Bapa. Lagu “Abba Bapa” diakhiri dengan kalimat “memanggil-Mu Yesus.” Lagu “Yesus Ku Berseru” ditutup dengan kalimat “Yesus, Yesus, Engkaulah Bapaku.”Dalam salah satu syair lagu “Bagi Dia” dituliskan “Dia [Yesus] angkatku jadi Anak-Nya,” padahal seharusnya kita adalah anak-anak Allah [Bapa] melalui karya Kristus.
Beberapa lagu lain mengungkapkan konsep tentang mujizat yang tidak Alkitabiah. Mujizat terjadi setiap kali kita berdoa. Mujizat terjadi setiap hari. Semua ini jelas tidak sesuai ajaran Alkitab. Allah tidak selalu melakukan mujizat. Bahkan dalam sejarah Alkitab, banyak mujizat hanya terjadi pada zaman Musa, Elia-Elisha, dan Yesus-para rasul. Di luar periode-periode tersebut, Allah hanya sesekali melakukan perbuatan yang ajaib. Lagipula, cara Allah menolong umat-Nya tidak selalu melalui mujizat (Yosua 5:11-12). Tidak setiap doa juga pasti dikabulkan oleh Allah (Korintus 12:7-10).
Apakah penjelasan di atas cukup untuk menolak semua jenis lagu kontemporer? Tentu saja tidak. Banyak lagu kontemporer memiliki lirik yang sangat baik, misalnya “Give Thanks” atau “Who Am I”. Beberapa berfokus pada salib Yesus Kristus, misalnya “Here I Am to Worship”. Pendeknya, kita tidak seharusnya melakukan penilaian dan penghakiman yang generalisasi. Tiap lagu harus dilihat pada dirinya sendiri, bukan dikaitkan dengan sebuah kategori, misalnya lagu kontemporer atau lagu kharismatik.
Sehubungan dengan para penulis lagu kontemporer yang secara umum tidak berasal dari gereja-gereja beraliran Reformed, kita tidak sepantasnya menjadikan ini sebagai sebuah masalah. Kita sebagai orang Reformed tidak boleh takabur, seolah-olah kebenaran ilahi hanya akan dimunculkan oleh Allah melalui kita. Segala kebenaran adalah kebenaran Allah. Selama lirik yang mereka hasilkan sesuai dengan Alkitab, hal itu sah-sah saja. Toh, banyak lagu di buku-buku himne juga tidak ditulis oleh orang-orang Reformed. Charles Wesley, John Wesley, Ira D. Sankey, misalnya, bukan orang-orang Reformed, namun lagu-lagu mereka sering diperdengarkan di gereja-gereja Reformed.
Poin lain yang saya ingin tandaskan di sini adalah kesamaan antara Reformed dan aliran-aliran lain. Kita memiliki begitu banyak kesamaan doktrinal yang esensial, misalnya keyakinan bahwa Alkitab adalah firman Allah, Yesus satu-satu jalan keselamatan, injil berpusat pada kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dsb. Jangan sampai kesamaan esensial yang begitu banyak ini diabaikan, sedangkan perbedaan-perbedaan yang seringkali kurang esensial justru dikedepankan. Selama sebuah lagu mengumandangkan injil yang benar, kita harus turut menyebarkannya.
Pengertian “kontemporer”
Dari awal tulisan ini kita sudah berkali-kali menemukan istilah “kontemporer”. Tahukah kita arti dari istilah ini? Istilah ini secara hurufiah berarti “muncul pada masa yang sama” atau “muncul pada saat ini”. Dengan pengertian ini, marilah kita melanjutkan pembahasan kita.
Pembedaan antara lagu-lagu himne dan kontemporer sebenarnya tidaklah terlalu tepat. Buku-buku himne terdiri dari ribuan lagu yang diciptakan dalam rentang waktu yang sangat panjang. Berabad-abad, lebih tepatnya. Dengan kata lain, tidak semua lagu itu berasal dari periode yang sama. Seiring dengan perkembangan zaman, lagu-lagu tertentu yang dahulu dianggap kontemporer pada zamannya, kini sudah menjadi lagu-lagu “himne” bagi kita yang hidup di zaman sekarang.
Contoh yang paling baik adalah lagu-lagu yang disebut Gospel Songs. Pada akhir abad ke-19 lagu-lagu ini dianggap kontemporer. Tidak sedikit gereja yang mengecamnya. Seiring berjalannya waktu, kita sekarang menemukan berbagai lagu tersebut muncul di dalam kumpulan himne.
Apakah sejarah pemunculan drum (atau pendahulunya) dari konteks pemberontakan sosial dapat dijadikan alasan untuk menolak penggunaan alat ini di dalam ibadah? Apakah benar drum dimainkan dengan ketukan yang bertabrakan dengan ketukan musik yang wajar? Apakah drum mebangkitkan emosi secara berlebihan?
Sehubungan dengan sejarah pemunculan drum, kita perlu memahami bahwa batasan “drum” sendiri masih diperdebatkan. Beberapa alat musik perkusi kuno juga dapat dikategorikan sebagai drum dalam taraf tertentu. Jika definisinya saja sudah rancu, apalagi ketepatan sejarah pemunculannya.
Terlepas dari kerancuan itu, pelarangan drum berdasarkan sejarah pemunculan tetap tidak bisa dibenarkan. Dosa telah meracuni natur manusia, termasuk motivasi mereka dalam menciptakan atau menggunakan sesuatu. Apakah ada suatu alat musik yang mula-mula diciptakan khusus untuk memuliakan Tuhan? Sulit untuk dijawab. Namun, tidak sulit untuk menduga bahwa banyak alat musik yang pertama kali diciptakan bukan untuk kemuliaan Allah. Tujuan awal mereka mungkin bukan pemberontakan, tetapi bukankah segala sesuatu yang bukan untuk kemuliaan Allah adalah dosa?
Alkitab memberi sebuah contoh yang baik. Kejadian 4:21 mencatat bahwa salah satu keturunan Kain (Yubal) adalah pencipta kecapi dan seruling. Dari perspektif narator Kitab Kejadian, sulit dibantah bahwa silsilah Kain di Kejadian 4:17-24 seharusnya dilihat secara negatif. Silsilah ini mencapai klimaksnya pada ucapan Lamekh yang fasik dan arogan. Silsilah ini dikontraskan dengan silsilan Set/Enosh (Kej 5). Seandainya kecapi dan seruling memang lahir dari orang yang melawan Allah, apakah berarti alat-alat itu tidak layak digunakan dalam ibadah? Jawabannya sudah sangat jelas. Kecapi dan suling memainkan peranan penting dalam ibadah di bait Allah (misalnya Mzm 4:1; 5:1; 6:1; 33:2-3; 150:4).
Larangan terhadap drum yang didasarkan pada ketukannya yang tidak alamiah juga menyisakan masalah serius. Apa yang dimaksud dengan “ketukan alamiah”? Apakah detak jantung manusia dapat dianggap sebagai ketukan alamiah? Jika iya, sejauh mana ketukan itu memiliki nilai normatif yang mengikat? Bukankah permainan musik tidak hanya mengikuti pola dasar tetapi juga memodifikasinya sehingga menghasilkan pola lain yang lebih rumit dan indah?
Di samping kesulitan secara konseptual di atas, ada juga kesulitan praktis yang berkaitan dengan konsistensi. Variasi atau modifikasi ketukan adalah hal wajar dalam musik. Hampir semua alat musik dapat dipakai melakukan improvisasi tersebut. Dalam banyak lagu, terutama lagu-lagu klasik yang rumit, ditemukan variasi ketukan pula. Anehnya, tidak ada pendukung liturgi tradisional yang mempersoalkan hal tersebut.
Sehubungan dengan drum sebagai alat pemuas emosi, inti persoalan sebenarnya bukan pada alat musiknya sendiri, melainkan motivasi dan cara menggunakannya. Semua alat musik mempengaruhi emosi. Musik bisa membuat seseorang merasa khidmat, terharu, bersukacita, dan sebagainya. Itulah salah satu aspek keindahan musik! Jika drum dianggap bermasalah hanya gara-gara membuat jemaat lebih bergairah dalam memuji Tuhan, apakah piano juga bersalah atas nuansa syahdu yang menenangkan hati atau organ atas nuansa khidmat yang ditimbulkan? Intinya, “memuaskan emosi” perlu didefinisikan secara lebih tepat, yaitu secara holistik (menyeluruh).
Hal lain yang perlu disinggung adalah keterlibatan emosi dalam ibadah. Allah menciptakan manusia sebagai makhluk holistik (spiritual, emosional, sosial, fisikal, dan intelektual). Seluruh aspek ini saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Jika Allah memang menciptakan manusia sebagai makhluk emosional, itu berarti bahwa manusia membutuhkan pemuasan emosi. Memuaskan emosi tidaklah salah. Yang salah adalah emosionalisme. Yang keliru adalah sarana pemuasan emosi yang tidak tepat.
Drum hanyalah sebuah alat. Drum bisa mempengaruhi emosi. Dua hal ini jelas tidak membuat penggunaan drum dalam ibadah menjadi salah.
Walaupun demikian, saya tetap menentang eksploitasi emosi melalui permainan drum yang berlebihan. Emosi untuk dipenuhi, bukan dieksploitasi. Emosi hanyalah salah satu aspek dalam diri manusia. Kepuasan dalam ibadah tidak ditentukan oleh musik, melainkan kehadiran Allah di tengah umat-Nya. Perjumpaan pribadi dengan Allahlah yang menghadirkan kepuasan yang utuh.
Di samping itu, kita juga perlu mengingat bahwa fokus ibadah kita adalah Allah (theosentris). Kepuasan Allah harus diutamakan lebih daripada yang lain. Justru kepuasan ilahi itulah yang seharusnya menjadi sumber kepuasan kita. Ketika kita bisa memberikan ibadah yang tulus dan meneyangkan hati Allah, itu adalah kepuasan tertinggi bagi seluruh kehidupan kita, baik intelektual, emosional, maupun spiritual.
Pemikiran tambahan yang penting
Untuk menghindari kesalahpahaman, di penghujung artikel ini saya ingin menegaskan bahwa preferensi pribadi saya adalah liturgi tradisional. Walaupun saya bisa menikmati (bahkan memainkan) musik gereja kontemporer, saya merasa lebih nyaman dengan lagu-lagu himne yang dinyanyikan secara baik dan indah. Permainan piano dan organ selalu menyejukkan hati. Ditambah dengan lirik yang sarat dengan ajaran teologis yang mendalam dan beragam, lengkaplah sukacita saya di tengah liturgi tradisional.
Meskipun demikian, saya tidak pernah menganggap bahwa liturgi tradisional secara kategorikal lebih baik daripada musik kontemporer. Saya meragukan bahwa Allah hanya dapat disenangkan melalui lagu-lagu himne. Saya bahkan meyakini bahwa memuji Allah dalam berbagai musik tradisional juga mampu menghadirkan keindahan tersendiri. Jika umat Allah memang terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan budaya (Why 7:9), mengapa liturgi Kristiani harus dibatasi pada musik warisan Barat?
Atas dasar pemikiran di atas, GKRI Exodus menawarkan beragam gaya ibadah: dari tradisional, campuran, sampai kontemporer. Jemaat dipersilahkan untuk memilih gaya ibadah mana yang lebih membantu mereka beribadah dengan cara yang tulus dan bebas kepada Allah. Langkah ini bukan dimaksudkan untuk menyenangkan jemaat, melainkan untuk mengedukasi mereka bahwa bentuk ibadah hanyalah ekspresi, yang terpenting adalah esensi di dalamnya.
Melalui artikel ini saya mengajak rekan-rekan saya dari aliran Reformed untuk meninjau ulang sikap mereka terhadap musik gereja kontemporer. Penilaian kita harus didasarkan pada ajaran Alkitab. Jika Alkitab tidak melarang sesuatu, mengapa kita memberikan larangan-larangan atas dasar tradisi? Biarlah masing-masing gereja bergumul secara intensif untuk mengadopsi jenis liturgi dan gaya ibadah tertentu yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi gereja lokal masing-masing. Apapun keputusan kita, itulah yang terbaik untuk konteks kita masing-masing. Selama tidak ada ajaran Alkitab yang dilanggar atau batasan etika yang diterjang, kreativitas dan kontekstualisasi dalam ibadah bukan hanya diizinkan melainkan disambut dengan tangan terbuka. Soli Deo Gloria.