(Lanjutan tgl 29 Juli 2018)
Apa yang dilakukan oleh para penulis Alkitab ini sangat wajar. Semua penulis sejarah maupun biografi kuno juga menggunakan proses yang sama. Menuntut setiap peristiwa dituliskan secara detil dan persis sama dengan faktanya merupakan tuntutan yang tidak logis. Bahkan sampai sekarang pun para penulis sejarah atau biografi modern pun tidak mampu melakukannya. Pasti ada seleksi, interpretasi, dan peredaksian dalam taraf tertentu. Jika kita membandingkan kitab-kitab injil dengan kitab sejarah atau biografi kuno, kita bahkan akan menemukan bahwa akurasi kitab-kitab Injil berada jauh di atas rata-rata.
Inti yang ingin disampaikan di atas adalah apresiasi terhadap jenis literatur (genre) suatu kitab. Jikalau kitab-kitab Injil termasuk ke dalam kategori kitab sejarah atau biografi kuno, kita patut menimbang akurasinya berdasarkan kebiasaan kuno yang berlaku dalam jenis literatur tersebut. Hal ini sangat wajar dan logis. Bukankah kita juga tidak mungkin menyoal akurasi sebuah puisi dari kacamata tulisan sejarah?
Jikalau aspek jenis literatur sudah dijernihkan, kita bisa melangkah ke penjelasan berikutnya, yaitu tujuan dan pertimbangan dari setiap kitab atau setiap kisah. Peristiwa yang sama bisa saja diceritakan secara berlainan oleh para saksi mata yang berbeda. Perbedaan laporan ini tidak selalu kontradiktif. Mungkin hanya sekadar beda fokus, ketertarikan, atau tujuan. Sebagai contoh: pada saat sebuah kecelakaan lalu lintas terjadi, polisi menanyai para saksi mata. Tidak mungkin setiap saksi memberikan laporan yang sama persis. Apa yang dilihat sama, tetapi perhatian orang terhadap detil peristiwa berbeda-beda. Yang penting adalah laporan itu tidak boleh kontradiktif. Jika terdapat kontradiksi (bukan sekadar perbedaan atau variasi), tidak mungkin semua laporan itu benar. Pasti ada yang keliru. Tujuan spesifik yang ingin dicapai oleh seorang penulis di suatu kisah mendorong dia untuk meredaksi sebuah kisah sedemikian rupa sehingga efektif untuk menggapai tujuan itu. Yang penting, akurasi historis tidak dikorbankan.
Banyak contoh yang bisa dipaparkan untuk menjelaskan poin ini. Saya hanya akan menyediakan dua contoh di sini. Silsilah Yesus Kristus di Matius 1:1-17 berbeda dengan silsilah di Lukas 3:23-38. Tujuan yang berbeda mendorong para penulis memilah dan memilih silsilah yang berbeda pula. Hal ini wajar. Silsilah memang tidak perlu dituliskan semuanya. Terlalu panjang. Tidak semua nama juga penting atau berkaitan dengan tujuan sesuatu silsilah. Dalam kasus Matius 1:1-17, dia sengaja menyoroti posisi Daud. Yesus disebut sebagai “anak Daud”, baru “anak Abraham” (1:1). Nama “Daud” muncul berkali-kali (1:17). Bahkan pengelompokan 14-14-14 sesuai dengan nama Daud dalam alfabet Ibrani: D = 4, W = 6, D = 4. Jika dijumlahkan hasilnya adalah 14. Sorotan pada Daud ini penting karena kisah berikutnya berhubungan dengan kelahiran Yesus sebagai raja dari Yusuf, keturunan Daud (1:20) dan di kota Daud pula (2:5-6).
Bersambung……………