Imamat 12:1-8 merupakan salah satu teks yang sering dipersoalkan, apalagi dalam konteks jaman yang sudah dipengaruhi oleh feminisme. Ayat ini terkesan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Masa kenajisan dan pentahiran sesudah melahirkan bayi perempuan dua kali lebih lama daripada bayi laki-laki. Durasi kenajisan adalah satu minggu versus dua minggu (12:2, 5). Masa pentahiran juga 33 hari versus 66 hari (12:3, 5).
Mengapa ada pembedaan seperti ini? Apakah Allah bertindak diskriminatif terhadap perempuan?
Berbagai penafsiran sudah ditawarkan sebagai jawaban. Yang paling umum adalah melihat teks ini dari kacamata budaya kuno. Aturan seperti ini juga dapat dijumpai di beberapa budaya kuno lain, misalnya Mesir dan Yunani. Hampir semua budaya kuno menganut sistem patriakhal (laki-laki lebih utama daripada perempuan). Pekerjaan, warisan, keturunan dan sebagainya dilekatkan pada laki-laki, bukan perempuan. Dalam perspektif seperti ini, Imamat 12:1-8 jelas tidak akan menimbulkan pertentangan. Aturan ini dianggap wajar. Tidak ada maksud untuk merendahkan perempuan. Memang kebiasaannya seperti itu.
Walaupun penjelasan ini mengandung kebenaran, tetapi penyelidikan yang lebih mendalam akan menunjukkan bahwa Imamat 12:1-8 tidak sekadar mengikuti apa yang wajar pada waktu itu. Ada alasan-alasan lain mengapa aturan setelah melahirkan bayi perempuan dan laki-laki perlu dibedakan.
Opsi lain yang dimajukan adalah melihat dari kacamata sekarang. Menurut penelitian medis terkini, waktu yang diperlukan untuk menciptakan embrio perempuan dan laki-laki memang berbeda. Yang lain menyinggung tentang perbedaan waktu pendarahan sesudah melahirkan bayi perempuan dan laki-laki. Berdasarkan perbedaan waktu pembentukan embrio dan pendarahan paska melahirkan ini, sangat wajar apabila durasi kenajisan dan pentahiran juga dibedakan.
Harus diakui, penjelasan seperti ini sangat menarik. Dengan bukti medis, penjelasan ini terlihat lebih meyakinkan. Walaupun demikian, penjelasan ini terlalu memaksakan pemikiran modern ke dalam teks (kesalahan ini disebut anakronisme). Bangsa Israel pada waktu itu pasti tidak akan berpikir sampai ke sana.
Usulan terbaik adalah melihat dari kacamata Imamat 12:1-8 sendiri. Tentang masa kenajisan selama seminggu perlu dipahami dalam kaitan dengan erat perintah lain untuk menyunatkan bayi laki-laki pada hari ke-8 (12:3). Jika si ibu najis selama dua minggu, dia tidak dapat menghadiri ritual sunat yang sangat penting ini. Dia dianggap najis dan tidak boleh pergi ke kemah suci.
Tentang perbedaan masa pentahiran memang sedikit sulit untuk ditafsirkan. Kunci untuk memahami hal ini sangat mungkin berkaitan dengan kesuburan rahim sebagai salah satu berkat ilahi (Kej. 1:28). Dalam budaya waktu itu, memiliki banyak keturunan adalah berkat TUHAN dan tidak memiliki keturunan adalah aib. Pentahiran yang lebih lama setelah kelahiran anak perempuan mungkin merupakan tindakan iman: orang tua mengantisipasi dan mengamini janji Allah atas anak perempuannya. Jadi, ini adalah tindakan simbolis yang menyiratkan keyakinan mereka bahwa si bayi perempuan juga kelak akan menjadi najis setelah melahirkan anaknya sendiri.
Tindakan ini bisa disejajarkan dengan sunat untuk bayi laki-laki. Sebagaimana sunat merupakan tindakan simbolis yang menyiratkan iman kepada TUHAN, demikian pula pentahiran yang lebih lama menyiratkan hal yang sama. Jika ini diterima, maka tidak ada diskriminasi sama sekali terhadap perempuan di Imamat 12:1-8. Sebaliknya, durasi yang lebih panjang justru menyiratkan iman kepada janji Allah. Soli Deo Gloria.