Salah satu pertanyaan seputar Alkitab yang sering dikemukakan oleh kelompok skeptis adalah keragaman penafsiran terhadap Alkitab. Bagi mereka, hal ini merupakan sebuah persoalan yang besar bagi orang-orang Kristen yang mengakui Alkitab sebagai firman Allah. Mengapa Allah membuat firman-Nya terlihat sukar untuk dipahami? Tafsiran mana yang dapat dipercayai? Mengapa merisaukan hal-hal yang terkesan tidak pasti seperti ini?
Sekilas sanggahan di atas cukup masuk akal. Jika Allah menghendaki semua manusia untuk mengerti kehendak-Nya sebagaimana dituliskan dalam Alkitab, mengapa Dia tidak membuat semua orang mengerti firman-Nya secara seragam? Jika ditelaah secara lebih seksama, kekuatan sanggahan ini tidaklah begitu menjanjikan.
Yang membuat Alkitab menjadi sukar dipahami adalah beragam jurang yang ada antara penerima mula-mula dan kita sekarang. Ada jurang bahasa, budaya, historis, geografis, dan sebagainya. Alkitab ditulis dalam Bahasa Ibrani dan Aramik (Perjanjian Lama) serta Bahasa Yunani (Perjanjian Baru). Sebagai sebuah kitab kuno, Alkitab ditulis dalam konteks politis, historis, kultural, dan geografis tertentu. Tidak semua konteks ini dapat ditelusuri kembali berdasarkan peninggalan arkheologis maupun tulisan-tulisan kuno yang ada. Jurang inilah yang menyebabkan ada ruang cukup lebar bagi ketidakpastian dan perbedaan pendapat.
Bagi penerima kitab mula-mula, Alkitab jelas tidak sesulit seperti yang kita alami sekarang. Mereka berbagi latar belakang kultural, lingusitik, historis, politis, dan geografis yang sama dengan para penulis Alkitab. Kalau pun ada bagian-bagian tertentu yang tetap dianggap sulit, tingkat kesulitannya tidak akan sebesar yang kita hadapi sekarang. Dalam kenyataannya, Alkitab lebih merupakan kitab-kitab praktis yang ditujukan untuk penyelesaian masalah-masalah praktis yang dihadapi oleh jemaat. Jika tujuannya memang praktis, Alkitab kemungkinan besar ditulis dalam bahasa dan ungkapan yang sederhana bagi mereka. Alkitab bukan kumpulan teka-teki teologis yang tak terpecahkan.
Hal lain yang tidak boleh dilupakan adalah keberadaan hamba-hamba Tuhan sebagai pemandu kebenaran. Allah telah menyediakan para imam dan para nabi sebagai penafsir dan pemberita kebenaran (Ez. 7:10). Pada masa gereja mula-mula, ada para rasul dan pemimpin Kristen lain yang mampu dan siap menjelaskan kitab suci (Kis. 18:26). Perbedaan penafsiran lebih merupakan persoalan bagi orang-orang Kristen yang hidup di periode-periode selanjutnya.
Jurang antara pembaca mula-mula dengan kita sekarang bukanlah satu-satunya persoalan. Alkitab dengan jujur memberitahukan bahwa orang-orang pada zaman Alkitab pun tidak dapat mengerti kebenaran. Namun, hal ini sama sekali tidak melemahkan status Alkitab sebagai firman Allah. Persoalan lebih terletak pada mereka, bukan pada kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh, jemaat di Korintus terpengaruh dengan filsafat dualisme Yunani, sehingga menyangkali kebangkitan tubuh (1Kor. 15:12, 33). Golongan Saduki pernah dikecam oleh Tuhan Yesus sebagai orang-orang yang tidak mengerti firman Allah maupun kuasa Allah (Mat. 22:29). Kesombongan manusia seringkali menghalangi mereka untuk mengenal Allah dengan benar (2Kor. 10:5). Jika firman Tuhan yang secara langsung disampaikan oleh Tuhan Yesus dan para rasul saja ditentang, tidak heran jika sikap yang sama ditunjukkan kepada Alkitab sebagai firman Allah yang tertulis. Pendeknya, ketidakmampuan untuk mengerti kebenaran seringkali lebih merupakan persoalan spiritual daripada intelektual.
Kita juga tidak boleh melupakan sebuah fakta penting bahwa Alkitab merupakan tulisan manusia. Lebih tepatnya, karya ilahi dan insani. Allah mengilhami para penulis (2Tim. 3:15; 2Pet 1:20-21), tetapi merekalah yang menuliskan segala firman tersebut (Luk. 1:1-4; Rm. 16:22). Sebagai sebuah produk insani dan dimaksudkan sebagai salah satu sarana komunikasi, tidak terelakkan jika terjadi proses interpretasi dalam pikiran para pembaca sebagai penerima pesan. Para penulis menyampaikan sesuatu dengan kode tertentu dan para pembaca mencoba memahami pesan dari kerangkan kode tertentu pula. Hal seperti ini bukan hanya lazim terjadi, tetapi tidak terhindarkan dalam sebuah komunikasi.
Apakah keragaman penafsiran pada dirinya sendiri membuktikan kelemahan dari pesan yang disampaikan? Tentu saja tidak! Kodenisasi dalam komunikasi membutuhkan kemampuan penerima pesan untuk menguak dan memahami kode-kode yang disampaikan. Kemampuan ini berkaitan dengan bagaimana seseorang menjembatani jurang bahasa, budaya, historis, politis, dan geografis seperti yang sudah disinggung di depan.
Jika kerangka kodenisasi antara penyampai dan penerima komunikasi sudah seragam dan keragaman penafsiran maupun kesalahpahaman masih muncul, hal itu baru menunjukkan ketidaksempurnaan dari pesan yang disampaikan. Dalam konteks penyampaian firman Allah di dalam Alkitab, kita tidak mungkin mendapatkan situasi yang ideal seperti ini (paling tidak, untuk tahap sekarang). Dengan kata lain, semua jurang yang ada belum mampu dijembatani secara sempurna. Peninggalan arkheologis dan historis dari zaman Alkitab belum lengkap. Banyak informasi yang dibutuhkan mungkin tidak akan pernah bisa ditelusuri lagi. Keterbatasan ini tidak membuktikan bahwa Alkitab terbatas. Seperti sudah disampaikan sebelumnya, hal ini lebih berhubungan dengan keterbatasan kita sebagai pembaca yang hidup berjauhan dari masa Alkitab.
Jika keragaman penafsiran merupakan kelaziman (bahkan keniscayaan) akibat dari keterbatasan data yang diperlukan, bagaimana kita dapat mengetahui penafsiran mana yang paling tepat? Sama seperti dalam berbagai komunikasi yang lain, faktor penting yang tidak boleh diabaikan adalah konteks dan konsistensi.
Konteks. Kita tidak boleh asal comot kata, frasa, atau kalimat, tanpa memperhatikan keseluruhan konteks yang ada. Arti sangat ditentukan oleh konteks. Sebagai contoh, kata “bisa” bisa berarti mampu atau racun ular, tergantung pada konteks pembicaraan. Seruan “awas” bisa menyiratkan sebuah ancaman atau peringatan biasa. Metafora “singa” bisa berarti positif (Yesus adalah singa dari Yehuda) atau negatif (Iblis berjalan keliling seperti singa yang mengaum).
Konsistensi. Ketepatan sebuah penafsiran juga perlu diukur berdasarkan konsistensi dalam sebuah kitab, kumpulan kita, atau seluruh Alkitab. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa setiap penulis memiliki karakteristik tertentu, baik secara sastra (gaya penulisan) maupun teologi (tema-tema yang ditekankan). Setiap penafsiran yang bertabrakan dengan konsistensi sastra maupun teologis seorang penulis pasti tidak bisa dibenarkan. Setiap penafsiran yang bertentangan dengan ajaran Alkitab secara keseluruhan berarti tidak perlu dipertahankan.
Dalam kasus teks-teks tertentu yang tetap bias, kita perlu mempraktekkan sebuah prinsip: teks yang jelas menafsirkan teks yang kurang jelas. Hanya berkutat pada teks yang kabur bukanlah pilihan yang tepat. Kita sebaiknya mencari pencerahan untuk tema atau ide yang sama dari teks-teks lain yang lebih tidak diperdebatkan.
Dengan berbekal pembacaan yang teliti terhadap konteks dan konsistensi seperti inilah, kita akan mendapati bahwa Alkitab tidak sesulit yang dipikirkan sebelumnya. Tetap ada kesulitan. Tetap ada keterbatasan. Tetap ada keragaman penafsiran. Namun, banyak di antaranya dapat diselesaikan apabila seorang penafsir mau memperhatikan konteks dan konsistensi. Soli Deo Gloria.