Pernahkah kita melakukan sesuatu yang benar dengan cara dan tujuan yang benar, tetapi ternyata motif dalam hati kita tidaklah benar? Melayani orang lain dalam kesusahan mereka, misalnya, adalah sesuatu yang benar. Kita melakukan itu dengan cara yang benar (bersungguh-sungguh, sukacita, dsb.) Tujuannya pun benar, yaitu menolong orang lain menang atas kesusahan. Persoalannya, motif yang menggerakkan kita ternyata hanyalah kehormatan dan aktualisasi diri. Kita ingin dipandang baik dan berguna bagi orang lain.
Seandainya situasi di atas terjadi pada kita, dan kita sendiri diwajibkan memberikan penilaian terhadap pelayanan kita, berapa nilai yang akan kita peroleh (antara 0-100)? Bagaimana jika yang dikerjakan tidak benar, tetapi dilakukan dengan motif, cara, dan tujuan yang benar? Apakah nilai yang diperoleh akan berubah? Ternyata memberikan penilaian terhadap suatu tindakan tidaklah gampang.
Teks hari ini akan memberikan panduan dan teladan. Situasi yang dihadapi oleh Paulus dan kita mungkin berbeda, tetapi prinsipnya tetaplah sama.
Hidup yang berpusat pada Injil
Hidup selalu memberikan banyak hal untuk disyukuri jikalau kita melihatnya dari perspektif yang benar. Yang penting bukan apa yang dilihat (objek), melainkan bagaimana cara melihatnya (perspektif). Bila kita melihat segala sesuatu dari teropong kedaulatan Allah dan lensa Injil, dunia akan tampak sangat berbeda. Itulah yang diajarkan Paulus dalam teks kita hari ini.
Ayat 15-18 tidak dapat dipisahkan dari ayat 12-14. Di sana Paulus menjelaskan dampak positif bagi Injil yang muncul dari situasi negatif yang dia hadapi. Walaupun sang pemberita Injil dibelenggu, tetapi berita Injil tidak pernah terbelenggu (bdk. 2Tim. 2:9). Banyak penghuni penjara istana yang akhirnya mengenal Injil melalui Paulus (ayat 13). Banyak orang Kristen didorong untuk semakin berani memberitakan Injil (ayat 14).
Apa yang penting bagi Paulus bukanlah keamanan dan kenyamanan diri sendiri, melainkan kemajuan Injil. Baik atau tidak baiknya suatu situasi diukur dari dampak situasi itu bagi pekerjaan Injil. Lebih baik menderita demi kemajuan Injil daripada menikmati hidup tanpa memberi sumbangsih bagi perkembangan Injil.
Dengan perspektif yang sama, Paulus mensyukuri semua pemberitaan Injil yang dilakukan sebagai respons terhadap pemenjaraan yang dia alami, terlepas dari motif di baliknya. Ada yang melakukannya dengan dorongan yang benar (mengasihi Paulus). Ada pula yang dengan maksud buruk (memperberat beban Paulus). Selama Injil mengalami kemajuan (bdk. ayat 12b), Paulus akan bersukacita (ayat 18a). Apa yang dia rasakan tidaklah penting. Yang penting adalah kemajuan pekerjaan Tuhan.
Hal ini tentu saja tidak berarti bahwa apa yang dilakukan oleh para pemberita Injil dengan maksud yang salah itu adalah benar. Pelayanan seperti ini bukan hanya tidak ideal, tetapi tidak benar. Bagaimanapun, selama berita yang disampaikan adalah benar, masih ada alasan untuk bersyukur kepada Tuhan. Sebaliknya, jika beritanya tidak benar tetapi maksud di dalamnya benar, Paulus tetap akan memberikan kecaman (bdk. Gal. 1:8).
Inilah hidup yang berpusat pada Injil yang benar. Jika kita dihidupkan oleh Injil, kita juga hidup bagi Injil. Jika kita dihidupkan oleh Injil, kita juga memandang hidup dari perspektif Injil.
Motif yang salah dalam memberitakan Injil
Pemenjaraan Paulus telah menggerakkan banyak orang untuk memberitakan Injil dengan lebih berani. Sayangnya, ada juga orang-orang tertentu yang melakukannya dengan maksud yang salah. Paulus tidak ingin menyembunyikan fakta ini. Dia bahkan memberikan penegasan. Sesuai teks Yunani, kita sebaiknya memberikan tambahan “memang benar” di awal ayat 15 (mayoritas versi “indeed”; NIV/NLT “it is true”).
Siapakah orang-orang ini? Beberapa penafsir menduga orang-orang tersebut telah dipengaruhi oleh para pengajar sesat dari kalangan Yudaisme (bdk. 3:1-3). Injil yang mereka beritakan tidak murni, berbeda dengan yang diajarkan oleh Paulus.
Dugaan di atas tampaknya tidak tepat. Jika yang dikompromikan adalah isi Injil, Paulus tidak mungkin akan bersukacita. Dia pasti mengecam dengan keras.
Kita sebaiknya lebih menyoroti motif personal daripada kesalahan doktrinal. Para pemberita Injil dengan maksud buruk ini adalah mereka yang tidak menyukai Paulus. Ketidaksukaan ini didorong oleh iri hati (phthonos, 1:15a) dan perselisihan (eris, 1:15a) serta ambisi pribadi (eritheia, 1:17a). Itulah sebabnya Paulus menasihati semua jemaat Filipi untuk memiliki kesatuan roh dan jiwa (1:27) dan tidak mencari kepentingan diri sendiri (eristheia, 2:3). Bahkan beberapa pemimpin dinasihati untuk bersatu hati (4:2).
Para pemberita Injil dengan maksud buruk ini ingin memperberat beban Paulus dalam penjara (1:17b). Teks tidak menyediakan petunjuk yang jelas bagaimana tindakan mereka dalam menambah beban Paulus. Kata “beban” (thlipsis) juga memiliki jangkauan arti yang cukup luas. Apakah mereka sekadar ingin terlihat lebih giat dan hebat dibandingkan Paulus yang terbatasi oleh belenggu di penjara (dengan demikian mereka terlihat lebih berkontribusi bagi Injil)? Apakah mereka berharap agar upaya keras yang mereka lakukan bisa menyebabkan Paulus mendapatkan perlakuan lebih keras di dalam penjara? Kita tidak tahu dengan pasti. Paulus lebih menyoroti motif mereka yang keliru daripada dampak yang mereka harapkan.
Motif yang benar dalam memberitakan Injil
Tidak semua orang memberitakan Injil dengan maksud yang buruk. Ada pula yang melakukannya dengan maksud yang benar. Memang begitulah sepatutnya. Injil yang benar harus diberitakan dengan maksud dan cara yang benar.
Pertama, Injil harus diberitakan dengan “maksud baik” (eudokia, ayat 15b). Walaupun kata ini seringkali merujuk pada kehendak ilahi (bdk. 2:3), tetapi konteks 1:15-18 mengarah pada kehendak manusia. Eudokia dikontraskan dengan phthonos, eris, dan eristheia yang mendorong para pemberita yang buruk. Lagipula, 1:16 mengaitkan eudokia dengan kasih kepada Paulus.
Di tengah situasi Paulus yang “buruk” dalam penjara, para pemberita Injil dengan maksud baik ini jelas menjadi pembawa semangat tersendiri. Mereka memang tidak mungkin menggantikan posisi Paulus di dalam penjara. Mereka juga tidak bisa melepaskan Paulus dari sana. Namun, mereka dapat melakukan apa yang Paulus sekarang tidak dapat lakukan: memberitakan Injil dengan lebih leluasa dan lebih giat. Mereka ingin memastikan bahwa apa yang sudah dimulai oleh Paulus akan terus dikerjakan sampai kesudahannya.
Kedua, Injil harus diberitakan dengan kasih yang berpengetahuan (ayat 16). Maksud yang baik belum tentu didorong oleh kasih. Ada beberapa orang mungkin lebih didorong oleh perasaan kasihan atau sekadar kebiasaan. Tidak demikian dengan para pemberita Injil di 1:15b-16. Mereka didorong oleh kasih kepada Paulus.
Walaupun demikian, kasih mereka bukanlah kasih yang buta. Jika tidak demikian, kasih mereka tidak lain hanyalah sebuah fanatisme yang bodoh. Walaupun kasih bersifat tanpa persyaratan, tetapi bukan berarti tanpa pengetahuan. Mereka mengasihi karena mereka mengetahui kebenaran. Itu sesuai dengan doa Paulus di 1:9 “Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian”.
Mereka tahu bahwa Paulus ada di penjara untuk membela Injil. Pemenjaraan Paulus bukan disebabkan oleh kesalahan atau kebodohannya. Tatkala Paulus ada di penjara, yang dia pentingkan bukan dirinya sendiri tetapi Injil. Dia membela Injil, bukan diri sendiri. Yang penting diupayakan bukanlah kebebasan, melainkan pemberitaan firman Tuhan.
Berbeda dengan para pemberita Injil yang bermotif buruk, Paulus tidak memiliki kepentingan sendiri. Semua adalah tentang Injil. Hidup Paulus berputar dan berkisar pada Injil: perasaannya, keputusannya, penilaiannya, sukacitanya. Itulah hidup yang digerakkan oleh Injil! Soli Deo Gloria.