Dalam salah satu buku yang provokatif yang berjudul Mustahil Kristen Bisa Menjawab, H. Ihsan L. Mokoginta meletakkan pertanyaan di atas sebagai serangan pertama terhadap kekristenan. Tidak ada alasan yang jelas dan kuat mengapa isu ini perlu diposisikan di awal bukunya. Inti dari pembahasan Mokoginta di bagian ini adalah pembuktian bahwa penggunaan istilah “Kristen” sekarang ini adalah tidak tepat.
Ia menunjukkan bahwa istilah “Kristen” (Christianos) baru muncul sekitar 15 tahun sesudah kematian Yesus Kristus. Istilah ini pertama kali dikenakan pada para pengikut Yesus di Anthiokia oleh Paulus dan Barnabas (Kisah Para Rasul 11:26). Jika demikian, Yesus jelas tidak pernah menggunakan istilah itu maupun menganggap diri-Nya sebagai seorang Kristen. Mokoginta juga sempat menyinggung sedikit tentang pemunculan kata “Kristen” sebanyak 6 (enam) kali dalam Alkitab, namun ia tidak menerangkan mengapa ia perlu menunjukkan data tersebut (Kisah Para Rasul 11:26; 26:28; Roma 16:7; 1 Korintus 9:5; 2 Korintus 12:2; 1 Petrus 4:16). Ia tampaknya lebih setuju apabila agama Kristen disebut Nashrani, sesuai dengan istilah yang muncul di dalam Alquran.
Bagaimana meresponi pendapat Mokoginta ini? Mokoginta secara tepat telah mengutip Kisah Para Rasul 11:26 sebagai bukti bahwa sebutan “Kristen” baru muncul pada zaman Paulus dan Barnabas. Ia juga tidak salah dalam menggunakan teks tersebut sebagai landasan bagi pendapatnya bahwa Yesus sendiri tidak pernah menyebut diri sebagai orang Kristen. Menganggap Yesus beragama Kristen merupakan sebuah kesalahan anakronistik (menerapkan sesuatu yang lebih modern kepada yang kuno). Bagaimana mungkin Yesus beragama Kristen sedangkan sebutan “Kristen” sendiri baru muncul 15 tahun setelah kematian-Nya?
Walaupun demikian, ada beberapa hal yang perlu diluruskan atau diperjelas dalam argumen Mokoginta. Pertama, pemberi sebutan. Mokoginta meyakini bahwa sebutan ini berasal dari Paulus dan Barnabas. Namun, tafsiran ini tidak tepat. Teks tidak memberi petunjuk ke arah sana sedikit pun. Sebaliknya, banyak ahli bahasa Yunani maupun penulis kamus Yunani Koine (misalnya J. H. Thayer, Abbott-Smith) justru berpendapat bahwa sebutan itu berasal dari orang-orang non-Kristen dan bahwa sebutan itu justru mulanya diberikan sebagai sebuah olokan.
Pendapat terakhir ini tampaknya lebih akurat. Jika memang sebutan
Christianos” berasal dari pemimpin Kristen, mengapa sebutan itu hanya muncul tiga kali dalam Alkitab (Kisah Para Rasul 11:26; 26:28; 1 Petrus 4:16)? Sebutan itu tidak muncul di Roma 16:7, 1 Korintus 9:5, dan 2 Korintus 12:2 (kontra Mokoginta). Pemunculan kata “Kristen” dalam Alkitab versi Indonesia merupakan terjemahan bebas untuk memudahkan pemahaman. Terjemahan yang lebih hurufiah seharusnya “di dalam Kristus” (Roma 16:7 dan 2 Korintus 12:2) atau “yang percaya” (1 Korintus 9:5). Mengapa sebutan itu baru menjadi populer dan dipakai oleh orang-orang Kristen pada akhir abad ke-1 atau awal abad ke-2, sebagaimana tercermin dalam tulisan pemimpin Kristen awal yang bernama Ignatius dari Anthiokia (lihat Grundmann, TDNT IX: 576)?
Lebih jauh, berdasarkan pemunculan “Christianos” di Kisah Para Rasul 26:28 dan 1 Petrus 4:16 terlihat bahwa sebutan ini keluar dari mulut orang-orang yang bukan Kristen (dari Raja Agrippa II dan orang-orang yang menganiaya para pengikut Kristus). Nuansa penghinaan tesirat dalam dua itu. Penambahan akhiran Latin –ianos pada kata “Kristus” sangat mungkin didorong oleh kebiasaan gereja mula-mula dalam menyebut dan mengagungkan nama Kristus. Sama seperti para pengikut Herodes dinamakan “Herodian” (hērōdianos, Matius 22:16; Markus 3:6; 12:13), demikian pula para pengikut Kristus dipanggil “Kristen” (F. F. Bruce, The Acts of the Apostles, 274).
Kedua, nilai penting sebutan. Salah satu dugaan tersirat dalam argumentasi Mokoginta yang seringkali diabaikan para penentangnya adalah nilai penting sebutan “Christianos” yang diyakini berasal dari Paulus dan Barnabas (terutama Paulus). Melalui keyakinan ini Mokoginta ingin menyampaikan sebuah pesan terselubung: agama Kristen berasal dari Paulus, bukan dari Yesus. Salah satu cuplikan dari tulisan Mokoginta berbunyi: “Paulus dan Barnabas memberi nama ‘Kristen’ terhadap agama yang mereka bentuk” (huruf miring ditambahkan untuk penekanan). Pesan semacam ini bukanlah isu baru dalam diskusi relijius antara Kristen dan Islam (saya tidak akan mengupas isu ini secara mendetil sekarang, karena Mokoginta sendiri tidak menyediakan argumen apa pun untuk mendukung pernyataannya).
Jika Mokoginta memang berpikir demikian, ia telah melakukan beberapa kesalahan sekaligus. Seperti sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, sebutan “Kristen” tidak berasal dari Paulus. Bahkan seandainya sebutan itu berasal dari Paulus, hal itu tetap tidak membuktikan bahwa ajaran Kristen berasal dari Paulus. Jika kekristenan baru dibentuk oleh Paulus dan Barnabas di Anthiokia, bagaimana dengan gerakan kekristenan yang sebelumnya sudah berkembang sedemikian pesat di Yerusalem dan Samaria (Kisah Para Rasul 2-10)? Bagaimana dengan para pengikut Yesus sebelum Paulus “membentuk agama Kristen”?
Ketiga, padanan sebutan. Memahami sebutan “Christianos” sebagai padanan untuk “agama” merupakan sebuah kesalahan. Gereja mula-mula tidak pernah dianggap sebagai sebuah agama yang baru oleh orang-orang pada zaman itu. Banyak orang Yahudi pada abad ke-1 menyebut kekristenan sebagai sekte (hairesis, Kisah Para Rasul 24:5, 14). Demikian pula dengan pemimpin Romawi (Kisah Para Rasul 28:22). Kata yang sama (hairesis) ternyata juga digunakan dalam Perjanjian Baru untuk aliran Saduki (Kisah Para Rasul 5:17) maupun Farisi (Kisah Para Rasul 26:5). Di ayat yang terakhir ini bahkan secara jelas ditunjukkan bahwa hairesis (sekte/mazhab/aliran) adalah bagian dari thrēskeia (agama atau sistem kepercayaan). Tentu saja tidak ada orang yang akan menganggap aliran Saduki atau Farisi sebagai agama baru. Keduanya tetap termasuk ke dalam agama Yahudi (Yudaisme). Hanya mereka memiliki penafsiran dan teologi yang berlainan. Demikian pula dengan kekristenan adalah salah satu aliran dalam Yudaisme. Baik Paulus maupun para penulis Perjanjian Baru yang lain berkali-kali menunjukkan bahwa iman mereka seturut dengan kitab suci yang juga dipercayai oleh orang-orang Yahudi (lihat misalnya Kisah Para Rasul 24:14).
Keempat, sebutan untuk “agama” Yesus. Mokoginta mempersoalkan kebenaran ajaran Kristen dengan alasan bahwa Yesus sendiri tidak pernah menyebut diri-Nya sebagai orang Kristen. Cara berpikir semacam ini jelas kurang solid. Sebutan “Christianos” berarti “pengikut Kristus” atau “milik Kristus”. Bagaimana mungkin Yesus sendiri menyebut diri-Nya dengan sebutan ini (Yesus adalah pengikut Kristus? Yesus adalah milik Kristus?). Lagipula, seperti Mokoginta sendiri sudah tunjukkan, sebutan itu baru muncul 15 tahun sesudah Yesus mati. Bagaimana mungkin Ia memakai sebutan yang belum ada pada zaman-Nya?
Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa argumentasi Mokoginta tidak mengenai sasaran. Ia terlalu membesar-besarkan sesuatu yang sebenarnya bukan masalah sama sekali. Tidak masalah bagaimana seseorang memberikan sebutan terhadap ajaran Yesus. Yang penting adalah isinya. Mengutip kalimat dalam salah satu karya William Shakespeare, saya ingin bertanya kepada Mokoginta: “What is in name?” Kiranya tanggapan saya ini dipersepsi secara benar: bukan sebagai sebuah serangan, melainkan sebagai sebuah undangan untuk berpikir lebih akurat, tajam, dan obyektif. Salam persatuan!