Dunia ini sudah tercemar oleh dosa. Semua aspek kehidupan tidak kebal terhadap akibat dosa, termasuk relasi antara laki-laki dan perempuan. Di satu sisi kita menyaksikan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Poligami, pembatasan hak wanita, dan berbagai bentuk pelecehan maupun eksploitasi seksual terhadap wanita merupakan fenomena yang sudah tidak mengagetkan kita. Di sisi lain feminisme mulai mengubah budaya modern. Kaum feminis bergerak di semua bidang. Mereka mencoba menghapuskan semua bentuk perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Gerakan emansipasi wanita (memperjuangkan hak wanita) telah digantikan dengan feminisme (menyetarakan posisi wanita dengan pria secara mutlak).
Untuk meresponi persoalan ini kita perlu kembali kepada Alkitab. Secara khusus kita harus mempelajari lagi doktrin penciptaan. Hal ini sesuai dengan sikap Tuhan Yesus. Pada waktu Ia diperhadapkan dengan masalah perceraian, Ia mengutip dari Kejadian 1-2 (Mat 19:3-6). Rancangan awal Allah untuk pernikahan di Kejadian 1-3 mengajarkan dua hal: kesejajaran laki-laki dan perempuan, tetapi juga posisi laki-laki sebagai kepala.
Kesejajaran dan posisi sebagai kepala memang sebuah paradoks. Keduanya tidak berkontradiksi. Paradoks membicarakan tentang satu kebenaran yang dilihat dari dua sisi yang berbeda. Sebagai orang Kristen kita seyogyanya tidak kaget dengan paradoks, karena Alkitab berisi banyak paradoks: Allah yang membatasi diri-Nya supaya manusia dapat mengenal Dia, Allah yang menjadi manusia, Pencipta kehidupan yang mati di kayu salib, keterpisahan Bapa dan Anak pada waktu penyaliban, dsb.
Kejadian 1:26-28
Kesejajaran antara laki-laki dan perempuan dalam bagian ini disiratkan dalam banyak cara. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan modus yang sama. Penciptaan manusia yang bersifat pribadi (bandingkan “Baiklah Kita...” di ayat 26 dengan “Hendaklah...” di ayat 3-25) tidak hanya ditujukan pada Adam, tetapi juga kepada Hawa. Keduanya sama-sama disebut “manusia” (ayat 26, 27). Keduanya disebut sebagai gambar Allah (ayat 27). Baik Adam maupun Hawa sama-sama diberi mandat untuk menguasai bumi (ayat 26, 28). Berkat TUHAN juga diberikan kepada mereka (ayat 28 “Allah memberkati mereka, lalu berfirman kepada mereka”). Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa secara hakekat laki-laki lebih tinggi daripada wanita. Keduanya setara.
Bagaimanapun juga, kesetaraan tersebut tetap tidak meniadakan posisi laki-laki sebagai kepala. Beberapa petunjuk mengarahkan kita untuk melihat keutamaan laki-laki. Yang paling penting untuk digarisbawahi adalah penyebutan jenis kelamin manusia yang berbeda di ayat 27. Binatang-binatang yang diciptakan di hari ke-5 juga memiliki perbedaan jenis kelamin, tetapi Kejadian 1 tidak pernah menyebutkan perbedaan itu secara spesifik. Perbedaan antara jantan dan betina tidak sepenting perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Jika Alkitab menyebutkan perbedaan jenis kelamin manusia yang berbeda, hal itu berarti penting untuk diperhatikan.
Petunjuk lain ada di ayat 27. Umat manusia disebut “manusia”. Dalam bahasa Ibrani kata ini muncul dalam bentuk tunggal dan berjenis kelamin maskulin. Tidak heran, bagian selanjutnya “diciptakan-Nya dia” dalam berbagai versi Inggris dengan tepat digunakan kata ganti orang “him” (maskulin). Baru di bagian akhir ayat 27 kita menemukan bentuk jamak “mereka” atau “laki-laki dan perempuan”. Dari sini terlihat bahwa kejamakan manusia (laki-laki dan perempuan) diwakili oleh ketunggalan (laki-laki).
Kejadian 2:18-25
Sama seperti bagian sebelumnya, bagian pun mengajarkan dua hal yang paradoks: kesejajaran laki-laki dan perempuan sekaligus posisi laki-laki sebagai kepala. Bukan hanya kesejajaran, tetapi kesatuan antara laki-laki dan perempuan bahkan mendapat sorotan khusus dalam bagian ini.
Kesejajaran terlihat dari beberapa hal berikut ini. Perempuan disebut sebagai penolong yang sepadan. Terlepas dari beragam penafsiran terhadap kata “sepadan”, kata ini tetap menyiratkan kesejajaran. Jika dibandingkan dengan fakta bahwa Adam tidak mendapatkan pasangan yang sepadan di antara para binatang (ayat 20), kita dapat melihat dengan jelas bahwa Adam dan Hawa berada kelompok yang sama. Mereka berbeda dengan binatang.
Kesejajaran juga tersirat dari kesatuan antara laki-laki dan perempuan. Allah tidak menciptakan perempuan dari tanah liat, melainkan dari tulang rusuk dan daging laki-laki (ayat 22). Kesejajaran tidak muncul dari kesamaan bahan (binatang-binatang di ayat 19-20 yang dibentuk dari tanah liat tetap tidak sepadan dengan Adam). Pada saat Adam melihat Hawa untuk pertama kalinya, ia tidak menganggap perempuan sebagai saingan. Ia menyambut Hawa dengan sukacita (ayat 23). Alkitab bahkan menyatakan dengan jelas bahwa keduanya adalah “satu daging” (ayat 24). Tidak ada cara lain yang lebih eksplisit untuk menggambarkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan!
Walaupun demikian, posisi laki-laki sebagai kepala tetap diajarkan secara jelas di ayat 18-25. Hawa memang penolong yang sepadan, tetapi kita tidak boleh melupakan satu fakta yang sangat fundamental: perempuan diciptakan untuk laki-laki, bukan sebaliknya (ayat 18; 1 Kor 11:9 “Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena laki-laki”). Poin yang sederhana ini sering diabaikan, padahal implikasinya sangat besar. Perempuan menggenapi hakekat kewanitaan mereka dengan cara menolong suami untuk menjadi kepala keluarga yang baik. Sukacita seorang isteri bukanlah pada saat ia menggantikan peran suami, tetapi waktu ia membantu suami menjadi kepalanya.
Fakta bahwa perempuan berasal dari laki-laki juga tidak boleh diabaikan. Paulus menjadikan ini sebagai alasan mengapa laki-laki adalah kepala perempuan (1 Kor 11:8). Dengan kata lain, sumber menunjukkan keutamaan. Hal ini cukup menarik untuk disimak, karena kaum feminis berusaha menghilangkan keutamaan laki-laki sebagai kepala dengan cara menafsirkan (secara keliru) bahwa “kepala” berarti “sumber”. Menurut Paulus, baik “sumber” atau “kepala” sama-sama menyiratkan keutamaan.
Petunjuk keutamaan laki-laki juga tampak dari tindakan Adam menamai Hawa. Sebelumnya di Kejadian 1, pemberian nama pada ciptaan adalah hak Allah. Di Kejadian 2 Allah mendelegasikan hak ini kepada Adam. Ia menamai binatang-binatang (ayat 19-20) maupun perempuan (ayat 23b). Sesudah kejatuhan ke dalam dosa pun, hak ini tetap tidak hilang (3:20). Pemberian nama ini jelas menyiratkan otoritas.
Penyebutan nama “perempuan” (Ibrani ish’ah) yang dijelaskan “berasal dari laki-laki (Ibrani ish)” mempertegas keutamaan laki-laki. Fakta bahwa nama perempuan perlu disebutkan saja sudah menarik, karena sekalipun Adam memberi nama kepada banyak binatang di ayat 19-20, tidak ada satu nama binatang pun yang secara khusus disebutkan di bagian ini. Jadi, nama “perempuan” itu penting, yaitu untuk menekankan dari mana dia berasal.
Petunjuk terakhir tentang keutamaan laki-laki ada di ayat 24: laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya supaya mereka menjadi satu daging. Teks ini sering disalahpahami. Teks ini bukan masalah tempat tinggal atau rumah. Ini masalah menjadi satu tubuh, bukan hanya satu rumah atau satu kamar.
Laki-laki Israel ternyata tidak meninggalkan rumah orang tua mereka pada saat pernikahan. Sebaliknya, ia akan membawa istrinya masuk ke dalam keluarga besar ayahnya. Hanya dalam situasi tertentu yang khusus, laki-laki tinggal dengan mertua (misalnya Yakub dan Musa pada waktu mereka melarikan diri dari bahaya). Kejadian 1:24 sebenarnya mengajarkan bahwa sebuah keluarga yang baru dimulai dari seorang laki-laki. Ia harus meninggalkan komitmen tertinggi yang dulu untuk orang tua, sekarang ia sendiri memulai komitmen yang baru. Sebuah keluarga tidak dimulai dari perempuan.
Kejadian 3:1-24
Berbeda dengan bagian-bagian sebelumnya, Kejadian 3 memaparkan kesejajaran laki-laki dan perempuan dalam kehinaan mereka. Mereka tidak lagi sama-sama mulia, tetapi sama-sama hina. Keduanya melanggar perintah Allah (ayat 6). Untuk menegaskan ini penulis Alkitab mencatat bahwa buah yang dimakan oleh laki-laki adalah hasil pemberian perempuan. Akibat dosa yang mereka harus tanggung juga sama. Keduanya mengalami rasa malu dan ketakutan (ayat 7-8). Keduanya diusir dari Taman Eden (ayat 22-24).
Masing-masing mereka mempertanggungjawabkan kesalahan mereka dan menerima hukuman tertentu yang spesifik (ayat 16, 17-19). Tidak ada di antara mereka yang lebih baik dari sesamanya. Semua sudah berbuat dosa dan kehilangan kemuliaan Allah (Rom 3:23).
Kesamaan status sebagai orang berdosa tidak meniadakan keutamaan laki-laki. Alkitab secara konsisten menyediakan petunjuk bagi posisi laki-laki sebagai kepala. Walaupun yang memakan buah pertama kali adalah perempuan, tetapi Allah meminta pertanggungjawaban laki-laki lebih dahulu (ayat 9-12). Ini bukan tentang “siapa yang lebih dulu bersalah”, melainkan “siapa yang harus mengambil tanggung jawab utama”. Seorang suai atau ayah harus berani bertanggung jawab atas semua carut-marut sebuah keluarga, dan bukan menyalahkan orang lain.
Penyebutan dosa Adam di ayat 17 turut menggarisbawahi keutamaan laki-laki. Yang pertama disebutkan bukanlah dosa memakan buah, tetapi mendengar perkataan istri (ayat 17a “karena engkau mendengarkan perkataan istri dan memakan buah”). Mengapa Adam ditegur dengan cara demikian? Karena dia seharusnya menjadi kepala. Tunduk kepada istri merupakan pemutarbalikan rancangan ilahi, apalagi jika perkataan istri bertentangan dengan firman Tuhan.
Jika kita melihat peristiwa kejatuhan dari perspektif Perjanjian Baru, kita mendapati bahwa yang paling bersalah dalam peristiwa ini adalah Adam. Hawa memang pelaku dosa pertama, tetapi dosa masuk ke dalam dunia bukan melalui dia. Paulus secara eksplisit mengajarkan bahwa dosa masuk ke dunia melalui Adam (Rom 5:12-21; 1 Kor 15:22). Ini membuktikan bahwa Adam adalah perwakilan dari semua umat manusia, bukan Hawa.
Petunjuk terakhir bagi keutamaan laki-laki tersirat dalam jenis hukuman yang diberikan Allah kepada manusia. Hukuman untuk Hawa (ayat 16) hanya berlaku bagi kaum perempuan saja (sakit bersalin dan dikuasai laki-laki), sedangkan hukuman untuk Adam (ayat 17-19) membawa dampak bagi semua orang (bumi yang terkutuk, kerja keras, dan kematian). Perbedaan hukuman ini menegaskan perbedaan posisi Adam dan Hawa dalam kaitan dengan umat manusia yang lain. Hawa hanya mewakili perempuan, Adam mewakili semua orang.
Konklusi
Tidak seperti ajaran feminisme yang menganggap keutamaan laki-laki sebagai akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa, Alkitab secara jelas menunjukkan bahwa keutamaan ini dari semula merupakan rancangan Allah. Perubahan yang terjadi akibat dosa adalah posisi sebagai kepala (headship) telah menjadi posisi sebagai penguasa (rulership). Laki-laki menggunakan kekuatannya sendiri untuk menundukkan perempuan, Sebaliknya, perempuan tidak begitu saja mau tunduk kepada suami. Penebusan Kristus di kayu salib merestorasi kerusakan ini dan mengembalikannya pada rancangan ilahi yang semula. Laki-laki adalah kepala yang mengasihi istri, demikian juga istri adalah tubuh yang secara sukarela tunduk kepada suami sebagai kepala seperti yang sudah diatur oleh Allah (Ef 5:22-33). Soli Deo Gloria. Amin.