Hampir semua kita akrab dengan lagu “I Will Sing of the Mercies of the Lord Forever”. Lagu ini cukup singkat dan bernuansa riang. Walaupun demikian, tidak banyak di antara kita yang tahu bahwa lagu itu diambil dari bagian awal Mazmur 89. Lebih sedikit lagi yang menyadari bahwa mazmur ini berisi ratapan yang menggambarkan pergumulan pemazmur untuk tetap mempercayai TUHAN di masa yang sulit.
Struktur Mazmur 89 dapat digambarkan sebagai berikut. Ayat pertama berisi pendahuluan tentang jenis mazmur dan identitas penulis. Di ayat 2-5 pemazmur mengungkapkan kerinduannya untuk menyanyikan kasih dan kesetiaan TUHAN kepada perjanjian yang Ia sudah buat dengan orang pilihan. Ayat 6-19 menerangkan sifat-sifat Allah yang menjadi dasar kesetiaan-Nya terhadap perjanjian tersebut. Ayat 20-38 menggambarkan karakteristik perjanjian ilahi yang berfungsi untuk menegaskan kembali bahwa perjanjian itu tidak mungkin gagal. Mulai ayat 39 nuansa mazmur ini mulai berubah. Ketika pemazmur melihat realita yang ada, hampir tidak ada satu pun yang sesuai dengan janji Allah (ayat 39-46). Ia meresponi situasi ini dengan sebuah ratapan yang menyentuh hati (ayat 47-52). Luar biasanya, bagian akhir mazmur ini tetap mendengungkan pujian kepada Allah (ayat 53). Dengan demikian mazmur ini diawali dan diakhiri dengan tekad pemazmur untuk tetap memuji TUHAN.
Pendahuluan (ayat 1)
Mazmur ini adalah sebuah maskil (LAI:TB “nyanyian pengajaran”). Walaupun banyak versi Inggris memilih untuk tidak menerjemahkan kata ini, keputusan LAI:TB untuk menggunakan “nyanyian pengajaran” tidaklah keliru. Penerjemah LXX memakai suneseōs yang berarti “pengetahuan/pemahaman”. Beberapa kali pemunculan kata ini di Kitab Mazmur berkaitan dg ajaran atau perenungan hidup (Mzm 32, 42, 44, 45, 47, 52, 53, 54, 55, 74, 78, 88, 89, 142).
Mazmur 89 ditulis oleh Etan orang Ezrahi. Dalam Alkitab ada beberapa orang dengan nama Etan. Yang berhubungan dengan nyanyian ada dua: Etan pada jaman Daud (1 Taw 15:17, 19) dan di jaman Salomo (1 Raj 4:31-33). Kita tidak bisa mengetahui apakah kedua orang ini identik. Sebagian penafsir secara tepat menduga bahwa Etan di Mazmur 89 adalah Etan yang hidup pada jaman Salomo: (1) ada tambahan “orang Ezrahi”; (2) dihubungkan dengan hikmat; (3) dikaitkan dengan nyanyian.
Seandainya penulisnya adalah Etan pada jaman Salomo, maka ada sebuah persoalan. Mazmur 89:39-46 menceritakan situasi tragis di mana tidak ada satu keturunan Daud pun yang menduduki tahta Israel. Situasi ini kemungkinan besar terjadi pada masa pembuangan ke Babel, sehingga Etan tidak mungkin masih hidup pada masa itu. Ditambah dengan kontras nuansa yang jelas antara ayat 1-38 dan 39-52, tidak berlebihan jika kita beranggapan bahwa mazmur ini mengalami proses peredaksian pada masa yang berlainan: bagian awal di ditulis oleh Etan, bagian terakhir oleh pemazmur lain pada masa (awal) pembuangan pada saat ia merenungkan perjanjian Allah dan situasi yang bangsa Yehuda hadapi.
Hasrat pemazmur untuk menyanyikan kasih dan kesetiaan TUHAN (ayat 2-5)
Kemantapan hati pemazmur terlihat dari pengulangan “Aku hendak” di ayat 2. Pujian ini bukan karena diajak atau dipaksa orang lain. Pujian ini juga bukan aktivitas iseng sambil mengisi waktu, melainkan sebuah gaya hidup: pemazmur ingin memuji selama-lamanya dan turun-tumurun.
Obyek pujian adalah kasih setia (khesed) dan kesetiaan (emunah) Allah (ayat 2-3). Secara umum kata pertama merujuk pada kemurahan Allah yang berhubungan dengan pengampunan atau penghukuman yang tidak setimpal dengan dosa-dosa kita, sedangkan yang kedua lebih berkaitan dengan sikap Allah yang tidak pernah mengingkari janji-Nya. Bagaimanapun, beberapa kata lain yang menggambarkan kebaikan Allah juga muncul di Mazmur 89, sehingga kita lebih baik tidak terlalu memaksakan perbedaan umum tersebut ke dalam konteks Mazmur 89.
Pemazmur tidak hanya sadar bahwa Allah adalah baik dan setia, namun juga bahwa kasih dan kesetiaan itu bersifat kekal (ayat 3 “untuk selama-lamanya” dan “tegak seperti langit”). Mengapa dua hal ini bersifat kekal? Karena Allah sendiri (perhatikan kata ganti orang ke-1 tunggal di ayat 4-5) yang membuat perjanjian dan Ia bahkan bersumpah tentang hal itu. Bagi masyarakat kuno waktu itu, sumpah memiliki bobot yang jauh lebih serius daripada yang biasa dipikirkan orang-orang modern.
Sifat-sifat Allah sebagai jaminan (ayat 6-19)
Kita berkali-kali mendengar orang membuat janji secara serius, namun akhirnya dilanggar sendiri. Hal ini terjadi karena orang itu tidak berkuasa menepatinya, tidak bijaksana waktu mengucapkan, atau tidak memiliki integritas yang baik untuk menjaga ucapannya. Semua keterbatasan dan k