Make His Faithfulness Known to All Generations (Mazmur 89:1-53)

Posted on 19/05/2013 | In Teaching | Leave a comment

Hampir semua kita akrab dengan lagu “I Will Sing of the Mercies of the Lord Forever”. Lagu ini cukup singkat dan bernuansa riang. Walaupun demikian, tidak banyak di antara kita yang tahu bahwa lagu itu diambil dari bagian awal Mazmur 89. Lebih sedikit lagi yang menyadari bahwa mazmur ini berisi ratapan yang menggambarkan pergumulan pemazmur untuk tetap mempercayai TUHAN di masa yang sulit.

Struktur Mazmur 89 dapat digambarkan sebagai berikut. Ayat pertama berisi pendahuluan tentang jenis mazmur dan identitas penulis. Di ayat 2-5 pemazmur mengungkapkan kerinduannya untuk menyanyikan kasih dan kesetiaan TUHAN kepada perjanjian yang Ia sudah buat dengan orang pilihan. Ayat 6-19 menerangkan sifat-sifat Allah yang menjadi dasar kesetiaan-Nya terhadap perjanjian tersebut. Ayat 20-38 menggambarkan karakteristik perjanjian ilahi yang berfungsi untuk menegaskan kembali bahwa perjanjian itu tidak mungkin gagal. Mulai ayat 39 nuansa mazmur ini mulai berubah. Ketika pemazmur melihat realita yang ada, hampir tidak ada satu pun yang sesuai dengan janji Allah (ayat 39-46). Ia meresponi situasi ini dengan sebuah ratapan yang menyentuh hati (ayat 47-52). Luar biasanya, bagian akhir mazmur ini tetap mendengungkan pujian kepada Allah (ayat 53). Dengan demikian mazmur ini diawali dan diakhiri dengan tekad pemazmur untuk tetap memuji TUHAN.

Pendahuluan (ayat 1)

Mazmur ini adalah sebuah maskil (LAI:TB “nyanyian pengajaran”). Walaupun banyak versi Inggris memilih untuk tidak menerjemahkan kata ini, keputusan LAI:TB untuk menggunakan “nyanyian pengajaran” tidaklah keliru. Penerjemah LXX memakai suneseōs yang berarti “pengetahuan/pemahaman”. Beberapa kali pemunculan kata ini di Kitab Mazmur berkaitan dg ajaran atau perenungan hidup (Mzm 32, 42, 44, 45, 47, 52, 53, 54, 55, 74, 78, 88, 89, 142).

Mazmur 89 ditulis oleh Etan orang Ezrahi. Dalam Alkitab ada beberapa orang dengan nama Etan. Yang berhubungan dengan nyanyian ada dua: Etan pada jaman Daud (1 Taw 15:17, 19) dan di jaman Salomo (1 Raj 4:31-33). Kita tidak bisa mengetahui apakah kedua orang ini identik. Sebagian penafsir secara tepat menduga bahwa Etan di Mazmur 89 adalah Etan yang hidup pada jaman Salomo: (1) ada tambahan “orang Ezrahi”; (2) dihubungkan dengan hikmat; (3) dikaitkan dengan nyanyian.

Seandainya penulisnya adalah Etan pada jaman Salomo, maka ada sebuah persoalan. Mazmur 89:39-46 menceritakan situasi tragis di mana tidak ada satu keturunan Daud pun yang menduduki tahta Israel. Situasi ini kemungkinan besar terjadi pada masa pembuangan ke Babel, sehingga Etan tidak mungkin masih hidup pada masa itu. Ditambah dengan kontras nuansa yang jelas antara ayat 1-38 dan 39-52, tidak berlebihan jika kita beranggapan bahwa mazmur ini mengalami proses peredaksian pada masa yang berlainan: bagian awal di ditulis oleh Etan, bagian terakhir oleh pemazmur lain pada masa (awal) pembuangan pada saat ia merenungkan perjanjian Allah dan situasi yang bangsa Yehuda hadapi.

Hasrat pemazmur untuk menyanyikan kasih dan kesetiaan TUHAN (ayat 2-5)

Kemantapan hati pemazmur terlihat dari pengulangan “Aku hendak” di ayat 2. Pujian ini bukan karena diajak atau dipaksa orang lain. Pujian ini juga bukan aktivitas iseng sambil mengisi waktu, melainkan sebuah gaya hidup: pemazmur ingin memuji selama-lamanya dan turun-tumurun.

Obyek pujian adalah kasih setia (khesed) dan kesetiaan (emunah) Allah (ayat 2-3). Secara umum kata pertama merujuk pada kemurahan Allah yang berhubungan dengan pengampunan atau penghukuman yang tidak setimpal dengan dosa-dosa kita, sedangkan yang kedua lebih berkaitan dengan sikap Allah yang tidak pernah mengingkari janji-Nya. Bagaimanapun, beberapa kata lain yang menggambarkan kebaikan Allah juga muncul di Mazmur 89, sehingga kita lebih baik tidak terlalu memaksakan perbedaan umum tersebut ke dalam konteks Mazmur 89.

Pemazmur tidak hanya sadar bahwa Allah adalah baik dan setia, namun juga bahwa kasih dan kesetiaan itu bersifat kekal (ayat 3 “untuk selama-lamanya” dan “tegak seperti langit”). Mengapa dua hal ini bersifat kekal? Karena Allah sendiri (perhatikan kata ganti orang ke-1 tunggal di ayat 4-5) yang membuat perjanjian dan Ia bahkan bersumpah tentang hal itu. Bagi masyarakat kuno waktu itu, sumpah memiliki bobot yang jauh lebih serius daripada yang biasa dipikirkan orang-orang modern.

Sifat-sifat Allah sebagai jaminan (ayat 6-19)

Kita berkali-kali mendengar orang membuat janji secara serius, namun akhirnya dilanggar sendiri. Hal ini terjadi karena orang itu tidak berkuasa menepatinya, tidak bijaksana waktu mengucapkan, atau tidak memiliki integritas yang baik untuk menjaga ucapannya. Semua keterbatasan dan kelemahan ini tidak ada dalam diri Allah.

Pertama, Allah memiliki otoritas yang tertinggi di surga (ayat 6-8). Frase “orang-orang kudus” di ayat 6 dan 8 (versi Inggris “the holy ones”) seharusnya dipahami sebagai para makhluk surgawi atau para malaikat (kontra KJV), karena konteks ayat 6-8 berbicara tentang surga. Tidak ada yang menyamai TUHAN di surga. Semua penghuni surga menghormati Dia.

Kedua, Allah juga berkuasa di bumi (ayat 9-14). Bagi orang kuno elemen alam yang dianggap sebagai kekuatan yang tidak terkendalikan adalah laut dan gunung. Keduanya digambarkan berada dalam kontrol tangan TUHAN. Allah bukan hanya menguasai gelombang samudera yang congkak (ayat 10), namun juga Rahab (ayat 11). Dalam mitologi kuno terdapat keyakinan terhadap keberadaan monster bawah laut yang menggambarkan kegelapan, keganasan, dan kekacauan. Monster ini disebut dengan beragam nama, misalnya Rahab (Mzm 89:11; Yes 51:9) atau Leviatan (Ay 3:8; Mzm 74:14; 104:26; Yes 27:1). Semua ini dikuasai dan dikalahkan oleh kuasa TUHAN.

Allah juga menciptakan utara dan selatan, Gunung Tabor dan Gunung Hermon (ayat 13). Berdasarkan kemiripan bunyi dan konteks ayat 13, sebagian penafsir menganggap bahwa “utara” dan “selatan” ini bukan hanya merujuk pada arah mata angin, namun dua buah gunung di daerah utara dan selatan. Kata Ibrani zaphon (“utara”) bisa merujuk pada Gunung Zaphon di utara, sedangkan kata yamin (“selatan”) mirip dengan Gunung Amanus di selatan Turki. Jika tafsiran ini diterima, maka ayat 13 berbicara tentang empat gunung di empat penjuru dunia yang sejak dahulu sering dijadikan pusat penyembahan pada dewa-dewa kafir. Dengan demikian ayat 13 bukan hanya menggambarkan kekuatan Allah atas elemen alam yang dianggap sangat kokoh dan kuat, tetapi juga atas dewa-dewa yang dipuja di tempat-tempat itu.

Ketiga, Allah adalah benar dan adil (ayat 15). Kekuatan tanpa batas di tangan pribadi yang jahat adalah daya rusak yang luar biasa. Tidak demikian halnya dengan Allah kita. Walaupun Ia tersohor di surga (ayat 6-8) dan berkuasa di bumi (ayat 9-14), namun Ia juga benar dan adil, penuh kasih dan kesetiaan. Frase “keadilan dan hukum” (LAI:TB) seharusnya diterjemahkan “kebenaran dan keadilan”. Frase “tumpuan tahta” berarti “pondasi tahta” (jaman dahulu tahta seorang raja bukan dari kursi kayu yang bisa dipindah-pindah setiap waktu, tetapi dari batu alam yang kokoh). Tahta Allah memang kokoh dengan kebenaran dan keadilan (ayat 15a), tetapi tetap ada dinamika kasih dan kesetiaan (ayat 15b “berjalan”).

Perpaduan antara kekuasaan (ayat 6-14), kebenaran-keadilan (ayat 15a), dan kasih-kesetiaan (ayat 15b) benar-benar sempurna dan menjamin bahwa apa yang dijanjikan Allah akan ditepati dengan setia. Tidak heran semua ini menjadi alasan yang kuat bagi pemazmur untuk memuji TUHAN setiap waktu (ayat 16-19). Sama seperti para penghuni surga yang selalu menyembah Allah (ayat 6-8), demikian pula umat pilihan selalu ingin menikmati cahaya wajah TUHAN (ayat 16). Mereka mengagungkan TUHAN sebagai keadilan (ayat 17) dan kekuatan mereka (ayat 18-19).

Karakteristik perjanjian Allah (ayat 20-38)

 Bagian ini mengingatkan kita pada ucapan ilahi yang disampaikan oleh Nabi Natan kepada Daud di 2 Samuel 7:4-17. Bentuk jamak “orang-orang yang Kaukasihi” (lit. “orang-orang yang setia/kudus”) di ayat 20 tidak perlu diubah ke bentuk tunggal (NRSV/REB). Kita sebaiknya menduga bahwa apa yang TUHAN sampaikan secara pribadi kepada Natan pada akhirnya diberitahukan Natan kepada orang-orang lain juga. Ada beberapa sifat perjanjian yang disinggung pemazmur di ayat 20-38.

Perjanjian itu didasarkan pada pilihan Allah yang bebas (ayat 20-21). Bagian awal ayat 20b ditafsirkan secara beragam. Beberapa versi memilih “mahkota” (RSV/LAI:TB), sementara yang lain menggunakan “bantuan” (KJV/ASV/NASB/ESV) atau “kekuatan” (NIV). Bagian ini sebenarnya juga dapat diterjemahkan “memilih seorang anak muda daripada seorang pahlawan (merujuk pada pilihan Daud atas kakak-kakaknya). Berdasarkan pemunculan kata mahkota di bagian selanjutnya (ayat 40), pilihan pertama tampaknya lebih masuk akal. Bagi seorang yang bukan berasal dari keluarga kerajaan, mahkota tidak mungkin diberikan, melainkan harus diperoleh atau diupayakan. Dalam kasus Daud, Allah memang memilih dia (ayat 20b), tanpa Daud harus bersusah-payah merebutnya dari tangan Saul.

Perjanjian itu juga didasarkan pada kekuatan Allah (ayat 22-26). Allah meneguhkan perjanjian dengan berbagai kemenangan yang Ia jamin dengan kuasa-Nya. Yang menarik dari bagian ini adalah pemunculan kata “tangan”, “tangan kanan”, atau “lengan” di ayat 22 dan 26. Orang kuno menganggap tangan kanan dan lengan sebagai simbol kekuatan. Tangan kanan Allahlah (ayat 22) yang membuat tangan kanan Daud terangkat mengatasi musuh-musuhnya (ayat 26).

Perjanjian itu juga didasarkan pada relasi Bapa-anak (ayat 27-33). Allah memilih untuk mengadopsi Daud sebagai anak-Nya (ayat 27). Ia bahkan mengangkat Daud sebagai anak sulung, yang bagi orang kuno sangat berkaitan dengan ide tentang keutamaan (ayat 28). Tatkala Daud dan keturunan gagal menaati TUHAN, Allah akan mendisiplin mereka sebagai anak (ayat 31-33). Allah tidak akan pernah membuang mereka (ayat 29-30, 34-38).

Realita yang tidak sesuai dengan janji Allah (ayat 39-46)

Hasrat pemazmur untuk memuji kasih dan kesetiaan Allah yang kekal (ayat 2-3) sangat bisa dipahami. Allah telah mengambil inisiatif untuk membuat perjanjian dan mengesahkannya dengan sumpah (ayat 4-5). Allah memiliki semua sifat yang diperlukan untuk menjamin terlaksananya janji itu (ayat 6-19). Perjanjian itu sendiri pun memiliki sifat-sifat yang begitu meyakinkan (ayat 20-38). Sayangnya, realita terlihat kontras dengan semua hal yang indah itu.

Pembuangan ke Babel menjadi saksi ketidakadaan keturunan Daud di tahta Israel. Pemazmur bergumul dengan situasi yang pelik ini. TUHAN tampaknya telah menolak, membuang, dan membatalkan perjanjian-Nya (ayat 39a, 40a). Dia tidak lagi menjadi Bapa yang mendisiplin dengan kasih (ayat 31-33), tetapi Bapa yang sangat kalap menghajar anak-anak-Nya (ayat 39b, LAI:TB “gemas”, NIV “sangat marah”, NASB “penuh kemarahan”). Ia yang memberikan mahkota tanpa diminta (ayat 20b), sekarang justru sangat merendahkan mahkota itu (menajiskannya ke dalam debu, ayat 40). TUHAN yang berjanji akan menjadi sumber kemenangan dan kekuatan (ayat 22-26), sekarang justru membuat umat-Nya mengalami kekalahan yang memalukan (ayat 41, 44). Orang-orang pilihan tidak lagi menjadi anak sulung yang terutama di antara semua bangsa (ayat 28), tetapi obyek celaan bagi bangsa-bangsa di sekelilingnya (ayat 42). TUHAN yang dahulu mengangkat tangan kanan Daud (ayat 22, 26), sekarang justru meninggikan tangan musuh (ayat 43a). TUHAN berhenti menjadi sumber sukacita umat-Nya (bdk. ayat 16-19) & sekarang menjadi sumber sukacita para musuh (ayat 43b).

Janji Tuhan bahwa tahta Daud akan seumur langit (ayat 30) dan seperti matahari (ayat 37) tidak terlaksana. Tahta itu sekarang dicampakkan ke bumi (ayat 45). Janji untuk menegakkan keturunan Daud selama-lamanya (ayat 34-38) sekarang diganti dengan memendekkan masa muda keturunan Daud (ayat 46a). Masa muda sendiri sudah sangat pendek, namun TUHAN masih akan mempersingkat hal itu. TUHAN benar-benar telah mempermalukan orang-orang pilihan (ayat 46b, bdk. ayat 28b).

Ratapan di hadapan TUHAN (ayat 47-52)

Tidak seperti sebagian orang Kristen modern yang memilih bersikap pura-pura seolah-olah perjalanan bersama TUHAN selalu tanpa masalah, pemazmur tidak berusaha menyangkali ketidakselarasan antara janji Allah dan situasi hidupnya. Apa yang ia keluhkan benar-benar ironis. Seruan “berapa lama lagi” memang ungkapan umum dalam sebuah ratapan, tetapi pemunculannya dalam Mazmur 89 terasa lebih menyentuh. Sebelumnya pemazmur mengagumi kasih dan kesetiaan yang selama-lamanya (ayat 3), kini ia melihat justru penderitaannya yang terasa sedemikian lama (ayat 47). Hidup manusia memang singkat dan semua pasti menghadapi kematian (ayat 48-49), namun jika hidup yang singkat itu semakin dipersingkat (ayat 46a) dan penderitaan di dalamnya diperpanjang (ayat 47), apakah arti dari hidup yang seperti itu? Kepedihan hati pemazmur yang merasa TUHAN telah lama menyembunyikan diri dari dia (ayat 47b) berbanding terbalik dengan kegirangannya dahulu yang selalu ingin menikmati cahaya wajah TUHAN (ayat 16). Dari ratapan ini terlihat bahwa pemazmur telah mengungkapkan perasaannya kepada TUHAN dengan jujur.

Kejujuran dalam mengekspresikan kegalauan tidaklah cukup. Ratapan kita juga harus bersifat teosentris (berpusat pada TUHAN), bukan pada kenyamanan kita sendiri. Persoalan utama pemazmur bukanlah penderitaannya semata-mata, namun ketidakcocokan antara janji Allah dan situasi hidupnya. Ia mempertanyakan kasih dan kesetiaan TUHAN (ayat 50). Di tengah kesulitan dan kebingungan, ia masih memposisikan dirinya dan seluruh umat Allah sebagai hamba Allah (ayat 51) dan orang diurapi Allah (ayat 52b). Sebaliknya, orang-orang yang mengalahkan dan mencela mereka disebut sebagai musuh-musuh Allah (ayat 52a).

Penutup yang indah (ayat 53)

Ayat 53 memiliki dua fungsi: penutup bagian ke-3 dari Kitab Mazmur (Mazmur 73-89) dan penutup Mazmur 89. Pujian di dalam ayat ini menjadikan Mazmur 89 secara sastra terlihat indah karena membentuk inclusio (bagian awal = bagian akhir), karena mazmur ini dimulai dan diakhiri dengan pujian kepada Allah. Pujian yang dikumandangkan juga bersifat konsisten (“selama-lamanya”). Pemunculan kata “amin” sebanyak dua kali turut mempertegas keyakinan pemazmur (bdk. kata “hendak” yang muncul dua kali di ayat 2). Jika dibandingkan dengan ungkapan yang sama di tempat lain, Mazmur 89:53 terkesan lebih menyentuh. Di Mazmur 72:19 ungkapan ini muncul dalam sebuah mazmur yang berisi sukacita. Di Mazmur 41:14 dan 106:48 ungkapan ini ditemukan dalam sebuah ratapan, tetapi Si pemazmur masih mampu mengungkapkan keyakinannya pada TUHAN. Mazmur 89:53 muncul di tengah kebingungan dan ratapan.

Sikap pemazmur di ayat 53 jelas sangat luar biasa. Realisasi janji Allah pada diri Yesus Kristus, Anak Daud, yang menjadi Raja di atas segala raja secara kekal tidak dilihat oleh pemazmur. Dia bahkan mungkin tidak mampu membayangkan bahwa itulah cara Allah yang kreatif dalam merealisasikan janji-Nya. Di tengah ketidaktahuannya pemazmur telah memilih untuk memuji TUHAN selama-lamanya. Jadi, kesetiaan TUHAN yang dinyanyikan pemazmur bukan hanya merujuk pada demonstrasi kuasa Allah yang menyenangkan kita, tetapi juga pemberian anugerah yang memampukan kita untuk tetap percaya dan memuji Dia. Soli Deo Gloria.  

admin