Setiap komunitas pasti memiliki nilai dan kebiasaan yang khas. Keunikan ini disebabkan oleh banyak faktor: sejarah, geografi, pengalaman tertentu, dsb. Akibatnya, gaya hidup yang dianut oleh suatu komunitas biasanya akan berbeda dengan komunitas lain.
Bangsa Israel sebagai umat pilihan juga merupakan suatu komunitas yang khusus. Imamat 19 menunjukkan bahwa keunikan mereka mencakup tiga macam relasi: dengan TUHAN (19:3-8), dengan sesama (19:9-18) dan dengan bangsa-bangsa lain (19:19-37). Relasi dengan TUHAN lebih menyentuh aspek ibadah yang berkenan kepada-Nya. Relasi dengan sesama lebih ke arah aspek moral dan sosial. Relasi dengan bangsa-bangsa lain berkaitan dengan perbedaan gaya hidup sehari-hari antara umat TUHAN dengan bangsa-bangsa itu.
Fondasi gaya hidup
Tidak semua orang mempunyai gaya hidup yang sama. Mereka yang bergaya hidup sama juga tidak jarang memiliki alasan yang berbeda di balik gaya hidup itu. Apa yang seharusnya melandasi keunikan gaya hidup umat TUHAN?
Gaya hidup yang dituntut di Imamat 19 dilandaskan pada sifat TUHAN. Secara khusus bagian ini lebih menyoroti sifat Allah yang kudus. Umat Allah harus kudus, sebab TUHAN adalah kudus (19:2). Bagian selanjutnya terus-menerus mengingatkan siapa Allah yang kudus ini. Frasa “Akulah TUHAN (Allahmu)” muncul berkali-kali dalam bagian ini (19:3, 4, 10, 12, 14, 16, 18, 25, 28, 30, 31, 32, 34, 36). Bagian ini juga dibuka dan ditutup dengan frasa yang sama (19:2, 37).
Dari poin di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kesalehan seharusnya bersumber dari pengenalan kepada TUHAN. Semakin kita mengenal Dia, semakin kita ingin menjadi serupa dengan Dia. Kita menjadi sama dengan siapa yang kita sembah. Siapa kita ditentukan oleh siapa Allah kita. Jadi, seluruh kehidupan kita seharusnya menjadi cerminan nyata dari sifat-sifat Allah.
Poin di atas seringkali diabaikan oleh banyak orang. Mereka menaati hanya supaya diberkati. Kesalehan mereka hanyalah sarana untuk menghindarkan diri dari hukuman. Inilah yang disebut manipulasi dan transaksi, bukan relasi.
Imamat 19 mengingatkan kita kembali bahwa keunikan gaya hidup kita tidak dibangun di atas motif yang menipulatif. Bukan berkat. Bukan ketakutan. Tetapi pengenalan. Ya! Pengenalan terhadap Allah!.
Karakteristik gaya hidup umat TUHAN (ayat 9-14)
Pengetahuan terhadap Allah yang hanya berhenti di pikiran hanya akan menciptakan kesombongan. Arogansi semacam ini bahkan bersifat menipu diri sendiri. Seseorang merasa diri saleh padahal salah. Merasa diri mengetahui banyak hal tentang Tuhan padahal tidak memiliki hubungan dan pengenalan yang benar.
Apa saja yang seharusnya menjadi karakteristik dari gaya hidup umat Tuhan?
Pertama, belas-kasihan (ayat 9-10). Dalam budaya pada waktu itu beberapa kelompok orang dikategorikan sebagai orang yang lemah, termasuk di antaranya adalah orang miskin dan orang asing. Mereka tidak memiliki tanah. Kehidupan mereka bergantung pada orang lain yang mau memerkerjakan mereka sebagai buruh upahan. Persoalannya, pekerjaan seperti ini juga tidak selalu mudah untuk didapatkan. Orang-orang kaya sudah memiliki hamba-hamba untuk melakukan semua jenis pekerjaan. Kebutuhan terhadap tenaga upahan tidak sebesar yang diharapkan oleh banyak orang.
Bagaimana mereka bisa mendapatkan makanan? Allah sudah menyiapkan banyak hal untuk mereka. Salah satunya adalah aturan tentang panen. Orang-orang kaya yang memiliki ladang tidak boleh mendapatkan 100% dari seluruh hasil panen. Para pekerja mereka tidak boleh memanen semua yang ada sampai tidak tersisa sama sekali. Mereka tidak boleh memanen dari ujung yang satu ke ujung yang lain. Tradisi Yahudi menerangkan bahwa sedikitnya 1/6 bagian dari ladang harus dibiarkan untuk orang miskin dan orang asing. Bahkan seandainya ada hasil panen yang berceceran ke tanah atau terlewatkan selama panen, semua itu menjadi bagian untuk mereka yang membutuhkan. Dengan pengaturan seperti ini kelimpahan orang kaya akan menutupi kekurangan orang miskin.
Menariknya, aturan ini tetap melibatkan peranan aktif dari pihak orang miskin dan orang asing. Mereka tidak hanya membuka tangan dan menerima begitu saja. Mereka perlu memungut hasil panen yang tersisa atau berceceran tersebut. Mereka tidak diperlakukan sebagai para pengemis atau orang malas. Ini dimaksudkan supaya mereka tetap menjaga kehormatan diri mereka sendiri. Mereka tidak dipermalukan.
Kepedulian terhadap orang miskin (dan orang asing) seperti ini jelas mencerminkan sifat Allah. Dia sangat peduli dengan orang miskin (Mzm. 132:15; 146:7). Aturan panen seperti di atas muncul berkali-kali dalam Alkitab (Im. 23:22; Ul. 24:19). Alkitab juga mencatat beragam cara pemeliharaan-Nya yang lain atas orang miskin. Misalnya, pada tahun ke-7 tanah tidak boleh ditanami apapun supaya orang miskin mendapatkan makanan dari sana (Kel. 23:11). Cara lain adalah pemungutan persepuluhan di tahun ke-3 untuk orang-orang miskin (Ul. 14:28-29; 26:12-15).
Kedua, kejujuran (ayat 11-12). Perhatian terhadap orang miskin (1:9-10) langsung diikuti dengan larangan tentang mencuri dan berbohong (19:11-12). Sebagian penafsir menduga dua bagian itu sangat berkaitan erat. Orang miskin tidak boleh mencuri harta orang lain (19:11a), karena Allah sudah memelihara mereka melalui orang lain (19:9-10). Kemiskinan bukan alasan untuk pencurian.
Sebaliknya, belas-kasihan kepada orang miskin tidak boleh sampai mengompromikan pencurian. Ketika orang miskin diseret ke pengadilan, orang Israel tetap harus memberi kesaksian yang benar terhadap mereka. Tidak boleh ditambahi atau dikurangi, bahkan dengan alasan untuk membantu orang miskin sekalipun. Keadilan harus ditegakkan, entah pihak mana yang akan dimenangkan oleh pengadilan.
Penafsiran di atas cukup masuk akal. Pencurian dan kebohongan dikaitkan secara erat di ayat 11-12. Hal ini menyiratkan bahwa kebohongan atau dusta di sini berimbas pada perampasan hak orang lain.
Lebih jauh, konteks dari persoalan ini adalah pengadilan. Dalam pengadilan kuno sebuah keputusan sangat ditentukan oleh kehadiran para saksi. Ucapan mereka sangat menentukan. Karena itu Allah berkali-kali mengingatkan bangsa Israel untuk menjadi saksi yang benar. Setiap saksi juga harus mengambil sumpah demi nama TUHAN. Jika kesaksian mereka ternyata palsu, mereka telah melanggar kekudusan nama TUHAN (ayat 12b).
Ketiga, penghargaan (ayat 13-14). Bagian ini berbicara tentang tindakan yang tidak menghargai pihak lain yang kurang beruntung. Ini adalah eksploitasi kelemahan orang lain. Semua tindakan tidak terpuji di sini layak disebut perampasan (ayat 13).
Salah satu jenis perampasan adalah penahanan upah pekerja harian (ayat 13). Orang miskin sangat bergantung pada upah yang diterima setiap hari. Jika dia tidak bekerja atau upahnya ditahan oleh tuannya, seluruh keluarganya bisa menderita (Ul. 24:15). Mereka mungkin tidak mampu membeli makanan untuk keesokan harinya. Perampasan hak seperti ini jelas tidak menghargai (hak) orang lain. Seorang pekerja berhak mendapatkan upahnya. Pekerja harian berhak mendapatkannya setiap hari.
Tindakan lain yang tidak terpuji adalah menghina pihak lain yang lemah (ayat 14). Bangsa Israel dilarang untuk mengutuki orang tuli maupun meletakkan halangan di depan orang buta. Terlepas dari motif di balik tindakan ini – hanya sebagai hiburan, hinaan atau kejahatan – tindakan tersebut tetap tidak bisa dibenarkan dan didiamkan.
Mereka yang melakukan pelanggaran ini bersalah terhadap Allah. Tindakan ini menunjukkan bahwa mereka tidak takut kepada TUHAN (ayat 14a “”tetapi engkau harus takut akan Allahmu. Akulah TUHAN”). Seorang yang tuli jelas tidak dapat mendengarkan kutukan yang diucapkan oleh orang lain kepada dirinya. Seorang buta juga tidak mengetahui sandungan yang ditaruh oleh orang lain di jalannya. Keduanya benar-benar tidak berdaya di depan orang yang mengeksploitasi mereka. Namun, semua tindakan ini diketahui oleh Pencipta mereka, dan Pencipta mereka tidak tinggal diam begitu saja. Kutukan sudah disiapkan bagi mereka yang menyesatkan jalan orang buta (Ul. 27:18).
Tiga karakteristik di atas tercermin dengan sempurna dalam kehidupan dan pelayanan Yesus Kristus. Dia menunjukkan belas-kasihan kepada banyak orang yang membutuhkan, baik orang miskin, orang sakit, maupun orang berdosa. Dia selalu mengatakan kebenaran dan tidak pernah berdusta. Kebenaran-Nya bahkan menjadi kebenaran kita.
Karya penebusan-Nya menggenapi semua poin di atas. Salib menjadi bukti belas-kasihan-Nya. Salib juga meneguhkan kebenaran dan keadilan Allah. Salib pula yang mengangkat orang yang hina kepada kemuliaan. Soli Deo Gloria.