Larangan Dalam Komunitas: Bagian 1 (Ef. 4:25-28)

Posted on 15/12/2019 | In Teaching | Leave a comment

Setiap komunitas pasti memiliki gaya hidup yang khas. Salah satu elemennya adalah hal-hal yang dipandang tabu, baik untuk diucapkan apalagi untuk dilakukan. Mereka yang melanggar aturan ini bukan hanya dianggap bersalah, tetapi juga menghina komunitas. Mereka mendatangkan aib bagi komunitas.

Komunitas orang-orang percaya juga demikian. Ada aturan, ada larangan. Beberapa tindakan tidak sejalan dengan status orang percaya sebagai umat yang telah ditebus oleh Kristus Yesus. Tindakan-tindakan ini patut dihindari.

Dalam Efesus 4:17-32 Paulus sedang mengontraskan dua gaya hidup: yang belum mengenal (4:17-19) dan yang sudah mengenal Allah (4:20-24). Orang-orang Kristen berada dalam proses menanggalkan manusia lama dan mengenakan manusia baru (4:22-24). Tindakan-tindakan yang mencerminkan kehidupan yang lama perlu terus-menerus diwaspadai dan dihindari.

Dalam khotbah hari ini kita akan mengupas tentang 3 (tiga) tindakan yang dilarang di dalam Alkitab. Tindakan-tindakan lain akan dibahas di khotbah mendatang. Hari ini kita fokus pada tiga larangan: kebohongan, kemarahan dan pencurian.

 

Kebohongan (ayat 25)

Kata Yunani di balik terjemahan “membuang” di awal ayat ini sama dengan kata “menanggalkan” di ayat 22 (apotithÄ“mi). Kesamaan ini jelas bukan kebetulan. Paulus ingin menunjukkan bahwa kebohongan adalah salah satu gaya hidup dari manusia lama yang harus ditanggalkan.

Dalam terjemahan LAI:TB “membuang dusta” dan “mengatakan kebenaran” dianggap sejajar (ayat 25 “buanglah dusta dan berkatalah benar”). Sesuai teks Yunani, “membuang dusta” sebenarnya merupakan anak kalimat yang menerangkan “berkata benar”. Induk kalimat terletak di “berkata benar”. Membuang dusta hanyalah salah satu cara untuk mencapai hal tersebut. Kita tahu bahwa “mengatakan kebenaran” mencakup banyak hal, tetapi Paulus hanya menyoroti salah satu saja, yaitu membuang dusta.

Dusta (pseudos) jelas bukan karakteristik anak-anak Allah, melainkan anak-anak Iblis sebagai bapa segala dusta (Yoh. 8:44). Allah tidak pernah berdusta (1Sam. 15:29; Tit. 1:2; Ibr. 6:18). Dia membenci (Ams. 6:16-17) dan jijik dengan dusta (Ams. 12:22).

Saling mengatakan kebenaran (4:25b) harus menjadi budaya dalam komunitas orang percaya. Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk berkata iya jika iya dan tidak jika tidak (Mat. 5:37). Perintah ini diulang lagi oleh Yakobus (Yak. 5:12).

Ada banyak alasan untuk berkata benar. Dalam Efesus 4:25b Paulus hanya berfokus pada satu alasan: “karena kita adalah sesama anggota”. Orang-orang percaya adalah tubuh Kristus.

Apa maksud poin ini? Paulus sangat mungkin sedang menyampaikan dua pesan: penipuan diri dan kebodohan. Dua hal ini sangat berkaitan. Berdusta kepada sesama anggota tubuh Kristus adalah penipuan diri sendiri, karena didustai sebenarnya adalah seluruh tubuh. Seseorang tidak mungkin mengakui dirinya sebagai bagian dari tubuh Kristus tetapi pada saat yang sama menipu atau mendustai anggota lain. Ketika dia berdusta, pada dasarnya dia sedang melupakan atau menyangkali keanggotaannya.

Penipuan diri ini sekaligus adalah kebodohan. Bagaimana mungkin seseorang berdusta kepada dirinya sendiri? Sebagai contoh, apakah masuk akal jika mulut kita mengatakan suatu makanan tidak enak, tetapi tangan kita terus-menerus mengambil dan perut kita menikmati makanan itu? Terdengar konyol? Tepat sekali! Seperti itulah poin yang ingin dikatakan oleh Paulus. Mendustai sesama anggota tubuh Kristus adalah kebodohan yang sangat konyol.

 

Kemarahan (ayat 26-27)

Kemarahan seringkali dianggap negatif oleh banyak orang. Sebagian bahkan mengontraskan kemarahan dengan kesabaran. Orang yang marah diidentikkan dengan orang yang tidak sabar.

Dalam beberapa kasus kemarahan memang negatif. Beberapa orang bukan hanya marah, tetapi menjadi pemarah. Mereka memang tidak sabar.

Walaupun demikian, tidak semua kemarahan adalah salah. Terjemahan LAI:TB “apabila kamu menjadi marah” (ayat 26a) sebenarnya kurang begitu kuat. Paulus bukan hanya mengandaikan. Dalam kalimat Yunani, kata kerja “menjadi marah” bahkan berbentuk kalimat perintah (orgizomai). Hampir semua versi Inggris memberi terjemahan: “marahlah”.

Tambahan “dan tidak berbuat dosa” juga menyiratkan bahwa tidak semua kemarahan adalah dosa. Allah beberapa kali murka kepada umat-Nya (Rm. 1:18); Ibr. 3:10). Tuhan Yesus juga memarahi murid-murid-Nya (Mrk. 3:5; 10:14). Yakobus menasihati kita agar cepat untuk mendengar dan lambat untuk marah (Yak. 1:19). Jadi, tidak semua marah adalah salah.

Apa yang dikatakan oleh Paulus di Efesus 4:26 mungkin masih berhubungan dengan ayat sebelumnya tentang mengatakan kebenaran. Sebagian jemaat mungkin tidak bisa mentolerir suatu kesalahan, apalagi jika kesalahan itu menimpa diri mereka sendiri. Dalam situasi seperti ini, mereka tergoda untuk marah. Ada tindakan yang salah yang patut untuk dimarahi. Kepada mereka Paulus berkata: “marahlah”. Namun, mereka tidak boleh sembarang marah. Sembarangan marah adalah salah. Bukankah sangat ironis apabila seseorang justru melakukan kesalahan pada saat dia menyikapi kesalahan orang lain?

Paulus menerangkan dua batasan bagi kemarahan yang benar: jangan terlalu lama (ayat 26b) dan jangan memberi kesempatan pada Iblis (ayat 27). Kemarahan hanya diperbolehkan untuk durasi yang pendek. Hari ini di mana kita marah dengan seseorang harus sama dengan hari kita berdamai dengan orang tersebut.

Menyimpan kemarahan terlalu lama berarti memberi kesempatan pada Iblis. Kemarahan yang tersimpan terlalu lama akan meniadakan keramahan (1:32). Dengan segala kelicikannya, Iblis sedang menaburkan benih kepahitan, kegeraman, pertikaian dan fitnah (1:31). Pada akhirnya seseorang akan tergoda untuk mengambil peran Allah dalam pembalasan. Jadi, kemarahan itu untuk diselesaikan, bukan dibiarkan. Membiarkan berarti menambah parah keadaan. Kemarahan yang semula kudus bisa berujung menjadi kemarahan yang tidak kudus.

 

Pencurian (ayat 28)

Paulus tidak menutup mata bahwa seorang Kristen masih bisa mencuri. Mungkin saja peristiwa pencurian ini benar-benar terjadi di antara jemaat Efesus. Mungkin saja pencurian ini menjadi salah satu alasan kemarahan di ayat 27.

Kepada yang melakukan pencurian, Paulus tidak hanya menasihati untuk berhenti mencuri (ayat 28a “janganlah ia mencuri lagi”). Memberikan larangan saja tidak akan menyelesaikan persoalan. Paulus memilih untuk melihat persoalan ini lebih dalam. Orang yang mencuri di sini sangat mungkin melakukan pencurian karena kekurangan. Jika ini yang terjadi, orang itu bukan hanya membutuhkan larangan, tetapi pekerjaan.

Pekerjaan ini juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan atau asal-asalan. Kata “bekerja” (kopiaō) seringkali merujuk pada usaha yang sangat keras. Di dalamnya ada unsur susah-payah (Luk. 5:5; Kis. 20:34-35), sehingga yang melakukannya merasa berbeban berat (Mat. 11:28; Yoh. 4:6). Jadi, mantan pencuri bukan hanya harus bekerja, tetapi juga bekerja dengan keras.

Pekerjaan tersebut juga harus baik (ayat 28 “dan melakukan pekerjaan yang baik”). Sesuai terjemahan LAI:TB “baiklah ia bekerja keras” dan “melakukan pekerjaan yang baik” seolah-olah merujuk pada dua hal yang berbeda. Dalam teks Yunani, frasa ini sebenarnya berbentuk anak kalimat yang menerangkan “bekerja keras” (ergazomenos tais chersin to agathon). Dengan kata lain bekerja adalah melakukan pekerjaan tangan yang baik. Suatu pekerjaan yang tidak baik bukanlah pekerjaan. Apakah pencurian suatu pekerjaan? Tentu saja tidak! Itulah bedanya pencurian dengan pekerjaan: ada unsur kebaikan di dalamnya.

Yang terakhir, manfaat bekerja bukan hanya sebagai antisipasi terhadap pencurian. Pekerjaan bukan hanya bertujuan untuk menutupi kebutuhan. Jika pekerjaan hanyalah pemenuhan kebutuhan, pekerjaan itu bersifat egoistik. Itulah sebabnya Paulus melangkah lebih jauh dengan mengatakan: “supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan” (ayat 28b). Melalui nasihat ini Paulus ingin membawa perubahan: dari seorang yang mencuri karena kekurangan pada akhirnya menjadi pekerja keras yang memenuhi kekurangan orang lain. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko