Komunitas Yang Penuh Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2:42-47)

Posted on 03/03/2019 | In Teaching | Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko | Leave a comment

https://i0.wp.com/rec.or.id/images/article/komunitas-yang-penuh-roh-kudus-kisah-para-rasul-2-42-47.jpg Komunitas Yang Penuh Roh Kudus (Kisah Para Rasul 2:42-47)

Bagi sebagian orang Kristen istilah “penuh Roh Kudus” menjadi begitu populer. Mereka menggemakan dengan lantang bahwa setiap orang Kristen harus dipenuhi oleh Roh Kudus. Walaupun seruan ini adalah sesuatu yang baik, tetapi sayangnya tidak banyak yang benar-benar memahami tanda-tanda dipenuhi Roh Kudus. Mereka cenderung hanya membatasi pada tanda-tanda yang terlihat spektakuler saja.

Apa sebenarnya tanda dipenuhi oleh Roh Kudus? Mengapa dipenuhi oleh Roh Kudus sangat penting?

Teks kita hari ini menyediakan sebuah pemahaman yang baik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Secara lebih khusus, teks ini muncul tepat setelah dua peristiwa spektakuler 2:1-41, yaitu turunnya Roh Kudus (2:1-13) dan pertobatan 3000 jiwa (2:14-41). Berdasarkan keterkaitan teks seperti ini, kita didorong untuk melihat gaya hidup di 2:42-47 sebagai hasil atau tanda dipenuhi oleh Roh Kudus.  

Jika poin di atas diterima, ada sebuah pelajaran menarik yang bisa dipetik dari teks ini. Walaupun Roh Kudus baru saja bekerja dengan luar biasa, para rasul dan jemaat mula-mula tidak mau terlena dalam pengalaman-pengalaman spektakuler itu. Mereka memilih untuk membumi. Mereka mulai mengembangkan sebuah gaya hidup dan kebiasaan konkrit yang produktif bagi perluasan Injil.

 

Tanda-tanda dipenuhi oleh Roh Kudus

Jika kita membaca 2:42-47 dengan teliti,  kita akan mendapati bahwa alur cerita dalam teks ini tidak sepenuhnya progresif. Ada pengulangan. Apa yang sudah disinggung di awal dikisahkan secara berbeda di bagian selanjutnya. Ada pula penekanan. Beberapa ide atau kata diulang-ulang. Dengan mempertimbangkan karakteristik ini, kita akan menarik tiga tanda dipenuhi oleh Roh Kudus.

Pertama, ketekunan (proskartereō). Ide ini tampaknya menempati posisi yang penting. Kata ini muncul dua kali (2:42, 46). Kata ini juga muncul di bagian awal (2:42) dan menaungi beberapa ide lain yang penting: bertekun dalam pengajaran, persekutuan, pemecahan roti, dan doa.

Terjemahan “ketekunan” untuk proskartereō sebenarnya tidak terlalu tepat. Makna di dalamnya bukan hanya merujuk pada aspek waktu (terus-menerus atau durasi yang lama). Arti ini memang tetap ada (1:14; 8:13; 10:7), tetapi masih ada aspek lain, misalnya fokus (6:4 “dan supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan pelayanan Firman”). Jika aspek waktu dan fokus digabungkan, kata proskartereō sebaiknya diterjemahkan “mendedikasikan diri”. Hampir semua versi Inggris memilih terjemahan “devouted themselves” (NIV/ESV).

Berdedikasi saja tidaklah cukup. Objek ketekunan juga harus tepat. Tidak ada yang lebih ironis daripada bersemangat untuk sesuatu yang tidak tepat. Jemaat mula-mula berdedikasi pada hal-hal yang positif, yaitu pengajaran para rasul, persekutuan, pemecahan roti, dan doa (2:42). Di antara hal-hal tersebut, yang pertama cukup menarik untuk diperhatikan. Posisi pengajaran para rasul di tempat teratas terlihat berbeda dengan kecenderungan di banyak gereja. Gereja-gereja yang getol menyuarakan kepenuhan Roh Kudus seringkali tidak menyukai studi Alkitab. Mereka lebih memilih mendengarkan “suara Roh” yang tidak jelas. Bahkan beberapa yang mengklaim diri sebagai gereja rasuli pun ternyata lebih menyukai nubuat atau bisikan “roh”.

Kedua, kebersamaan. Ide ini dimunculkan melalui beragam cara. Yang terutama adalah kata “persekutuan” (koinōnia, 2:42) dan “bersama” (koina, 2:44). Kemiripan akar kata ini bermanfaat untuk memahami cakupan arti “persekutuan”. Arti kata ini berbeda dengan pemahaman populer tentang “persekutuan doa”. Koinōnia bukan sekadar berada di tempat yang sama atau melakukan sesuatu bersama-sama. Kata ini secara hurufiah berarti mengambil bagian (Flp. 1:5; 3:10) atau berbagi sesuatu (Rm. 15:26; 2Kor. 8:4; 9:13). Yang dibagikan bisa bermacam-macam, termasuk materi.

Aspek ini tampaknya mendapat cukup banyak sorotan (2:44-45). Jemaat menyadari bahwa apa yang mereka miliki adalah milik bersama (2:44). Kesadaran ini diwujudkan melalui penjualan harta untuk memenuhi kebutuhan orang lain (2:45). Fakta bahwa praktek ini tidak diteruskan di tempat atau periode lain menunjukkan bahwa hal ini merupakan situasi yang khusus dan tidak ada paksaan. Jadi, praktek ini berbeda dengan komunisme maupun komunitas Qumran di dekat Laut Mati. Dorongan untuk memberi yang sedemikian besar harus dipahami sebagai hasil pekerjaan Roh Kudus secara khusus pada periode itu. Lagipula tidak semua jemaat menjual seluruh miliknya pada waktu yang bersamaan. Jika ini yang terjadi, tidak ada lagi yang bisa dijual untuk orang lain. Yang benar adalah selalu ada di antara jemaat yang menjual hartanya untuk dibagikan kepada yang membutuhkan (ayat 45 “dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing”).

Penjelasan di atas tidak berarti bahwa prinsip di baliknya hanya berlaku pada periode itu. Wujud konkrit bisa berbeda, namun prinsipnya tetap sama, yaitu berbagi supaya ada keseimbangan (2Kor. 8:13-14). Bukan penyamarataan, melainkan keseimbangan. Maksudnya, jangan sampai ada yang berlebihan sementara orang lain mengalami kekurangan.       

Kebersamaan juga terlihat dari praktek pemecahan roti. Kita sulit memastikan apakah memecahkan roti di sini secara khusus merujuk pada perjamuan kudus atau makan bersama yang kudus. Seperti diketahui, jemaat mula-mula menganggap makan bersama sebagai sebuah bagian integral dari ibadah. Pada momen seperti ini biasanya sekaligus diadakan peringatan terhadap kematian Kristus. Jadi, perjamuan makan dan perjamuan kudus kadangkala sukar untuk dipisahkan, apalagi makanan pokok mereka memang roti dan salah satu minuman umum dalam perjamuan adalah anggur. Ayat 42 dan 46 tampaknya lebih mengarah pada makan bersama yang mencakup perjamuan kudus. Jadi, perjamuan kudus mereka terlihat lebih natural (seperti makan biasa) daripada perjamuan kudus di gereja-gereja sekarang yang terkesan lebih formal.

Kebersamaan juga diungkapkan melalui aktivitas bersama (2:44). Mereka selalu bersama-sama (LAI:TB “tetap bersatu”). Kesamaan di ayat ini lebih mengarah pada kesamaan tempat/aktivitas (mayoritas versi Inggris “[they] were together”; YLT “were at the same place”). Kerinduan terhadap ibadah bersama dan pertemuan rohani menyiratkan kualitas sebuah komunitas.

Ketiga, hati yang baik. Gereja mula-mula tidak hanya terlihat hebat di luar. Berbagai petunjuk dalam teks mengarah pada kualitas hati mereka. Walaupun kebersamaan mencakup tempat atau aktivitas yang sama, yang terpenting justru hati. Mereka sehati (homothymadon). Dari 12 kali pemunculan kata ini di seluruh Perjanjian Baru, 11 di antaranya muncul di Kisah Para Rasul (1:14; 2:1, 46; 4:24; 5:12; 7:57; 8:6; 12:20; 15:25; 18:12; 19:29). Ini menyiratkan bahwa Lukas sebagai penulisnya sangat menekankan kesehatian. Hatilah yang mendorong mereka untuk berbagi dan mengambil bagian dalam banyak hal.

Rujukan tentang hati juga terlihat pada saat mereka memecahkan roti. Mereka melakukannya dengan sukacita dan tulus hati (ayat 46b). Terlepas dari perdebatan tentang arti kata aphelotēs, entah “tulus hati” (LAI:TB/NASB/NIV), “kesatuan/kesederhanaan” (KJV/YLT) atau “kemurahan” (ESV), poin yang ingin disampaikan tetap sama: apa yang dilakukan bersumber dari hati.

Salah satu contohnya adalah memuji Tuhan (ayat 47a). Kata aineō (LAI:TB “memuji”) muncul beberapa kali dalam tulisan Lukas, dan makna selalu dikaitkan dengan sukacita (Luk. 2:13, 20; 19:37; Kis. 3:8-9). Dari sini bisa disimpulkan bahwa hati yang gembira di ayat 46b selaras dengan pujian kepada Allah di ayat 47a. Hati yang gembira melahirkan pujian. Pujian melahirkan kegembiraan.

 

Nilai penting dipenuhi oleh Roh Kudus

Sebagian gereja yang menggandrungi pekerjaan Roh Kudus seringkali memikirkan karya Roh secara sempit. Karunia rohani hanya dikaitkan dengan mereka sendiri. Kehebohan tentang karunia bahasa roh adalah salah satu buktinya. Karunia ini jelas tidak bermanfaat bagi orang lain, karena tidak ada yang bisa memahaminya. Sayangnya, justru karunia ini yang dikejar-kejar oleh banyak orang.

Sikap ini berbeda dengan jemaat mula-mulam dalam teks kita. Roh Kudus tidak hanya bekerja di dalam gereja, melainkan juga melalui gereja. Target pekerjaannya adalah dunia, bukan sekadar gereja. Tujuan pemberian kuasa adalah menjadi saksi sampai ujung bumi (1:8), bukan kepentingan pribadi.

Itulah yang dicatat di 2:42-47. Dampak dari kehadirann Roh Kudus dapat dirasakan oleh orang lain, bahkan di luar gereja. Ada kegentaran di antara mereka (2:43). Mereka menyadari bahwa ada sesuatu yang supranatural dan luar biasa yang sedang terjadi. Ada pula ketertarikan (2:47). Tanpa berambisi menyukakan semua orang, mereka ternyata disukai oleh banyak orang. Pada akhirnya semua itu dipakai oleh Allah sebagai jembatan keselamatan. Banyak orang baru dimenangkan dan ditambahkan di antara mereka (2:47b).

Poin ini perlu digarisbawahi. Percuma mendoakan karya Roh Kudus yang luar biasa terjadi di suatu gereja kalau gereja itu tidak berhasrat untuk menjangkau dunia. Ingatlah, TUHAN bukan hanya bekerja di dalam kita, tetapi melalui kita. Dia bekerja di dalam kita terlebih dahulu, supaya Dia bisa bekerja melalui kita. Soli Deo Gloria.

https://i0.wp.com/rec.or.id/wp-content/uploads/2020/12/logo.png logo writter

Pdt. Yakub Tri Handoko

Reformed Exodus Community