Ketika Anak Menjadi Berhala (1 Samuel 2:22-29)

Posted on 03/09/2017 | In Teaching | Leave a comment

Pembacaan 1 Samuel 1-2 secara sekilas sudah cukup untuk mengetahui bahwa dua pasal ini membicarakan tentang dua keluarga. Hana dikontraskan dengan imam Eli.  Samuel dikontraskan dengan Hofni dan Pinehas. Keluarga Hana yang sedang menanjak keadaannya dikontraskan dengan keluarga Eli yang semakin terpuruk. Yang paling ironis adalah berkat yang diucapkan Eli atas Hana (1:17) berbanding terbalik dengan kutuk yang diucapkan seorang abdi Allah yang tidak terkenal atas imam Eli (2:27). Hana yang mandul justru dikarunia keturunan laki-laki (1:20; 2:35), sedangkan Eli kehilangan dua anaknya (2:30-33).

Pesan theologis yang ingin disampaikan melalui dua pasal ini ada banyak. Salah satunya adalah kepedulian TUHAN terhadap persoalan keluarga. Allah memperhatikan kesusahan Hana, sama seperti Dia mengamati kesalahan pola asuh yang dilakukan oleh Eli. Sama seperti Dia berintervensi untuk mengangkat Hana, demikian juga Dia berintervensi untuk merendahkan Eli.

Inti kesalahan Samuel diungkapkan dalam pertanyaan ini: “Mengapa engkau menghormati anak-anakmu lebih daripada Aku?” (ayat 29). Ini adalah sebuah persoalan yang sangat serius. Ide tentang menghina atau tidak menghormati TUHAN muncul berkali-kali di pasal 1-2 (2:12, 17, 30). Tidak heran, hukuman TUHAN atas keluarga Eli pun berpusat pada perendahan (2:30): mati muda (2:30-33) dan kemiskinan (2:36).

Imam Eli telah memberhalakan anak-anaknya. Dia lebih mengasihi mereka daripada TUHAN. Dia lebih menghormati mereka daripada TUHAN.

Dosa anak-anak Eli adalah sangat serius (ayat 12-17, 22)

Kesalahan Hofni dan Pinehas adalah penyalahgunaan jabatan atau wewenang. Pada masa transisi antara zaman hakim-hakim dan kerajaan, posisi imam memang sangat terhormat. Para imam menjadi pemimpin tertinggi di masyarakat. Di tengah situasi seperti ini, sangat rentan terjadi penyalahgunaan jabatan. Penyalahgunaan ini diwujudkan dalam dua hal.

Pertama, keserakahan (2:12-17). Para imam dan keluarga mereka hidup dari persembahan umat Israel (Im 2:3, 10; 5:13b; 7:28-36; Bil 18:17-18; Ul 18:3). Sesudah kurban dibakar di hadapan TUHAN, sisa dagingnya dimasak dan dinikmati bersama-sama oleh para imam, orang-orang Lewi dan umat Israel. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Namun, anak-anak Eli ternyata mengambil lebih banyak daripada yang sepatutnya (1 Sam 2:13). Mereka tidak berpuas diri dengan apa yang menjadi bagian mereka.

Bentuk konkrit keserakahan ini sebenarnya tidak terlalu jelas, karena Alkitab tidak menerangkan secara detil bagaimana cara menentukan bagian dari para imam (bdk. Kel 29:31; Im 8:31; Ul 16:7). Walaupun demikian, 1 Samuel 2:12-17 memberikan petunjuk tersirat yang bermanfaat. Penyebutan secara khusus bahwa bujang imam menggunakan garpu bergigi tiga (2:13) sangat mungkin menyiratkan motivasi di baliknya. Para imam menginginkan daging yang besar, sehingga diperlukan cengkeraman yang lebih kuat untuk mengangkatnya dari kuali.

Yang lebih parah, mereka bahkan tidak mau mengambil resiko kehilangan daging yang terbaik. Mereka memaksa setiap orang untuk menyerahkan daging mentah mereka sebelum kurban itu dipersembahkan kepada TUHAN (2:15-16). Apa yang terbaik buat TUHAN sudah dirampas oleh Hofni dan Pinehas. Betapa tamaknya hati mereka!

Wujud kedua dari penyalahgunaan jabatan yang dilakukan oleh anak-anak Eli adalah perzinahan (2:22). Persetubuhan ini dilakukan dengan para perempuan yang melayani di depan pintu Kemah Pertemuan. Sama seperti dosa sebelumnya yang melibatkan kekerasan dan ancaman (2:16), kemungkinan besar perzinahan ini juga dilakukan melalui cara yang sama.

Apa yang dilakukan oleh Hofni dan Pinehas ini sangat ironis. Para perempuan yang menguduskan diri dan menyerahkan diri sepenuhnya untuk melayani TUHAN dipaksa untuk melayani nafsu bejat para imam sehingga tubuh mereka tercemar. Ironi ini akan semakin kentara apabila dikaitkan dengan permainan kata yang ada. Menurut beberapa penafsir, narator sengaja membuat sebuah permainan kata. Dalam teks Ibrani, kata “para perempuan” (2:22) dengan “semesta alam” (1:3, 11) memiliki bunyi yang sangat mirip. Para perempuan yang mengkhususkan diri bagi Tuhan semesta alam kini menjadi budak seks para imam.

Teguran Eli adalah tidak serius (ayat 23-29)

Para pembaca yang teliti dengan mudah akan menemukan petunjuk-petunjuk tentang ketidakharmonisan dalam keluarga imam ini. Eli sebagai ayah tampaknya tidak terlalu dekat dengan anak-anaknya, sehingga dia hanya mendengar kebusukan anak-anaknya dari orang lain (2:22-23). Tegurannya tidak digubris oleh anak-anaknya (2:23b).

Ketika dia menegur pun para pembaca langsung bisa mengetahui betapa tidak seriusnya teguran ini. Perbandingan sekilas dengan teguran abdi Allah kepada Eli (2:27-36) sudah cukup membuktikan poin di atas. Walaupun sama-sama menggunakan pertanyaan retoris, perbedaan bobot keseriusan di antara keduanya begitu terasa. Lebih jauh, Eli hanya menegur melalui sebuah pengandaian (“jika….maka….”, 2:25), padahal dosa-dosa Hofni dan Pinehas sudah sedemikian nyata. Dia seharusnya bisa lebih keras daripada itu!

Ketidakseriusan teguran di atas bukanlah akar persoalan. Di baliknya ada sebuah masalah yang lebih besar lagi, yaitu pemberhalaan anak-anak. Eli lebih menghormati anak-anaknya daripada TUHAN (ayat 29). Dia lebih mengutamakan perasaan anak-anaknya daripada perasaan Allah.

Mengapa TUHAN menilai demikian? Kapankah seseorang bisa dikatakan telah memberhalakan anak-anaknya?

Pertama, pada saat kita membiarkan kesalahan anak-anak (ayat 22). Setiap dosa adalah serius di mata TUHAN. Tatkala kita menganggap dosa anak-anak kita sebagai hal yang tidak serius, kita telah menyepelekan apa yang dipandang serius oleh Allah. Secara tidak langsung kita sudah menganggap ada hal lain yang lebih penting daripada perasaan Allah. Itulah yang terjadi pada Eli.

Penambahan keterangan singkat “Eli telah sangat tua” pasti penting, walaupun arti dan fungsinya tidak terlalu jelas. Dari sekian banyak alternatif penafsiran, yang paling tepat mungkin sebagai petunjuk bagi rentang waktu yang panjang antara dosa yang dilakukan dan teguran yang diberikan. Penerjemah ESV secara tepat menangkap makna ini: “Sekarang Eli telah sangat tua, dan dia terus-menerus mendengar…” Jikalau perbuatan bejat ini sudah terjadi lama, mengapa baru sekarang Eli menegur anak-anaknya?

Ayat 25b tampaknya mendukung tafsiran di atas. Alkitab berkali-kali menyatakan kesabaran TUHAN. Sulit dibayangkan bahwa Dia langsung menghukum seseorang dengan berat pada waktu orang itu pertama kali melakukan kesalahan. Pengerasan hati oleh TUHAN dalam kasus ini lebih tepat dipahami sebagai respons TUHAN terhadap dosa yang sudah lama dilakukan oleh Hofni dan Pinehas.

Cara pengisahan di pasal 2 juga memberikan dukungan serupa. Antara dosa ketamakan (2:12-17) dan perzinahan (2:22) sengaja dipisahkan. Di antara dua kisah ini disisipkan cerita tentang Samuel yang semakin bertambah dewasa (2:18-21). Tampaknya narator sengaja menyiratkan sebuah rentang waktu yang cukup panjang antara ayat dosa di 12-17 dan di ayat 22.

Kedua,  pada saat kita tidak berani mendisiplin dengan keras (ayat 23-25). Eli bukan hanya terlambat memberi teguran. Pada saat ia menegur pun, tidak ada nuansa keseriusan di dalamnya. Bahkan tatkala tegurannya tidak didengarkan oleh anak-anaknya, Eli tidak melakukan apapun.

Bukan karena dia sudah tidak memiliki wewenang lagi. Keseluruhan kisah di pasal 1-4 menunjukkan bahwa Eli masih memegang jabatan tertinggi di Israel. Lagipula dalam tradisi Israel, seorang laki-laki yang sudah lanjut usia (misalnya kakek) tetap dipandang paling berwenang dalam sebuah keluarga besar. Persoalannya memang terletak pada diri Eli sendiri. Dia memang tidak berani bertindak tegas terhadap anak-anaknya. Dia lebih mementingkan perasaan ana-anak daripada perasaan Allah. Pasal 3:13 secara eksplisit menungkapkan hal ini: “Aku akan menghukum keluarganya untuk selamanya karena dosa yang telah diketahuinya, yakni bahwa anak-anaknya telah menghujat Allah, tetapi ia tidak memarahi mereka”.

Ketiga, pada saat kita melakukan kesalahan yang sama dengan anak-anak kita (ayat 29). Keengganan Eli dalam menegur kesalahan anak-anaknya mungkin disebabkan dia sendiri tidak lebih baik daripada anak-anaknya. Dia memang tidak turut dalam perzinahan. Dia juga tidak sebejat anak-anaknya dalam ketamakan. Bagaimanapun, di mata TUHAN dia tetap dimasukkan dalam kategori yang sama dengan anak-anaknya.

Ada beberapa petunjuk yang mengarah pada poin ini. Dalam teks Ibrani, kata “engkau” di awal dan akhir ayat ini berbentuk jamak, sehingga mencakup Eli dan anak-anaknya. Jika kata Ibrani ba‘āţ (lit. “menendang”) memang mengandung makna “memandang dengan loba” (LAI:TB; RSV/NRSV), kesalahan Eli menjadi lebih kentara. Yang paling jelas, TUHAN secara eksplisit menegur Eli dan anak-anaknya yang telah menggemukkan diri dengan bagian yang terbaik dari korban yang dibawa oleh umat Israel. “Menggemukan diri” di sini bukanlah secara figuratif. Eli benar-benar bertubuh gemuk (4:18). Dia turut menikmati hasil dari kesalahan anak-anaknya. Tidak heran, dia gagal bersikap tegas terhadap mereka.

Apakah sebagai orang tua, Anda mengutamakan kebenaran Allah daripada kenyamanan keluarga? Apakah perasaan Tuhan sungguh-sungguh lebih penting daripada perasaan anak-anak Anda? Apakah anak-anak telah menjadi berhala bagi Anda? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko