Ketakutan (1 Yohanes 4:17-18)

Posted on 29/07/2018 | In Teaching | Leave a comment

Ketakutan adalah hal yang lazim. Setiap orang pernah mengalami ketakutan terhadap sesuatu atau seseorang. Namun, ada satu ketakutan yang tidak bisa dan tidak boleh ditolerir. Orang Kristen yang sejati dan dewasa tidak akan mengalami ketakutan seperti ini.

Ketakutan yang dimaksud di sini berkaitan dengan penghakiman terakhir. Kita tidak boleh gemetar menunggu momen tersebut. Sebaliknya, siapa saja yang sudah ada di dalam Kristus seyogyanya menantikan hari penghakiman dengan penuh kerinduan dan keberanian, seperti yang diajarkan oleh Yohanes sebelumnya: “Maka sekarang, anak-anakku, tinggallah di dalam Kristus, supaya apabila Ia menyatakan diri-Nya, kita beroleh keberanian percaya dan tidak usah malu terhadap Dia pada hari kedatangan-Nya” (2:28).

Dalam teks kita hari ini Yohanes mengaitkan keberanian terhadap hari penghakiman dengan kasih. Dia mengatakan bahwa keberanian seperti itu merupakan salah satu bukti bahwa kasih Allah sudah sempurna di dalam kita (4:17, lit. “telah disempurnakan”, teteleiōtai). Kata “sempurna” (teleioō) dalam konteks ini lebih mengarah pada mengenai sasaran atau tujuannya (bdk. 2:5; 4:12). Makna ini sedikit dikaburkan oleh terjemahan LAI:TB di ayat 17 (“yaitu kalau kita mempunyai keberanian percaya pada hari penghakiman”). Sesuai teks Yunani,bagian ini sebaiknya diterjemahkan “supaya kita memiliki keberanian pada hari penghakiman” (mayoritas versi Inggris). Ayat 18 juga memberikan dukungan yang selaras. Kasih itu ada memang untuk meniadakan ketakutan terhadap penghakiman (4:18 “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan”).  

Para penafsir Alkitab berbeda pendapat tentang arti “kasih” (hē agapē) di 4:17-18. Apakah “kasih” di sini merujuk pada kasih Allah kepada kita (LAI:TB “kasih Allah”) atau kasih kita kepada Dia (KJV)? Berdasarkan pertimbangan konteks, kita sebaiknya menggabungkan dua penafsiran ini. Ayat 16 berbicara tentang kasih Allah bagi kita dan kehidupan kita di dalam kasih. Ayat 19 juga menyinggung hal yang sama: “Kita mengasihi karena Allah lebih dahulu mengasihi kita”. Jadi, kasih dua arah antara Allah dan kita merupakan dasar bagi keberanian kita untuk menghadapi hari penghakiman.

Ada dua alasan yang sangat berkaitan erat mengapa orang yang dikasihi dan mengasihi Allah tidak takut terhadap hari penghakiman: kehadiran Allah yang adalah kasih dalam diri orang percaya (ayat 17) dan relasi dengan Allah yang dilandaskan pada kasih (ayat 18).

 

Kehadiran Allah yang adalah kasih dalam diri orang percaya (ayat 17)

Frasa “karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini” di akhir ayat ini mengandung makna yang kurang jelas. Apakah “Dia” (ekeinos) mengacu pada Kristus atau Allah? Jawaban terhadap pertanyaan ini juga dipengaruhi oleh penafsiran seseorang tentang “ada di dunia”.

Sebagian penafsir memahami frasa “ada di dalam dunia” dalam kaitan dengan inkarnasi Kristus lebih dari 2000 tahun yang lalu, sehingga kata ekeinos dipahami sebagai rujukan untuk Kristus. Jika penafsiran ini diterima, Yohanes sedang mengajarkan bahwa apa yang terjadi pada Kristus selama inkarnasi-Nya merupakan cerminan bagi keberadaan kita sekarang di dalam dunia. Apabila Kristus dahulu dan sekarang tetap berada dalam relasi yang penuh kasih dengan Bapa, demikian pula dengan kita sekarang. Dunia tidak akan mampu memisahkan kita dari Bapa.

Pembacaan yang lebih teliti menuntun kita untuk mengambil ekeinos sebagai rujukan untuk Allah. Pemunculan terakhir nama “Kristus” ada di ayat 15, sedangkan subjek di ayat 16 adalah Allah. Jadi, Allah adalah rujukan paling dekat untuk kata ganti ekeinos. Di samping itu, frasa kathōs ekeinos estin (LAI:TB “sama seperti Dia”) berbentuk kekinian (estin), sehingga kurang tepat jika dikaitkan dengan inkarnasi Kristus. Seandainya Yohanes memikirkan inkarnasi, dia mungkin akan menggunakan bentuk lampau dan (atau) kekinian, misalnya kathōs ekeinos ēn kai estin.

Senada dengan penafsiran di atas, kita sebaiknya memahami frasa “karena sama seperti Dia, kita juga ada di dalam dunia ini” sebagai ungkapan lain untuk kehadiran Allah di dalam diri kita. Allah adalah kasih (4:8) dan kasih-Nya telah disempurnakan di dalam kita (4:12, 17). Allah terus-menerus bersama dengan umat-Nya di dunia. Jikalau Dia mengasihi dan diam bersama umat-Nya, masakan Dia akan menghukum mereka kelak pada waktu penghakiman terakhir?       

 

Relasi dengan Allah yang dilandaskan pada kasih (ayat 18)

Di ayat ini Yohanes memaparkan ketakutan dan kasih sebagai dua hal yang eksklusif. Keduanya tidak mungkin ada pada tempat dan saat yang bersamaan (“di dalam kasih tidak ada ketakutan”). Alasannya adalah ini: “kasih yang sempurna melenyapkan ketakutan”.

Keberadaan kasih yang sempurna dan ketakutan terhadap hari penghakiman dapat digambarkan seperti terang dan kegelapan. Jika terang ada, kegelapan akan lenyap. Tidak mungkin keduanya hadir di saat dan tempat yang sama.

Barangsiapa yang sudah mengalami kesempurnaan kasih Allah dalam dirinya menyadari bahwa relasi mereka dengan Allah dibangun di atas kasih, bukan ketakutan. Mereka lahir dari Allah yang adalah kasih (4:7-8). Mereka sudah menyaksikan demonstrasi kasih Allah yang tertinggi, yaitu pengorbanan Kristus bagi dosa-dosa mereka (4:9-10). Allah sangat mengasihi mereka (4:11). Pendeknya, “Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia” (4:16).

Konsep ini perlu untuk digarisbawahi, karena sering tidak dipahami atau diabaikan oleh sebagian orang Kristen. Mereka mencoba membangun relasi dengan Allah berdasarkan aturan legalistik dan ketakutan terhadap hukuman. Mereka berbuat baik semata-mata untuk mengikuti aturan-aturan atau menghindari hukuman. Pada saat mereka melakukan suatu dosa, perasaan dominan yang muncul adalah rasa bersalah, takut diketahui orang lain atau menerima konsekuensi dari perbuatan itu. Kebaikan yang mereka lakukan lebih ditujukan untuk meniadakan semua perasaan yang tidak nyaman tersebut. Semua ini mengungkapkan bahwa relasi mereka tidak dibangun di atas kasih.

Relasi yang didirikan di atas kasih berusaha menyenangkan hati pihak lain. Bukan untuk menerima keuntungan maupun menghindari hukuman. Bukan pula untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman. Kita menjauhi dosa karena kita tahu bahwa hal itu mendukakan hati Allah. Kita menjaga kekudusan karena kita menghargai penebusan yang Allah sudah sediakan bagi kita. Pendeknya, semua motivasi di balik perbuatan baik diarahkan pada hati Allah: kesenangan dan perkenanan-Nya. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko