Kesalehan Yang Terlupakan:Ketundukan dan Kesederhanaan (1 Petrus 3:1-7)

Posted on 17/09/2017 | In Teaching | Leave a comment

Sejak beberapa dekade yang lalu dunia diwarnai secara kental oleh semangat feminisme dan konsumerisme. Dalam feminisme, perbedaan antara laki-laki dan perempuan coba dikaburkan sedemikian rupa sehingga hanya kesejajaran mereka yang ditampilkan. Ketundukan isteri kepada suami dipandang sebagai warisan budaya patriakhal yang sudah tidak relevan. Dalam konsumerisme, para perempuan mencoba mengikuti patokan duniawi tentang kenyamanan hidup. Tatkala hal ini terjadi, penampilan lahiriah seringkali lebih diutamakan daripada yang lain.

Teks kita hari ini memberi landasan yang kuat bagaimana menghadapi dua bahaya di atas. Petrus menerangkan bahwa isteri yang saleh menunjukkan dua karakteristik: ketundukan kepada suami dan kecantikan dari dalam. Dua hal ini sangat penting bagi si isteri maupun suaminya.

Bukti kesalehan #1: ketundukan (ayat 1-2)

Dalam bagian ini Petrus tampaknya memikirkan sebuah situasi khusus, yaitu para isteri yang bersuamikan orang yang non-Kristen. Mereka disebut sebagai orang-orang yang “tidak taat kepada Firman” (ayat 1). Istilah “firman” (logos) di sini merujuk pada berita injil (lihat 2:8; 4:17). Pemilihan kata ini (logos, bukan euangelion seperti biasanya) dimaksudkan sebagai sebuah permainan kata: “supaya jika ada di antara mereka yang tidak taat kepada Firman (logos), mereka juga tanpa perkataan (logos) dimenangkan oleh kelakuan isterinya”.  

Menjadi isteri yang baik bagi orang yang tidak beriman jelas memberi tantangan tersendiri. Perbedaan keyakinan berarti perbedaan cara pandang, keputusan, dan tindakan. Jika situasi kultural pada waktu itu diperhitungkan, tantangan ini tampak semakin besar. Menurut ukuran kultural Yunani-Romawi pada waktu itu, perbedaan keyakinan antara suami dan isteri bisa dibilang sebagai sesuatu yang tidak ideal. Para isteri diharapkan mengikuti agama suami (misalnya Plutarch). Bagaimana para isteri Kristen seharusnya menyelaraskan ketaatan mereka kepada suami dan Allah? Ini jelas tidak mudah untuk dilakukan.

Di tengah situasi rumit seperti di atas, Petrus menasihati ister-isteri Kristen untuk tunduk kepada suami mereka (3:1a). Tunduk bukan karena tuntutan kultural. Petrus tahu bahwa sangatlah mustahil bagi para isteri untuk menjungkirbalikkan norma-norma kultural yang berlaku pada waktu itu. Bukan karena ketakutan (3:5-6). Petrus tahu bahwa ada Allah sebagai pokok pengharapan. Bukan pula untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Petrus tidak menyoroti keuntungan atau manfaat yang akan diperoleh oleh para isteri yang tunduk.

Alasan ketundukan berkaitan dengan suami. Ketundukan isteri kepada suami merupakan sarana ilahi untuk memenangkan suami bagi Kristus (3:1b). Hal ini dilakukan “tanpa perkataan” (aneu logou). Pertobatan mereka terjadi lebih karena melihat (3:2a partisip epopteusantes) daripada mendengar. Dengan kata lain, Petrus sedang menekankan penginjilan melalui tindakan. Dia secara konsisten memang menegaskan nilai penting “kelakuan” (anastrophē, 1:15; 2:12; 3:2, 16). Secara khusus dia sudah mengajarkan kesalehan sebagai sarana penjangkauan untuk orang-orang yang belum percaya (2:12).

Walaupun demikian, frasa “tanpa perkataan” jelas bukan berarti tanpa pemberitaan injil. Pemberitaan verbal tetap tidak boleh dilupakan. Di 3:15 semua orang Kristen dinasihati untuk memberikan pembelaan verbal sekaligus menunjukkan kesalehan. Hanya saja, dalam konteks relasi suami – isteri pada waktu itu, sarana yang lebih efektif memang bukan perkataan, melainkan kelakuan. Pemberitaan injil seringkali menjadi tidak berbuah jika si pemberita gagal menghidupi injil tersebut.

Kata “kelakuan” (anastrophē) muncul lagi di 3:2. Frasa “murni dan salehnya hidup isteri mereka itu” secara hurufiah dapat diterjemahkan: “kelakuan kalian yang murni dalam ketakutan” (tēn en phobō hagnēn anastrophēn hymōn). Penempatan “dalam ketakutan” di bagian awal menyiratkan penekanan.

Baik “murni” (hagnēn) maupun “dalam takut” (en phobō) saling berkaitan. Untuk memahami ini, kita perlu mengetahui bahwa ketakutan di sini bukan ditujukan pada suami (lihat 3:6). Ketakutan ini ditujukan pada Allah. Ketundukan kepada suami bersumber dari ketundukan kepada Allah. Jika tafsiran ini diterima, kita bisa melihat keterkaitannya dengan “murni”. Ketundukan isteri bukan cuma di luar untuk pencitraan. Bukan sekadar menjaga reputasi isteri atau suami. Bukan sekadar menyenangkan pasangan. Bukan untuk menghindari pertengkaran belaka, apalagi memamerkan kebaikan isteri. Ketundukan ini dilakukan secara tulus karena Allah yang menjadi alasannya.

Bukti kesalehan #2: kecantikan dari dalam (ayat 3-4)

Sesudah menyinggung tentang ketundukan (3:1-2), Petrus sekarang beralih pada kesederhanaan penampilan dan kecantikan dari dalam (3:3-4). Nasihat ini sendiri sebenarnya tidaklah asing bagi orang-orang Romawi. Banyak penulis terkenal pada waktu itu yang sudah mengajarkan nilai penting penampilan yang sederhana (Plutarch, Seneca, Juvenal, Epictetus, Pliny, Tacitus).

Apakah Petrus secara mutlak melarang segala jenis dandanan, pakaian mahal, dan perhiasan? Apakah ayat 3 harus diterima secara hurufiah? Pembacaan yang teliti mengarah pada jawaban negatif. Kita tidak mungkin mengambil teks ini secara hurufiah, karena pada larangan terakhir sebenarnya tidak ada tambahan “yang indah-indah” (KJV/ESV). Mereka hanya dilarang mengenakan pakaian. Apakah kita akan menangkap ini secara hurufiah dan menerapkannya secara mutlak? Tentu saja tidak, bukan? Itulah sebabnya, penerjemah NASB memilih: “perhiasanmu tidak boleh hanya secara eksternal saja”.

Penjelasan di atas bukan berarti bahwa penampilan yang berlebihan diperbolehkan. Petrus tetap mengajarkan kesederhanaan (3:3). Namun, yang disorot terutama adalah kecantikan dari dalam (inner beauty, 3:4). Orang yang memiliki cantik dari dalam pasti menganggap kecantikan dari luar tidak seberapa penting. Mereka tidak akan berfokus pada hal tersebut.

Kecantikan dari dalam ini diungkapkan melalui frasa: “manusia batiniah yang tersembunyi”. Kita tidak boleh menafsirkan frasa ini seolah-olah yang dipentingkan hanya aspek batiniah. Sebelumnya Petrus sudah dua kali menekankan pentingnya kelakuan yang bisa dilihat (3:1-2). Sebaliknya, frasa ini berarti “seluruh kehidupan seseorang jika ditentukan dari dalam”. Yang dipikirkan oleh Petrus bukan kerohanian yang aneh, tidak mendarat, atau sekadar di dunia roh. Apa yang ada dalam hati pasti akan keluar melalui kelakuan. Hati yang baik menghasilkan kelakuan yang baik pula. Hati yang diwarnai oleh kelembutan (praus) dan ketenangan (hēsychios, LAI:TB “ketentraman”) memampukan para isteri untuk tunduk kepada suaminya (bdk. 1 Tim 2:11, lit. “Biarlah seorang perempuan belajar dalam ketenangan dengan segala ketundukan”).

Kecantikan dari dalam jelas jauh lebih bernilai daripada penampilan luar. Kecantikan dari dalam tidak bisa binasa oleh waktu atau pemakaian (3:4 “yang tidak binasa”). Kecantikan ini sangat berharga di mata suami (sebagai sarana pertobatan, 3:1-2) dan, terutama, “di mata Allah” (3:4). Tidak peduli seberapa banyak uang yang kita hamburkan untuk kecantikan secara fisik, semua itu tidak berharga di mata Allah. Yang bernilai adalah kecantikan dari dalam. Berbeda dengan manusia yang cenderung melihat dari luar, Allah melihat sampai kedalaman hati manusia (1 Sam 16:7).

Teladan dari masa lalu (ayat 5-6)

Jikalau para isteri di zaman Petrus merasa nasihat di 3:1-4 terlalu berat, mereka tidak perlu berkecil hati. Apa yang dinasihatkan bukan hal yang sepenuhnya baru. Para perempuan kudus dari dahulu memang sudah menjalankan hal tersebut. Bentuk jamak “perempuan-perempuan kudus” (3:5) menyiratkan bahwa Sara (3:6) hanyalah salah satu perwakilan dari mereka. Petrus sangat mungkin juga memikirkan isteri para patriakh (Ribka, Rahel, dan Lea).

Beberapa penerjemah gagal menunjukkan keterkaitan antara ayat 5b dan 5c. LAI:TB menggunakan tanda baca titik koma untuk memisahkan dua bagian ini. NIV menggunakan titik, seolah-olah dua bagian ini terpisah. RSV memakai kata sambung “dan”. Dalam teks Yunani terlihat jelas bahwa bagian kedua menerangkan bagian pertama. Dengan kata lain, wujud dari pengharapan kepada Allah adalah ketundukan kepada suami (KJV/NASB/ESV).

Pertimbangan sintaks di atas penting untuk digarisbawahi. Ketundukan para perempuan kudus bukan didorong oleh kehebatan suami atau ketakutan isteri kepada suami mereka. Ketundukan yang benar muncul dari pengharapan kepada Tuhan. Ada banyak tantangan dalam ketundukan. Para isteri seringkali putus asa dalam upaya mereka menundukkan diri kepada suami. Dalam situasi seperti ini mereka perlu mengingat kepada siapa mereka berharap. TUHAN tidak pernah mengecewakan. Dia tidak pernah mempermalukan kita. Dia tidak pernah meninggalkan kita sendirian.

Petrus mengambil Sara sebagai teladan. Secara khusus, dia sedang memikirkan ucapan Sara di Kejadian 18:12. Di sana Sara memanggil Abraham sebagai “tuanku”. Yang perlu diperhatikan, Kejadian 18 menceritakan sebuah keadaan keluarga yang negatif. Abraham telah sangat tua dan belum menerima penggenapan janji tentang keturunan. Di tengah situasi seburuk apapun, ketundukan Sara tetap ada. Ketundukannya tidak ditentukan oleh keadaan tertentu. Ketundukan adalah kebiasaan. Kapan pun, dalam situasi seperti apapun. Itulah sebabnya, Petrus dengan teliti menggunakan kata kerja imperfek ekosmoun di 3:5 (LAI:TB “berdandan”), yang menyiratkan sebuah kebiasaan di masa lampau (lit. “dahulu terus-menerus berdandan”). Berapa banyak isteri yang ketundukannya kepada suami hanya bersifat situasional? Sebagian hanya tunduk dalam situasi yang menyenangkan belaka.

Biarlah di Bulan Keluarga REC 2017 ini para isteri diingatkan untuk memeperhatikan kesalehan mereka. Kesalehan ini ditandai dengan dua hal: (1) ketundukan kepada suami; (2) kesederhanaan dan kecantikan dari dalam. Kiranya Roh Kudus memberi kekuatan untuk mewujudkannya. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko