Kita sedang hidup di tengah zaman yang mengagungkan kehebatan manusia. Semua penilaian yang negatif tentang manusia dihindari, terlepas dari kebenaran atau kekeliruan dalam penilaian tersebut. Semangat zaman seperti ini membawa imbas di berbagai bidang.
Bidang penginjilan adalah satunya. Sebagian orang mulai mengkompromikan berita Injil. Diskusi tentang dosa dan neraka dihindari. Injil sebagai kabar baik dipahami sebagai kabar yang tidak menyentuh hal-hal buruk.
Pemikiran ini tidak tepat dan sangat berbahaya. Mengapa Injil disebut kabar baik? Karena menawarkan solusi bagi kabar buruk yang sedan gmenimpa manusia. Tanpa memahami betapa seriusnya kondisi manusia di luar Kristus, kita tidak mungkin bisa memahami betapa hebatnya kebaikan di dalam Injil. Ada kabar buruk. Lalu ada kabar baik. Dua-duanya tidak terpisahkan dan harus ada dalam setiap upaya pemberitaan Injil.
Itulah yang dilakukan oleh Paulus di sini. Sesudah menjelaskan segala sesuatu yang positif di 1:3-23 (tentang rencana keselamatan kekal dari Allah dan kekuasaan-Nya atas jemaat), Paulus mengingatkan jemaat Efesus tentang keadaan mereka dahulu sebelum mengenal Kristus (2:1-3). Mereka dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Tanpa Allah, tanpa harapan (lihat 2:11).
Strategis ini perlu dilakukan oleh Paulus. Tanpa mengerti dan mengakui keadaan kita dahulu yang tanpa harapan, kita tidak akan mampu menjadikan Allah sebagai satu-satunya harapan. Sekali lagi, kebaikan dalam Kabar Baik baru bisa diapresiasi selayaknya apabila keburukan dalam keterpurukan kita dipahami dengan benar.
Bagaimana keadaan kita dahulu sebelum di bawah kasih karunia Kristus? Ada tiga petunjuk yang menggambarkan betapa parahnya kondisi rohani kita dahulu.
Mati di dalam dosa (ayat 1)
Metafora kematian di sini terdengar sangat tegas. Bukan hanya lemah. Bukan sekadar pingsan. Semua orang di luar Kristus adalah orang-orang yang mati di dalam dosa.
Penegasan lain juga terlihat dari penggunaan dua kata benda yang mempunyai arti sangat dekat, yaitu pelanggaran (paraptōma) dan dosa (hamartia). Pemunculan kata paraptōma di ayat 5 (LAI:TB “kesalahan”) yang tidak disertai dengan hamartia menyiratkan bahwa dua kata ini tampaknya dianggap sinonim dalam konteks ini. Jika ini benar, maka penggunaan dua kata ini secara bersamaan di ayat 1 dimaksudkan sebagai sebuah penekanan.
Bukan hanya itu. Paulus sengaja menggunakan paraptōma dan hamartia dalam bentuk jamak. Dua-duanya jamak. Ini menyiratkan betapa banyaknya atau seriusnya kesalahan mereka.
Mati berarti keadaan yang tanpa daya sama sekali. Kematian adalah ketidakmampuan dalam arti yang paling absolut. Mayat tidak bisa memberikan respons apapun juga.
Yang dimaksud dengan “mati dalam dosa” bukan pasif dalam berbuat dosa. Ayat 2a menunjukkan bahwa mereka justru aktif hidup di dalamnya. Mati dalam dosa berarti tidak mampu merespons kebaikan dan panggilan Allah. Orang berdosa tidak mungkin menginginkan Allah. Mereka bahkan seringkali tidak menyadari dan mengakui kebutuhan mereka terhadap keselamatan.
Konsep ini perlu didengungkan terus-menerus. Ada kesimpangsiuran tentang kondisi manusia berdosa. Bahkan mereka yang aktif dalam pemberitaan Injil pun seringkali tidak menangkap kebenaran ini sepenuhnya. Ada sebuah metode penginjilan yang menggambarkan orang berdosa seperti seorang yang tidak bisa berenang dan tenggelam di tengah lautan. Dia berada dalam keadaan yang sangat lemah, tinggal menunggu ajal menjemput. Lalu tiba-tiba datanglah sebuah kapal dengan penumpang yang baik hati. Sang penumpang itu melemparkan tali dan pelampung ke arah orang yang tenggelam. Satu-satunya harapan bagi orang itu adalah mengenakan pelampung dan memegang tali tersebut sambil membiarkan dirinya ditarik ke atas oleh si penumpang kapal.
Ilustrasi di atas tidak tepat. Orang berdosa tidak lemas atau pingsan. Mereka mati. Mayat tidak bisa mengenakan pelampung maupun memegang tali. Lagipula, orang berdosa bahkan tidak merasa bahwa mereka membutuhkan pertolongan dari Allah untuk keselamatan jiwa mereka. Beberapa yang terlihat mencari pertolongan pun ternyata tidak mau menerima solusi dari Allah. Jalan keselamatan dari Allah membuat mereka terlihat tidak berdaya dan tidak memiliki andil sedikit pun. Manusia berdosa tidak menginginkan itu.
Ditaklukkan oleh Iblis (ayat 2)
Frasa “kamu hidup di dalamnya” (ayat 2a) menyiratkan sebuah aktivitas (peripateō, lit. “berjalan”). Namun, aktivitas ini hanya di dalam dosa-dosa. Walaupun dari sisi metafora bagian ini terlihat sangat kontras (mati versus hidup), tetapi dari sisi makna sejajar. Mati terhadap kebaikan ilahi (ayat 1), tetapi hidup di dalam kejahatan manusiawi (ayat 2).
Apa yang kita lakukan seringkali tidak seburuk apa yang mendorong kita untuk melakukan hal tersebut. Yang lebih serius adalah penyebab di balik tindakan itu. Kita dahulu mengikuti jalan dunia ini (ayat 2b), karena kita menaati “penguasa kerajaan angkasa” (ayat 2c). Penguasa ini adalah roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka. Jadi, orang-orang berdosa sangat aktif berjalan di dalam dosa-dosa karena ada roh kegelapan yang secara aktif bekerja di dalam mereka.
Siapa yang dimaksud dengan penguasa kerajaan angkasa ini? Bentuk tunggal yang digunakan mendorong kita untuk mengidentifikasikan dia dengan Iblis. Bukan hanya roh-roh jahat, tetapi pemimpin mereka, yaitu Iblis. Jika mereka berada di dalam kekuatan Iblis, akankah mereka sanggup melepaskan diri dari cengkeraman Si Jahat?
Satu-satunya jalan keluar ada di dalam Kristus. Melalui kebangkitan-Nya dari antara orang-orang mati dan kenaikan-Nya ke surga, segala kuasa dan pemerintah telah ditaklukkan oleh Allah di bawah kaki Kristus (1:20-21). Dia adalah Kepala Gereja (1:22-23). Hanya mereka yang berada di bawah ke-Tuhanan Kristus yang akan mampu mengalahkan Iblis. Kristus memberikan kemenangan bagi kita. Dia juga menyediakan berbagai senjata rohani untuk menaklukkan tipu daya Si Jahat (6:10-18).
Dikuasai oleh natur yang berdosa (ayat 3)
Tidak mampu menginginkan Allah adalah satu hal (ayat 1). Ditaklukkan oleh Iblis adalah hal lain (ayat 2). Yang tidak kalah parah adalah kondisi internal kita. Kita memiliki natur yang berdosa (ayat 3).
Perbuatan kedagingan disebabkan oleh kehendak dan pikiran yang kedagingan pula. Dosa yang dilakukan tidak dilakukan dengan terpaksa. Dosa itu merupakan ketundukan sukarela terhadap kehendak dan pikiran manusia yang berdosa. Jika semua yang diinginkan dan dipikiran oleh seseorang sudah berdosa, tidak heran apabila tindakannya juga berdosa.
Persoalan tidak berhenti sampai di sini. Mengapa kehendak dan pikiran selalu berdosa? Jawabannya ada di ayat 3b “pada dasarnya kami adalah orang-orang yang harus dimurkai”. Secara hurufiah bagian ini seharusnya diterjemahkan: “kami secara natur adalah anak-anak kemurkaan” (lihat mayoritas versi Inggris). Kata physis seringkali merujuk pada keadaan asal atau yang asli. Dalam konteks ini, physis merujuk pada natur manusia. Hal ini dipertegas dengan ungkapan “anak-anak kemurkaan”. Frasa “anak-anak kemurkaan” (ayat 3) maupun “anak-anak kedurhakaan” (ayat 2, LAI:TB “orang-orang druhaka”) menyiratkan keadaan yang sudah “dari sananya memang sudah begitu”.
Jadi, natur berdosa menyebabkan kehendak dan pikiran yang berdosa. Kehendak dan pikiran yang berdosa menyebabkan tindakan yang berdosa pula.
Masihkah tersisa harapan bagi manusia? Dengan usaha mereka sendiri, harapan sama sekali tidak ada. Tidak ada keinginan mencari Allah. Ditaklukkan oleh Iblis. Dikuasai oleh natur yang berdosa. Sulit membayangkan keadaan yang lebih parah daripada ini.
Puji Tuhan! Oleh kemurahan Allah kita dilepaskan dari situasi tanpa harapan tersebut. Sejak kekekalan Dia sudah memilih untuk menyelamatkan kita dan menjadikan kita anak-anak-Nya (1:3-6). Dia menetapkan Kristus sebagai penebusan dari dosa-dosa kita (1:7-12). Melalui Roh-Nya yang kudus Dia memeteraikan dan menjamin keselamatan kita (1:13-14). Dengan kenaikan Kristus ke surga dan penaklukan segala kuasa di bawah kaki-Nya (1:19-23), lengkap sudah karya keselamatan Allah di dalam kita. Kita benar-benar aman di dalam tangan-Nya. Soli Deo Gloria!