Kemurahan-Kebaikan (Lukas 6:35)

Posted on 29/05/2016 | In Teaching | Leave a comment

Khotbah hari ini termasuk ke dalam seri Karakter Kristiani berdasarkan buah Roh di Galatia 5:22-23. Kita sampai pada rasa yang ke-5, yaitu “kemurahan” (LA:TB). Hampir semua versi Inggris memilih terjemahan “kebaikan” (kindness). Apakah arti “kemurahan/kebaikan” di sini?

Dalam teks Yunani, kata benda yang digunakan adalah chrēstotēs. Kata ini hanya muncul 8 kali di seluruh Perjanjian Baru, itu pun hanya dalam tulisan Paulus (Rm 2:4; 3:12; 11:22[2x]; 2 Kor 6:6; Gal 5:22; Ef 2:7; Kol 3:12; Tit 3:4). Kata sifat chrēstos juga tidak terlalu sering muncul (Mat 11:30; Luk 5:39; 6:35; Rm 2:4; 1 Kor 15:33; Ef 4:32; 1 Pet 2:3). Kata chrēstotēs atau chrēstos seringkali merujuk pada kebaikan Allah di dalam Kristus Yesus (Rm 2:4; 11:22; Ef 2:7; Tit 3:4; 1 Pet 2:3). Manusia berdosa seringkali tidak memiliki karakter ini (Rm 3:12). Sebaliknya, orang-orang yang sudah menerima kebaikan Allah dinasihati untuk menunjukkan kebaikan kepada orang lain (2 Kor 6:6; Ef 4:32; Kol 3:12).

Karena kebaikan yang tercakup dalam kata chrēstotēs atau chrēstos cukup luas, hari ini kita hanya menyoroti salah satu aspeknya saja sesuai dengan Lukas 6:35 “Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik (chrēstos) terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Kepada siapa kebaikan/kemurahan ditujukan? Bagaimana bentuk konkrit dari kebaikan/kemurahan? Apa alasan yang tepat di balik kebaikan/kemurahan?

Obyek kebaikan

Kebaikan mengenal tingkatan. Suatu tindakan yang terlihat baik belum tentu benar-benar baik. Ada beragam faktor yang perlu dipertimbangkan sebagai ukuran. Salah satunya adalah obyek kebaikan.

Jikalau kita hanya mengasihi orang-orang yang baik kepada kita, maka kebaikan seperti itu tidak ada istimewanya sama sekali. Orang-orang berdosa pun melakukan hal itu (6:32-34). Suatu kebaikan yang bersyarat dan berpamrih bukanlah kebaikan. Dalam banyak kasus, hal itu justru merupakan sebuah sarana untuk memanipulasi orang lain.   

Tidak demikian halnya dengan kebaikan yang diajarkan oleh Tuhan Yesus di sini. Kebaikan harus ditujukan pada obyek yang tidak baik. Kita dituntut untuk mengasihi musuh (ayat 35a). Istilah “musuh” di sini sebenarnya lebih mengarah pada pandangan atau sikap orang lain terhadap kita, bukan sikap kita yang menjadikan orang lain sebagai musuh. Orang Kristen tidak seharusnya memiliki musuh, walaupun orang lain ada yang menganggap kita sebagai musuh mereka. Musuh tidak usah report-repot dicari. Dengan berbuat baik saja kadangkala orang lain dengan sukarela dan tanpa alasan menjadikan diri mereka sebagai musuh kita.

“Musuh” dilihat dari apa yang mereka lakukan maupun yang tidak mereka lakukan. Dari apa yang mereka lakukan, musuh adalah mereka yang membenci (ayat 27), mengutuk (ayat 28a), mencaci-maki (ayat 28b), dan berbuat jahat kepada kita (ayat 29-30, 35). Dari apa yang mereka tidak lakukan, musuh adalah mereka yang tidak tahu berterima kasih (ayat 35).

Saya yakin tidak sukar menemukan orang-orang di sekitar kita dengan ciri-ciri seperti di atas. Mereka bukan hanya pernah melakukan hal-hal tersebut. Mereka bahkan terus-menerus melakukannya pada kita. Beberapa tidak bisa menghargai kebaikan yang kita tunjukkan.

Walaupun demikian, hal itu tidak boleh menghalangi kita dalam menunjukkan kebaikan. Secara konsisten kita harus menunjukkan kasih dan kebaikan. Itulah sebabnya di ayat 35 Tuhan Yesus menggunakan kata kerja imperatif present “kasihilah” (agapate), “berbuatlah baik” (agathopoieite), dan “pinjamkanlah” (danizete). Artinya, perintah ini dilakukan terus-menerus. Tidak peduli seperti apa respons dari orang lain, orang Kristen sepatutnya menunjukkan kebaikan. Bentuk kebaikan mungkin fleksibel sesuai dengan apa yang terbaik bagi orang itu, namun semangat untuk berbuat baik tidak boleh padam hanya gara-gara respons negatif dari obyek kebaikan.    

Ketidakbaikan orang lain justru menjadi ukuran bagi kebaikan yang sejati. Semakin tidak baik suatu obyek kebaikan, semakin baik kualitas kebaikan tersebut. Obyek kebaikan menentukan kualitas kebaikan.

Bentuk kebaikan

Tiga kata kerja imperatif di ayat 35 muncul dalam urutan yang progresif, dalam arti yang semakin konkrit. Mengasihi berarti berbuat baik, berbuat baik berarti memberi pinjaman tanpa mengharapkan kembali.

Semua ini mengajarkan satu prinsip penting tentang kasih. Kasih bukan hanya sekadar perasaan. Kasih terwujud dalam kebaikan. Kasih yang tak berwujud dalam kebaikan adalah perasaan yang kosong dan menipu.

Bentuk konkrit kasih/kebaikan di ayat 35 tidak boleh dipisahkan dari penjelasan sebelumnya di ayat 32-34. Beberapa ide yang muncul di ayat 32-34 diulang lagi di ayat 35. Mengasihi musuh disinggung di ayat 32, berbuat baik kepada mereka ada di ayat 33, dan memberikan pinjaman muncul di ayat 34. Dari sini terlihat bahwa ayat 35 merupakan penjelasan sekaligus rangkuman dari ayat 32-34.

Lebih jauh, bentuk kasih/kebaikan di ayat 35 juga merujuk balik pada ayat 27-30. Paralelisme dengan ayat 27-30 inilah yang paling banyak membantu untuk menafsirkan bentuk kebaikan di ayat 35.

Orang Kristen harus mengharapkan yang baik untuk musuh-musuh mereka (ayat 28). Kata “memberkati” (eulogeō) secara hurufiah mengandung makna “mengucapkan sesuatu yang baik.” Karena dilekatkan dengan “doa” di bagian selanjutnya, eulogeō di sini dengan tepat telah dipahami sebagai “memberkati.” Di dalam doa, kita berharap agar mereka menerima berkat Tuhan, entah apapun bentuk dari berkat itu. Berkat terbesar tentu saja adalah pertobatan mereka, tetapi kita tidak boleh membatasi berkat ilahi. Semua terserah kepada Allah. Apa yang baik di mata Allah bagi musuh-musuh kita, itulah yang kita harapkan dan doakan.

Orang Kristen harus memberikan kepada musuh lebih daripada yang diharapkan (ayat 29-30). Memberikan pipi yang satu tatkala pipi yang lain ditampar (ayat 29a) bukan hanya mengajarkan tindakan pasif yang tidak mau melawan. Memberikan pipi yang lain jelas menyiratkan sesuatu yang aktif. Nasihat ini tentu saja tidak bermakna hurufiah. Poin yang ingin didaratkan adalah kerelaan untuk memberikan lebih daripada yang diharapkan. Hal ini diperkuat dengan ayat 29b tentang pemberian baju kepada orang yang mengambil jubah kita. Kita juga tidak hanya melepaskan sesuatu sebagai pemberian, tetapi kita sekaligus berani untuk tidak mengharapkan hal itu akan kembali pada kita (ayat 30).

Poin yang terakhir terakhir, yaitu tentang tidak mengharapkan pengembalian hutang (ayat 30, 35), perlu diberi penjelasan untuk menghindari kesalahpahaman. Teks ini tidak mengajarkan bahwa menagih hutang adalah dosa atau tidak baik. Seorang musuh yang sampai rela mengiba kepada orang yang ia musuhi atau berhutang kepadanya berarti musuh itu benar-benar dalam keadaan yang sangat terjepit. Dia mungkin tidak memiliki jalan keluar yang lain, sehingga ia terpaksa meminta tolong pada orang yang ia musuhi. Kepada orang yang sangat membutuhkan seperti ini, kita tidak sepatutnya menuntut dia mengembalikan pemberian atau melunasi hutangnya. 

Orang Kristen harus mengasihi musuh seperti diri sendiri (ayat 31). Apa yang kita ingin orang lain perbuat kepada kita, lakukan itu kepada orang lain. Dengan kata lain, kita mengukur orang lain berdasarkan diri kita. Apakah kita ingin dikasihi oleh orang lain? Apakah kita ingin menerima berkat? Apakah kita ingin didoakan oleh orang lain? Apakah kita berbahagia apabila orang lain memberikan lebih banyak daripada yang kita harapkan? Jika jawaban dari deretan pertanyaan ini adalah “iya,” kita pun harus mulai melakukannya terlebih dahulu kepada orang lain.

Motivasi di balik kebaikan

Mengasihi musuh jelas bukan tugas yang mudah. Banyak orang gagal melakukannya. Dibutuhkan alasan yang sangat istimewa untuk melakukannya. Alasan inilah yang disebut motivasi kebaikan. Apakah motivasi yang benar di balik suatu kebaikan? Alasan terbaik adalah status kita sebagai anak-anak Allah, baik status kita sekarang maupun nanti di akhir zaman.

Penggunaan kata “tetapi kamu” di awal ayat 35 menandakan sebuah kontras. Kontras antara orang-orang berdosa (ayat 32-34) dengan kita sebagai anak-anak Allah (ayat 35). Kita dituntut untuk menunjukkan kebaikan yang berbeda dibandingkan mereka.

Status sebagai anak-anak Allah juga disinggung dalam kaitan dengan upah yang besar di ayat 35. Kita akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi. Pernyataan ini tidak boleh dipahami seolah-olah status sebagai anak-anak Allah adalah hasil perbuatan baik manusia. Poin yang ditekankan adalah pengakuan dan pemuliaan atas anak-anak Allah.

Sebagai anak-anak Allah, kita wajib mencerminkan sifat Bapa kita (bdk. ayat 36 “Hendaklah kamu murah hati sama seperti Bapamu adalah murah hati”). Hidup harus sesuai dengan status. Nah, jikalau dalam dunia ini tindakan kita mencerminkan sifat dari Bapa kita (ayat 35 “sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat”), maka di akhir zaman nanti Bapa pun akan mengakui kita sebagai anak-anak-Nya. Bukan hanya mengakui, Ia juga akan memuliakan kita. Kita bukan sembarang anak. Kita adalah anak-anak Allah Yang Mahatinggi (ayat 35).

Apakah selama ini kita merasa tidak memiliki alasan untuk mengasihi musuh-musuh kita? Apakah kita memandang orang lain terlalu hina dan tidak pantas mendapatkan kebaikan kita? Apakah orang tersebut tidak kunjung berubah sesudah menerima perlakukan baik dari kita? Ataukah ia justru menjadi semakin jahat kepada kita? Berhentilah melihat siapa mereka. Mulai sekarang, belajarlah melihat siapa kita. Kita adalah anak-anak Allah. Sudah sepantasnya kalau kita hidup seperti Bapa kita. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko