Mempercayai Injil adalah satu hal. Menghidupi Injil itu adalah hal yang berbeda. Keduanya harus ada dalam diri setiap orang Kristen.
Sayangnya, tidak sedikit orang Kristen yang gagal menyelaraskan keduanya. Mereka menunjukkan kehidupan yang bertentangan dengan iman mereka. Inilah yang disebut “kemunafikan”.
Apa yang dimaksud dengan “kemunafikan”? Orang berbeda mungkin akan memberikan definisi yang berbeda pula (bermuka dua, pura-pura setia terhadap suatu agama padahal tidak demikian, menjalani hidup yang berbeda dengan apa yang dikatakan atau percayai). Khotbah hari ini akan mengadopsi arti yang terakhir, karena lebih sesuai dengan konteks Galatia 2:11-14.
Situasi konkrit
Pembacaan sekilas sudah cukup untuk mengetahui bahwa bagian ini (2:11-14) masih berhubungan dengan bagian sebelumnya (2:1-10). Keduanya sama-sama berbicara tentang isu sunat dan tidak bersunat. Nama Petrus dan Paulus pun juga muncul di semua bagian itu.
Yang tidak terlalu jelas adalah keterkaitan apa yang disiratkan. Apakah keputusan para pemimpin gereja di Yerusalem (2:1-10; bdk. Kis. 15) terjadi sesudah teguran Paulus kepada Petrus di Antiokhia (2:11-14)? Isu ini penting untuk dipikirkan karena keputusan-keputusan itu sebenarnya tentang bagaimana orang-orang Yahudi Kristen seharusnya berinteraksi dengan orang-orang Kristen non-Yahudi. Yang bukan Yahudi tidak perlu dan tidak boleh dipaksa untuk mengikuti aturan atau tradisi Yahudi, misalnya dalam hal sunat dan makanan (Kis. 15:19-21). Jika 2:1-10 terjadi sebelum 2:11-14, mengapa Petrus sampai melakukan kesalahan serius seperti itu?
Ketidakjelasan lain berhubungan dengan situasi konkrit yang terjadi di 2:11-14. Apakah kita sebaiknya menafsirkan “makan sehidangan” secara terbatas (pada makan bersama saja) atau segala bentuk pergaulan dengan mereka? Manapun yang benar, pertanyaan tetap sama: Mengapa dia perlu mengambil sikap seperti itu?
Ketidakjelasan ini perlu dijernihkan terlebih dahulu sebelum kita mengupas teks ini secara lebih detil. Nah, jika kita membaca secara normal, lebih masuk akal apabila kita menganggap 2:1-10 dan 2:11-14 bukan hanya berurutan secara posisi di dalam teks, tetapi juga secara urutan peristiwa (kronologis) Dengan kata lain, Petrus bersikap seperti di 2:11-14 bahkan sesudah dia mengetahui keputusan-keputusan gereja seputar relasi antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi.
Berkaitan dengan situasi konkrit yang terjadi, kita sebaiknya juga memahami hal ini apa adanya. Dengan kata lain, “makan sehidangan” hanya terbatas pada makan bersama. Jikalau yang sedang menyoroti interaksi sosial secara umum (pergaulan), dia mungkin bisa menggunakan kata lain yang lebih jelas (bdk. Kis. 10:28; Yoh. 4:9; 1Kor. 5:9, 11). Walaupun demikian, aktivitas “makan bersama” memang tidak mungkin dipahami sesempit itu. Nuansa sosial di baliknya sangat kental, terlepas dari apakah makan bersama ini bersifat relijius (santapan agape) maupun bukan (sekadar ajang berkumpul). Itulah sebabnya ketika Tuhan Yesus makan bersama para pemungut cukai dan orang berdosa, dia dicap sebagai sahabat mereka (Mat. 11:19//Luk. 7:34).
Ketegangan sosial antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi memang sudah bisa ditebak. Ada tembok yang sangat tebal di antara dua kelompok ini. Bahkan seorang Yahudi tidak boleh memasuki rumah orang non-Yahudi (Kis. 10:28). Dalam hal makan bersama saja, keduanya sangat berbeda. Orang-orang Yahudi memiliki aturan soal makanan yang sangat ketat. Daging yang dimakan adalah yang termasuk halal. Cara pembelian, pencucian, pengolahan, dan penyajian pun harus mengikuti berbagai peraturan yang sangat detil. Bahkan mencuci makan sebelum makan pun mengandung makna relijius yang sangat penting (Mat. 15:2).
Nah, selama Petrus berada di Antiokhia, dia pasti bersentuhan dengan dua kelompok ini. Gereja di sana terdiri dari orang-orang Yahudi maupun non-Yahudi (Kis. 11:19-22). Jika memang situasinya seperti ini, kemungkinan besar mereka sudah sering menghadapi isu ini sejak gereja sudah ada di sana. Tatkala Paulus ada di sana pun dia pasti sudah menghadapi dan mencarikan solusi bagi persoalan ini. Hal ini sangat mungkin tidak lagi menjadi masalah di sana. Ini terlihat dari fakta bahwa pada awal-awal kedatangan Petrus, dia tidak keberatan makan bersama dengan golongan non-Yahudi (2:12).
Kesalahan Petrus berhubungan dengan kedatangan golongan bersunat dari Yerusalem, secara khusus, dari kelompok Yakobus (2:12-13). Nah, kita tidak mengetahui secara persis mengapa Petrus melakukan hal tersebut. Apakah demi menjaga reputasi dan penerimaan di kalangan golongan Yahudi yang lebih ketat? Mungkin saja.
Kemunafikan Petrus
Sebagian teolog menafsirkan peristiwa di 2:11-14 terlalu jauh. Mereka melihat ada pertentangan teologis yang tajam antara golongan Paulus (mewakili non-Yahudi) dan Yakobus (mewakili Yahudi). Petrus berada di antara dua kutub ini.
Dugaan ini jelas tidak tepat. Paulus menyebut kesalahan Petrus sebagai kemunafikan, bukan kesesatan (ayat 13). Yang dipersoalkan pun bukan konsep, melainkan kelakuan (ayat 14 “kelakuan”; ayat 15 “hidup secara kafir”). Jadi, tidak ada masalah dari sisi doktrinal.
Dari teks ini kita belajar beberapa hal penting seputar kemunafikan. Pertama, kemunafikan terjadi pada saat seseorang hidup tidak selaras dengan Injil (ayat 14 “tidak sesuai dengan kebenaran Injil”). Meyakini kebenarannya, tetapi tidak hidup secara benar. Injil tidak merembesi seluruh aspek kehidupan seseorang. Jadi, mengetahui kebenaran Injil tetapi secara sengaja tidak menghidupi pengetahuan itu dapat dikategorikan sebagai kemunafikan.
Kedua, kemunafikan bisa terjadi pada saat ada tekanan sosial. Petrus terintimidasi dengan kedatangan golongan Yahudi dari Yerusalem. Mereka menyandang nama besar Yakobus. Tatkala Petrus bertindak munafik, hal itu memberikan tekanan pada orang-orang di sekitarnya. Barnabas dan orang-orang Yahudi yang pun turut dalam kesalahan itu.
Ketiga, kemunafikan menghambat kesaksian Injil. Paulus tidak hanya menegur kesalahan, tetapi juga menjelaskan dampak dari kesalahan itu. Ucapan di ayat 14 harus dipahami sesuai konteks pada waktu itu. Hidup secara Yahudi sama saja dengan hidup menurur perintah-perintah Allah. Ini merujuk pada kesalehan. Hidup secara kafir berarti sebaliknya. Jadi, yang ditekankan adalah aspek relijius, bukan sosial.
Kita perlu berhati-hati dengan bahaya kemunafikan. Siapa saja bisa jatuh ke dalamnya. Petrus dan Barnabas contohnya. Satu-satunya cara untuk bertahan adalah selalu memikirkan Injil Yesus Kristus dalam setiap tingkah-laku kita. Biarkan Injil itu meresap ke seluruh area hidup kita. Kita tidak boleh kuatir dengan harga mahal yang perlu dibayar untuk itu. Soli Deo Gloria.