Minggu yang lalu kita sudah membahas tentang carut-marut keluarga Abraham. Sebuah keadaan yang tidak jauh berbeda dengan keluarga kita. Ada pertengkaran. Ada adu kekuatan. Saling merasa diri lebih benar. Saling melempar kesalahan.
Puji Tuhan! Kehancuran bukanlah titik akhir dari perjalanan. Ada pengharapan di dalam Tuhan. Pemulihan akan menjadi penutup yang manis. Yang paling penting adalah bagaimana kita mengandalkan anugerah Tuhan selama berproses menuju pemulihan.
Teks hari ini akan mengajarkan dua langkah penting menuju pemulihan. Pertama adalah perubahan cara pandang. Cara pandang menentukan penilaian dan tindakan. Yang kedua adalah tugas sebagai duta pendamaian. Kita bukan hanya sebagai penerima, tetapi penerus karya pendamaian dari Allah.
Perubahan cara pandang di dalam Kristus (ayat 16-17)
Kata sambung “sebab itu” di awal ayat 16 merujuk balik ke bagian sebelumnya: “Dan Kristus telah mati untuk semua orang, supaya mereka yang hidup, tidak lagi hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk Dia, yang telah mati dan telah dibangkitkan untuk mereka” (ayat 15). Kita dihidupkan oleh Kristus supaya kita bisa hidup bagi Dia. Perubahan kepemilikan dan tujuan kehidupan ini memengaruhi cara kita memandang segala sesuatu, termasuk memandang orang lain.
Paulus dulu menilai orang lain dari “menurut ukuran manusia” (LAI:TB/RSV, kata sarka, ayat 16). Secara hurufiah, frasa ini berarti “menurut daging” (KJV/NASB/ESV). Walaupun kata sarx bisa memiliki beragam arti (bisa negatif atau netral), dalam konteks ini makna negatif terlihat lebih menonjol (NIV “menurut cara pandang duniawi”). Jadi, penilaian ini bukan sekadar secara manusia, tetapi secara kedagingan atau keduniawian. Cara pandang yang bertabrakan dengan firman Tuhan.
Paulus dahulu bukan hanya menilai manusia secara keliru, tetapi juga menilai Kristus secara keliru pula. Sebelum perjumpaannya dengan Kristus dalam perjalanan menuju ke Damsyik (Kis. 9), dia menganggap Yesus hanyalah seorang nabi palsu dan penghujat Allah. Yesus layak disalibkan dan para pengikut-Nya pantas untuk dihukum dan dibunuh.
Mengapa Paulus berpikir seperti itu? Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kebanggaannya terhadap legalisme Yahudi. Keselamatan diukur dari kesalehan, sedangkan kesalehan adalah tentang menaati deretan perintah dan menjauhi berbagai larangan. Perkenanan Allah ditentukan oleh ketaatan manusia. Tidak heran, cara pandang ini akan melahirkan sikap merasa diri benar dan kurang berbelas-kasihan dalam menilai orang lain yang terlihat kurang taat. Jadi, cara pandang yang duniawi (kata sarka) didasarkan pada kebenaran dan pencapaian diri sendiri.
Cara pandang yang baru di dalam Kristus menghadirkan sesuatu yang benar-benar berbeda (ayat 17). Ada pembaruan yang bersifat total. Dari ungkapan dan kalimat yang digunakan dalam teks Yunani terlihat bahwa perasaan Paulus sangat bergejolak ketika menyatakan kebenaran ini, seolah-olah dia sedang berteriak kegirangan: “Ciptaan baru!” Dia lantas menambahkan: “hal-hal yang lama sudah berlalu,” dan menutupnya dengan sebuah seruan lagi: “Lihat, yang baru sudah datang” (LAI:TB “sesungguhnya” – lit. “lihat!”). Jadi kata “baru” muncul dua kali, plus keterangan bahwa yang lama sudah berlalu.
Apa yang membuat pembaruan ini bisa terjadi? Kuncinya terletak pada “di dalam Kristus”. Kristus membawa kebaruan yang total. Yang lama benar-benar berlalu. Di dalam Dia ada penerimaan, pengakuan, dan rasa aman bagi orang-orang berdosa yang mau percaya kepada-Nya. Semua ini dikaruniakan oleh Allah kepada manusia tanpa memandang usaha dan pencapaian mereka. Semua ini adalah anugerah cuma-cuma berdasarkan karya Kristus bagi mereka yang percaya.
Pemulihan ini bahkan bukan hanya berkaitan dengan orang-orang yang percaya. Penggunaan kata “ciptaan” (ktisis), bukan “manusia” (anthrÅpos), menyiratkan bahwa Paulus memikirkan kita sebagai bagian dari seluruh ciptaan. Dia sedang memikirkan pemulihan yang lebih luas, yaitu pemulihan segala sesuatu di dalam Kristus. Langit dan bumi yang baru.
Kata kerja “telah datang” (gegonen, lit. “telah menjadi/telah ada”) mengambil tense perfek, yang menyiratkan sebuah tindakan yang sudah terjadi dan hasilnya terus ada sampai sekarang. Pembaruan ini sudah dimulai oleh Kristus melalui karya penebusan-Nya. Walaupun segala sesuatu belum sepenuhnya dipulihkan, tetapi proses pembaruan sudah dimulai. Paling tidak, proses itu sudah terjadi pada orang percaya. Siapa saja yang percaya kepada Kristus, dia menjadi ciptaan yang baru. Kelak bersama-sama dengan ciptaan yang lain, dia akan dipulihkan sepenuhnya (bdk. Rm. 1:18-25).
Pembaruan yang terjadi pada kita (dan seluruh ciptaan) berdasarkan penebusan Kristus yang cuma-cuma seharusnya mengubah cara pandang kita. Penilaian kita terhadap orang lain menjadi lebih beranugerah. Kita cenderung berbelas-kasihan, bukan menyalahkan tanpa alasan. Menasihati, bukan menghakimi. Memahami, bukan menggurui. Bukankah Kristus telah memerlakukan kita demikian?
Pembaruan di atas juga seharusnya mengubah cara pandang kita terhadap keadaan. Kita tidak boleh kehilangan harapan. Kalau segala sesuatu saja pada akhirnya akan dipulihkan, tidak ada alasan untuk meragukan bahwa Allah sanggup dan akan mengubah keadaan kita. Dia pasti mempunyai cara untuk menyediakan pertolongan. Dia tidak akan meninggalkan kita.
Tugas sebagai duta pendamaian (ayat 18-19)
Frasa “dan semuanya ini” (ta de panta) di awal ayat 18 menunjukkan bahwa ayat ini masih berkaitan dengan bagian-bagian sebelumnya, terutama ayat 16-17. Seluruh proses karya penebusan berasal dari Allah. Dialah yang mengambil inisiatif. Dialah yang bekerja dari awal sampai akhir. Dia bukan Allah yang suka menunggu. Dia bukan Allah yang suka membiarkan manusia berusaha tetapi sia-sia.
Secara khusus Paulus menyebutkan dua tindakan Allah di ayat 18, yang nanti juga diulang lagi dalam kalimat yang berbeda di ayat 19. Dua ayat ini bersifat paralel. Yang satu menjelaskan yang lain.
Tindakan Allah yang pertama adalah mendamaikan kita dengan diri-Nya (ayat 18a, 19a). Konsep ini menyiratkan bahwa sebelumnya ada permusuhan antara Allah dan manusia. Sejak jatuh ke dalam dosa, manusia sengaja menghindar diri dari Allah dan menyalahkan Dia (Kej. 3:7-12). Semua menyeleweng dan tidak ada yang mencari Allah (Rm. 3:10-20). Dalam anugerah-Nya, Allah tidak tinggal diam. Dia mencari manusia. Dia tidak mau menyerah untuk mendapatkan kita.
Bagi pembaca mula-mula yang terbiasa dengan mitologi Yunani atau agama-agama politeistik kuno, mereka pasti langsung bisa menangkap sebuah konsep yang unik di ayat 18-19. Bukan manusia yang harus mengambil hati dewa-dewa melalui sesajen supaya mereka diperkenan oleh para dewa, Paulus justru mengajarkan sebaliknya. Allah yang mengambil inisiatif. Dia yang mendamaikan kita dengan diri-Nya. Bukan karena pelanggaran mereka sepele, tetapi karena Allah tidak memerhitungkan semua pelanggaran itu kepada mereka. Semua diperhitungkan kepada Kristus. Kristus yang menanggung semua kesalahan itu. Itulah yang disebut anugerah!
Tindakan Allah yang kedua adalah memercayakan berita pendamaian (ayat 18b, 19b). Tidak cukup bagi kita untuk menerima pendamaian saja. Allah bekerja di dalam dan melalui kita. Dia berkenan memakai kita dalam pelayanan pendamaian (ayat 18b). Yang kita sampaikan adalah berita pendamaian (ayat 19b).
Pendamaian ini bukan hanya menjadi berita (isi) pelayanan, tetapi juga mewarnai cara pelayanan Paulus. Walaupun sebagian jemaat di Korintus termakan oleh omongan para rasul palsu sehingga memiliki pikiran yang buruk tentang dia, Paulus tetap menyikapi semuanya dengan penuh kasih (5:12-13). Dia selalu berusaha menguasai diri karena dia tahu bahwa dirinya selalu dikuasai oleh kasih Kristus (5:14).
Adalah sesuatu yang ironis apabila pelayan pendamaian tidak mampu menyelesaikan pertikaian dengan kelemahlembutan. Bukankah akan menjadi sebuah gurauan apabila seorang pemberita pendamaian justru menjadi pencetus perselisihan? Sayangnya, situasi ironis inilah yang sering terjadi. Kita gagal menjadi agen pendamaian di keluarga, sekolah, tempat kerja atau gereja. Tidak jarang kita menjadi penyulut pertengkaran.
Kristus bukan sekadar memberikan teladan. Dia juga membawa perubahan. Dia sudah bekerja di dalam kita. Dia juga rindu untuk bekerja melalui kita. Apapun keadaan, kegagalan, dan kehancuran kita, anugerah-Nya selalu cukup untuk menopang dan membangkitkan. Dia tidak akan membiarkan pekerjaan-Nya berhenti di tengah jalan. Soli Deo Gloria.