Prahara dalam keluarga merupakan hal yang biasa. Dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa dan dihuni oleh orang-orang yang berdosa pula, pertikaian seolah menjadi tidak terelakkan. Saling merasa benar, saling melempar kesalahan.
Hal yang sama terjadi pada tokoh-tokoh Alkitab, bahkan pada mereka yang menjadi panutan iman. Jika dihitung secara matematis, kita akan menemukan jauh lebih banyak pasangan atau keluarga dalam Alkitab yang bermasalah daripada yang harmonis. Dari keluarga Adam, Nuh, Abraham, Lot, sampai Daud semua bermasalah.
Teks kita hari ini menyinggung tentang salah satu persoalan yang muncul dalam keluarga Abraham. Dia dan Sara sudah berusia sangat lanjut tetapi tidak memiliki keturunan. Atas tawaran isterinya, Abraham menjadikan Hagar sebagai gundiknya. Ketika Hagar sudah mengandung dia mulai memandang rendah Sara. Pertikaian pun terjadi dalam keluarga Abraham.
Mengapa permasalah ini bisa terjadi? Bagaimana sikap yang benar dalam menyikapi sesuatu yang tidak benar?
Penyebab permasalahan
Persoalan keluarga sangat jarang bersifat tunggal. Maksudnya, sebuah persoalan seringkali disebabkan oleh beragam faktor penyebab. Apa yang terlihat di permukaan tidak mewakili kerumitan yang ada di dalam.
Kasus yang menimpa keluarga Abraham adalah contoh yang baik tentang hal ini. Keputusannya untuk mengambil Hagar sebagai gundiknya didorong oleh pelbagai faktor.
Yang paling kentara adalah faktor spiritual. Bukan kebetulan apabila kisah ini muncul tepat setelah Allah meneguhkan kembali perjanjian-Nya dengan Abraham (pasal 15). Dalam peneguhan ini Allah tidak hanya mengulang janji-Nya tentang keturunan Abraham yang sangat banyak (15:5). Dia juga menyatakan secara eksplisit bahwa keturunan itu berasal dari anak kandung Abraham (15:4).
Abraham memercayai perkataan Allah (15:6). TUHAN juga meneguhkan keyakinan itu dengan sebuah peristiwa supranatural (15:9-16). Kisah itu kemudian ditutup dengan janji Allah (15:18-21). Sebuah klimaks yang sempurna!
Ternyata, semua situasi yang terkesan spektakuler ini tidak membuat Abraham kebal terhadap keraguan. Sekian waktu berlalu dan dia tetap tidak memiliki keturunan. Ketika Sara mengusulkan ide untuk mengambil Hagar sebagai gundik, Abraham mengiyakan usulan itu.
Apakah Abraham salah memahami atau tidak memercayai janji Allah? Jika dia salah memahami, dia mungkin menafsirkan “anak kandung” tanpa mengaitkan dengan Sara. Dari wanita manapun, bayi yang akan dilahirkan akan menjadi anak kandung Abraham. Jika dia kurang memercayai, dia mungkin memang sudah menyerah dengan penantian janji Allah yang begitu lama. Dia merasa bahwa usulan Sara lebih masuk akal. Toh dia memerlukan seorang anak sebagai ahli warisnya.
Di antara dua opsi tadi, yang terakhir lebih tepat. Dari awal Allah sudah menjanjikan keturunan yang baik (12:1-3). Janji tersebut jelas dikaitkan bukan hanya dengan Abraham, tetapi dengan Sara juga. Jika janji ini tidak perlu melibatkan Sara, mengapa Allah perlu repot-repot menyelamatkan dia dari tangan Firaun (12:10-20)?
Jika kita mau jujur, bukankah banyak persoalan keluarga muncul karena kita kurang percaya pada kebaikan dan janji Tuhan? Kita mengambil keputusan secara tergesa-gesa tanpa mencari pimpinan Tuhan. Kita kehilangan harapan dalam menghadapi sebuah halangan.
Faktor lain adalah kultural. Pembaca Alkitab di zaman sekarang mungkin agak suli memahami usulan Sara. Lebih jauh, Sara bahkan mengatakan: “mungkin oleh dialah aku dapat memperoleh seorang anak”. Bagaimana mungkin seorang isteri memberikan perempuan lain kepada suaminya? Mengapa dia perlu melakukan hal tersebut? Mengapa pula Sara akan menganggap anak yang dilahirkan Hagar sebagai anaknya sendiri? Perbedaan budaya membuat kita kadangkala kurang bisa mengerti bagian ini.
Jika kita hidup pada zaman iu, kita akan mendapati bahwa usulan Sara sangat masuk akal. Orang-orang pada zamannya mungkin akan melakukan hal yang sama atau, paling tidak, akan menganggap usulan tersebut wajar. Dalam budaya kuno, memiliki keturunan merupakan hal yang sangat penting. Anak akan meneruskan nama orang tua, menjaga nama tersebut, dan mewarisi semua kekayaannya. Sebaliknya, tidak memiliki anak merupakan aib dan kemalangan yang besar. Selaras dengan hal ini, masyarakat kuno mencoba memikirkan sebuah solusi untuk mereka yang tidak memiliki keturunan. Para suami diperbolehkan untuk memiliki beberapa isteri sekaligus (poligami). Bagi mereka yang tidak mau melakukan poligami, masih ada solusi lain, yaitu mengambil perempuan sebagai gundik. Jika jalan ini yang ditempuh, anak yang dilahirkan oleh seorang gundik akan diperhitungkan sebagai anak si ister. Ini kebiasaan yang sangat wajar pada waktu itu.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya pada sebuah keluarga. Cara pandang, keinginan, nilai, kebiasaan dan ukuran keberhasilan di sekeliling tanpa kita sadari bisa memengaruhi keputusan-keputusan kita. Persoalan ini menjadi lebih rentan pada mereka yang kurang kritis mengevaluasi semangat zaman dan melihatnya dari perspektif Injil Yesus Kristus.
Faktor yang terakhir adalah personal. Faktor ini berkaitan dengan relasi Abraham dan Sara. Sesuai dengan ajaran Kitab Kejadian sejak awal, laki-laki adalah kepala perempuan (Kej. 1:26-27; 2:21-23). Setiap laki-laki harus memimpin isterinya dengan penuh kasih. Sayangnya, Abraham gagal menunaikan tugasnya.
Menariknya, peristiwa ini sangat mirip dengan kisah kejatuhan Hawa. Dua perempuan ini sama-sama meragukan kebaikan Allah. Sama-sama menawarkan sesuatu kepada suami mereka. Suami merekapun sama-sama mengiyakan tawaran mereka. Persoalan juga sama-sama muncul dari tndakan tersebut.
Sama seperti kasus Adam (bdk. Kej. 3:17), kesalahan tetap berada di pundak Abraham. Dia adalah kepala keluarga. Seharusnya dia yang mengarahkan Sara. Bukankah dia yang berkali-kali mendengarkan firman Tuhan atau mendapat penglihatan? Adam tidak seharusnya mengiyakan tawaran Sara. Dia seharusnya tahu persis bahwa tindakan itu tidak sejalan dengan firman Tuhan.
Sama seperti kasus Adam, banyak keluarga bermasalah karena sang kepala keluarga gagal menjalankan peranannya dengan baik. Ada yang kurang bisa memimpin, bahkan lebih suka dipimpin oleh isterinya. Tidak berani mengambil keputusan. Tidak menjadi teladan. Ada pula yang memimpin seperti seorang penguasa. Dia menggunakan kekuatan untuk menindas anggota keluarga yang lain. Ketakutan dijadikan alat untuk mengontrol keluarganya.
Sikap yang salah dalam menghadapi masalah
Mengambil keputusan yang salah sehingga menimbulkan masalah adalah satu hal. Menghadapi masalah dengan sikap yang salah adalah hal yang berbeda. Adam mengambil keputusan yang salah. Sara menyikapi dengan cara yang salah.
Sama seperti kecenderungan banyak orang, Sara melemparkan kesalahan pada orang lain (16:5). Dia menuntut Abraham untuk bertanggung-jawab (LAI:TB “penghinaan yang kuderita ini adalah tanggung jawabmu”). Dalam teks Ibrani, arti perkataan ini bahkan lebih ke arah: “Kiranya kekerasan ini menimpa engkau” (YLT “My violence is for thee”). Jadi, Sara tidak hanya menyalahkan tetapi menumpahkan kekesalan pada suaminya.
Dalam taraf tertentu Abraham memang keliru. Dia terlalu cepat mengambil keputusan. Bagaimanapun, keputusan itu juga dipicu oleh tawaran Sara sendiri. Jikalau tidak ada ide seperti itu dari dia, Abraham kemungkinan besar juga tidak akan berani menjadikan Hagar sebagai gundik.
Kesalahan lain yang diperbuat oleh Sara adalah menggunakan nama Tuhan dengan sembarangan. Tanpa berpikir matang Sara dengan berani berkata: “Kiranya TUHAN menjadi hakim antara aku dan engkau” (16:5). Dia merasa diri sepenuhnya di pihak yang benar. Yang bersalah adalah Hagar yang menindasnya dan Abraham yang tidak melakukan apa-apa atas hal tersebut.
Bagaimana kira-kira Tuhan melihat situasi ini? Pembacaan yang teliti justru menempatkan Sara di pihak yang negatif. Yang merasa dihina kini menjelma menjadi penindas. Yang merasa tertindas benar-benar menjadi penindas tulen. Alkitab bahkan mencatat beberapa kali tentang Sara sebagai penindas (16:6, 9).
Ketika Hagar melarikan diri dari penindasan ini, TUHAN menjumpai dia (16:7-12). TUHAN bahkan memberikan janji yang indah kepadanya. Menariknya, peristiwa ini bahkan membuktikan bahwa TUHAN melihat apa yang sedang terjadi (16:13). TUHAN tampaknya berpihak pada Hagar.
Penindasan Sara sekaligus menunjukkan bahwa apa yang dia ucapkan kepada Abraham (16:5) tidak sungguh-sungguh. Dia memanggil Allah sebagai Hakim, tetapi pada akhirnya dia sendiri yang menjadi hakim. Ketika Abraham menyerahkan kasus ini kepadanya, Sara langsung menindas Hagar.
Begitulah natur manusia yang berdosa. Kita suka melempar kesalahan pada orang lain. Kita dengan mudah merasa diperlakukan tidak adil tanpa menyadari bahwa kita kadangkala malah sering bertindak jauh tidak adil kepada orang lain. Semua kecenderungan berdosa ini pasti berdampak buruk pada relasi, termasuk dalam relasi antar anggota keluarga.
Puji syukur kepada Allah! Dia tidak membiarkan kita dikuasai oleh dosa. Allah menjadi manusia untuk melepaskan kita dari belenggu dosa. Dia bukan hanya menghapuskan dosa, tetapi memberi kekuatan untuk mengalahkan dosa. Dia menyelesaikan seluruhnya di atas kayu salib. Dia rela mengambil semua kesalahan di pundak-Nya. Dia bahkan mau diperlakukan tidak adil demi kita. Soli Deo Gloria.