Keluarga dan Campur Tangan-Nya (1 Samuel 1:1-20)

Posted on 24/02/2019 | In Teaching | Leave a comment

Tidak ada keluarga yang sempurna. Dua orang berdosa berkumpul di satu rumah yang sama. Tidak ada seorangpun yang sanggup mencinta dengan sempurna. Akibatnya, prahara selalu ada.

Mengharapkan sebuah keluarga tanpa persoalan hanyalah sebuah impian. Impian yang menyakitkan, karena tidak akan pernah bisa diwujudkan. Yang paling penting bukanlah menghindari persoalan yang besar, melainkan menyikapinya dengan cara yang benar.

Itulah yang dihadapi dan disikapi oleh Hana. Awalnya, hidupnya terlihat tidak selaras dengan namanya. “Hana” berarti “kasih karunia”, tetapi hidupnya terlihat penuh duka nestapa. Bagaimanapun, menjadi putus asa bukanlah sebuah pilihan bagi Hana.

Apa yang dihadapi oleh Hana? Bagaimana dia menyikapi persoalan yang menimpa dia?

 

Permasalahan yang rumit

Pada awal pernikahannya, Hana mungkin merasa hidupnya bahagia. Elkana, suaminya, tampaknya bukan seorang laki-laki biasa. Dia berasal dari keluarga yang kaya dan terpandang. Silsilah keluarga menyiratkan kehormatan keluarga Elkana (1:1). Memiliki dua isteri juga seringkali menunjukkan kekayaan seorang pria (1:2). Hal ini diperkuat dengan jenis dan jumlah persembahan yang dibawa oleh Elkana ke rumah Allah setiap tahun (1:4-5, 24-25).

Elkana bukan hanya kaya, tetapi penuh dengan cinta. Dia memberikan porsi lebih untuk Hana (1:5). Dia selalu berusaha menghibur hati isterinya yang sedang berduka (1:8).

Seorang pria yang berlimpah harta dan cinta. Bukankah itu dambaan setiap wanita? Bukankah itu jaminan bahagia. Ternyata tidak! Sebuah keluarga bukan hanya tentang cinta dan kaya. Hana paling memahami betapa tidak berharganya cinta dan harta apabila keluarga sedang tertimpa banyak prahara.

Hana tidak bisa memiliki keturunan. Dia mandul (1:2). Bagi Hana dan masyarakat kuno pada waktu itu, kemandulan bukanlah sebuah persoalan yang gampang. Kemandulan bahkan bisa dipandang sebagai salah satu persoalan yang terbesar bagi seorang perempuan.

Kemandulan berarti tidak ada masa depan. Dalam budaya Israel kuno yang patriakhal, memilki anak laki-laki adalah harapan setiap orang. Silsilah dan warisan keluarga diturunkan melalui garis laki-laki. Tanpa anak laki-laki berarti sebuah nama keluarga akan lenyap. Kekayaan yang dikumpulkan tidak bisa dipertahankan sesuai harapan.

Hana bukan hanya tidak memiliki anak laki-laki. Dia tidak memiliki anak sama sekali. Situasi ini jelas menakutkan. Jika Elkana meninggal dunia, nasib Hana ditentukan oleh belas-kasihan (atau kebencian) anak-anak Penina, isteri muda Elkana. Tanpa belas-kasihan mereka, hidup Hana bisa berakhir di jalanan. Sendirian.

Begitu pentingnya keturunan dalam budaya kuno, sudah menjadi praktek yang lazim apabila seorang suami mengambil isteri tambahan apabila isterinya yang pertama mengalami kemandulan. Poligami adalah sebuah konsekuensi yang hampir pasti bagi seorang isteri yang tidak mampu memberikan anak bagi suaminya. Itulah yang menimpa Hana. Kemandulan berarti bersiap untuk diduakan.

Walaupun demikian, persoalan Hana bukan cuma diduakan. Dia juga menderita penghinaan. Penina, isteri kedua Elkana, selalu menggusarkan hati Hana (1:5b-7). Kemandulan karena “Tuhan menutup kandungan” bukanlah kemandulan yang biasa. Banyak wanita mandul yang disebutkan dalam Alkitab, tetapi hanya Hana dan semua perempuan di istana Abimelekh yang disebutkan “TUHAN menutup kandungan mereka” (Kej. 20:18). Maksudnya, sebagaimana semua perempuan di istana Abimelekh menjadi mandul sebagai sebuah hukuman dari Tuhan, demikian pula dengan Hana. Paling tidak, hal itulah yang ditangkap oleh Penina.

Penina selalu menghina Hana pada saat persembahan korban ke rumah TUHAN. Momen yang seharusnya membawa sukacita justru menjadi neraka bagi Hana. Mungkinkah Penina selalu mengingatkan Hana bahwa semua ibadahnya tidak berguna karena Tuhan murka terhadap dia? Bisa saja. Dan hal itu terjadi setiap tahun (1:7a). Seandainya kemandulan Hana tidak berkaitan dengan dosa tertentu yang dia lakukan, provokasi Penina menjadi penghinaan yang lebih menyakitkan. Posisi Hana seperti Ayub yang tidak berdosa tetapi terus-menerus dianggap berdosa oleh sahabat-sahabatnya.

 Di tengah kemandulan dan penghinaan yang dialami oleh Hana, Elkana berusaha memberikan penghiburan. Sayangnya, Elkana tampaknya tidak tahu cara terbaik untuk mengungkapkan cintanya. Memberikan porsi daging berlebih pada waktu persembahan korban tidaklah cukup. Hana tetap bersedih hati. Dari pernyataan Elkana di ayat 8 terlihat bahwa dia tidak benar-benar memahami situasi isterinya. Sangat wajar apabila Hana tidak mau makan. Persoalan Hana bukan hanya kemandulan, tetapi juga penghinaan. Elkana tampaknya hanya menyadari persoalan yang pertama.

Yang lebih parah, pernyataan Elkana terkesan egosentris. Yang diutamakan adalah keberhargaan dirinya sendiri (“Bukankah aku lebih berharga bagi bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?”). Bukankah akan lebih menghibur bagi Hana apabila Elkana berkata: “Bukankah engkau lebih berharga bagiku daripada sepuluh anak laki-laki?”.

Hana tidak meragukan cinta Elkana. Namun, persoalan Hana tidak mungkin diselesaikan hanya dengan cinta. Apabila Elkana meninggal dunia, hidup Hana akan ditentukan oleh orang-orang yang selama ini membenci dan menggusarkan hatinya. Bukankah hal itu menjadi alasan yang masuk akal bagi kepedihan hati Hana yang mendalam? Sayangnya, penghiburan Elkana kurang terarah ke sana. Ini adalah sebuah tambahan persoalan bagi Hana.

Tidak memiliki masa depan. Diduakan dan menghadapi penghinaan. Tidak dipahami oleh suami. Ternyata semua ini belum cukup bagi Hana. Diapun disalahmengerti oleh Eli, hamba TUHAN yang mengepalai rumah TUHAN di Silo. Eli mengira Hana hanyalah seorang perempuan dursila yang suka bermabuk-mabukan (1:12-14). Hana hanya akan mengoroti rumah TUHAN.

Mungkin Saudara juga pernah berada dalam situasi yang sama. Ada persoalan berat di rumah. Suami tidak bisa memahami. Hamba Tuhan tidak mampu memberikan pertolongan. Kesalahpahaman-kesalahpahaman seperti ini jelas sangat menyakitkan.

 

Campur tangan TUHAN

Bagi anak-anak Tuhan, persoalan bukanlah akhir perjalanan. Persoalan hanyalah perjalanan menuju kemenangan. Hana menolak untuk menyerah. Dia memilih untuk berserah. Ya. Berserah kepada TUHAN yang menutup kandungannya.

Hana berdoa dengan ketulusan. Kata “hati” muncul beberapa kali dalam kisah ini. Penina menyakiti hati Hana (1:7, 15). Hana mengungkapkan kepedihan dan isi hatinya kepada TUHAN (1:10, 15). Dia berdoa di dalam hati (1:13).

Berdoa dengan hati berarti tidak menutupi perasaan kita. Tidak mencoba berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Tidak pula menutupi kehancuran hati dengan jargon-jargon teologi. Tampil apa adanya. Mengungkapkan semua di hadapan Tuhan. Itulah doa yang disertai dengan ketulusan.

Hana juga berdoa dengan kerendahhatian. Dia menyadari bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam (1:11). Artinya, Dia adalah Allah Yang Mahakuasa (lihat NIV). Selaras dengan hal itu, Hana menyebut dirinya sebagai “hamba” (1:11). Sebutan ini bahkan diulang berkali-kali di ayat ini sebagai penekanan.

Banyak orang gagal berdoa seperti Hana. Mereka menganggap diri pantas untuk ditolong. Mereka masih menyimpan beberapa jurus dan amunisi seandainya Tuhan tidak menjawab doa mereka. Itu bukan doa yang disertai kerendahhatian.

Hana juga berdoa dengan iman. Dari kisah yang ada, Eli tampaknya tidak (belum) mengetahui isi doa Hana. Namun, dia sudah meyakinkan Hana bahwa Allah akan mengabulkan doanya (1:17). Pernyataan ini sudah cukup bagi Hana. Cukup untuk mengubahkan Hana. Keadaannya waktu itu memang belum berubah, tetapi dirinya sudah diubahkan. Hana sudah mau makan dan mukanya sudah tidak muram (1:18b). Sebelum TUHAN mengubahkan keadaan Hana, Dia lebih dahulu mengubahkan perasaannya. Hatinya. Imannya. Setelah itu barulah Hana mendapatkan apa yang dia doakan (1:19-20).

 

Rencana TUHAN yang lebih besar

Apa yang dialami oleh Hana sebenarnya bukanlah sebuah persoalan personal. Bahkan bukan hanya tentang keluarga Elkana. Ini tentang Israel, umat-Nya.

Pembacaan yang teliti akan menunjukkan bahwa kisah ini merupakan persiapan dari TUHAN untuk keberlangsungan umat Israel ke depan. Dia sedang mempersiapkan seorang pemimpin yang baru. Hofni dan Pinehas, anak-anak Eli, yang disebutkan di ayat 3b, ternyata bukan imam-imam yang benar (lihat 2:12-17, 22). Eli sendiri sudah tidak mampu melakukan tugasnya dengan baik (2:27-36). Bangsa Israel benar-benar berada dalam sebuah krisis yang besar. Mereka sangat membutuhkan seorang pemimpin yang benar. Umat TUHAN perlu mendapatkan pimpinan dan kebenaran.

Poin ini sudah tersirat dari ucapan Eli. Walaupun Hana menyebut Allah sebagai “Allah semesta alam”, Eli memilih “Allah Israel”. Allah semesta alam tidak lain adalah Allah Israel. Ini bukan hanya tentang Hana. Ini tentang umat-Nya.

Melalui Samuel, TUHAN memilih Saul untuk membebaskan bangsa Israel dari tangan Filistin. Yang paling penting, melalui Samuel, TUHAN mengangkat Daud, hamba-Nya menjadi raja. Jadi, kisah yang dialami Hana ini mengarah pada persoalan yang lebih besar.

Dari kisah ini terlihat bahwa TUHAN seringkali memakai kita lebih daripada yang kita minta atau harapkan atau doakan. Hal yang sama terjadi pada Hana. Bukan hanya untuk menghapuskan aib dirinya. Bukan hanya untuk menjamin masa depannya. Ini tentang TUHAN dan perjanjian-Nya. Allah setia terhadap perjanjian-Nya. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko