Kita hidup di tengah semangat zaman yang bertabrakan dengan nilai kelemahlembutan. Kekerasan menjadi hal biasa. Pembalasan dipandang sebagai wujud keberanian. Bom bunuh diri terus terjadi. Penembakan massal yang paling buruk dalam sejarah Amerika beberapa hari yang lalu terjadi di kota Orlando. 50 orang terbunuh, 53 lainnya mengalami luka-luka.
Di tengah situasi yang memprihatinkan ini, patutlah bagi kita untuk belajar tentang sebuah karakter Kristiani: kelemahlembutan. Ini merupakan rasa ke-8 dari Buah Roh (Gal 5:22-23). Untuk khotbah hari ini, kita akan mempelajari kelemahlembutan dari perspektif Mazmur 37.
Situasi seperti apa yang seringkali menjadi ujian yang berat bagi kelemahlembutan? Bagaimana karakteristik orang yang lemah-lembut? Adakah upah yang baik bagi mereka yang lemah-lembut?
Mazmur 37:11
Bagian ini akan menjadi fokus pembahasan. LAI:TB menerjemahkan kata ‘ānāw di ayat 11 dengan “rendah hati” (lihat juga NASB). Hampir semua versi Inggris secara tepat memilih “lemah lembut” (KJV/ASV/RSV/NIV/ESV, kontra NASB). Pertimbangan konteks memberi dukungan bagi terjemahan mayoritas ini. Orang yang ‘ānāw di Mazmur 37 dikontraskan dengan orang fasik yang penuh dengan kejahatan dan kekerasan (misalnya ayat 1, 12, 14), bukan dengan orang sombong. Ayat ini juga dikutip oleh Tuhan Yesus dengan arti “lemah lembut” (Mat 5:5). Jadi, Mazmur 37:11 berbicara tentang orang yang lemah-lembut.
Ujian terhadap kelemahlembutan
Tidak mudah menemukan orang yang lemah-lembut. Bahkan beberapa orang yang sekilas terlihat lembut pun ternyata terbukti tidak demikian pada saat mereka berada di tengah situasi tertentu. Situasi seperti apa yang acapkali memberi tantangan terbesar bagi kelemahlembutan?
Berada di tengah-tengah orang fasik merupakan wahana ujian yang berat. Mereka merencanakan kejahatan (37:12, 32). Mereka melakukan kekerasan (37:14). Mereka tidak melakukan apa yang seharusnya mereka perbuat (37:21).
Menghadapi orang semacam itu memang tidak mudah. Manusia berdosa cenderung untuk membalas kejahatan dengan kejahatan (37:27). Hanya sedikit yang mampu untuk tidak membalas. Lebih sedikit lagi yang mampu untuk tidak marah (37:8).
Situasi menjadi lebih sukar lagi apabila orang-orang fasik itu terlihat lebih beruntung daripada orang benar. Kecurangan dan tipu daya membuat mereka cepat menuai kesuksesan duniawi (37:7b, bdk. ayat 16). Dalam perspektif relijius bangsa Israel yang menganut retribusi tradisional (taat = berkat, tidak taat = kutuk), kesuksesan orang-orang fasik sedikit sulit dipahami, apalagi diterima. Mengapa TUHAN tidak kunjung menghukum mereka? Haruskah orang benar “membantu” TUHAN untuk membalas orang-orang fasik? Ada ketidakpastian dan pertentangan di sini. Tidak mudah mengontrol semuanya dalam kelemahlembutan.
Karakteristik orang yang lemah-lembut
Siapakah orang yang lemah lembut itu? Kunci untuk memahami hal ini adalah pemunculan frasa “mewarisi bumi” di ayat 9, 11, dan 29. Orang yang lemah lembut akan mewarisi bumi (ayat 11). Begitu pula dengan orang yang menantikan TUHAN (ayat 9) dan orang yang benar (ayat 29). Paralelisme semacam ini menyiratkan bahwa lemah lembut, menantikan TUHAN, dan benar adalah sama. Jadi, orang yang lemah lembut menurut Mazmur 37:11 adalah “orang benar yang menantikan TUHAN pada saat mengalami kejahatan orang-orang fasik dan menyaksikan kesuksesan mereka.” Tidak cukup hanya menjadi orang benar (tidak membalas dengan kejahatan dan tetap melakukan hal-hal yang baik), tetapi juga harus menantikan TUHAN.
Bagaimana caranya menantikan TUHAN? Pertama, mempercayai TUHAN (ayat 3a, 5b). Kata kerja bāt̩āh̩ bukan hanya berarti “mempercayai” (believe), melainkan “berserah” (trust). Maknanya berkaitan dengan rasa aman, percaya diri, atau keyakinan. Penerjemah Septuaginta (LXX) memilih kata elpizō (lit. “berharap”). Jadi, menantikan TUHAN tidak boleh disertai dengan kekuatiran atau keputusasaan. Ada gairah, pengharapan, dan rasa aman di sana.
Kedua, bergembira di dalam TUHAN (ayat 4). Dalam teks Ibrani kata ‘ānōg mengandung arti “menyenangkan diri” (mayoritas versi Inggris “delight yourself”). Menyenangkan diri tidak salah. Persoalannya, bagaimana seharusnya kita menyenangkan diri? Menyenangkan diri harus dilakukan di dalam TUHAN (LAI:TB “karena TUHAN”), bukan dalam berkat-berkat-Nya. Bahkan penerimaan berkat ilahi adalah hasil dari menjadikan TUHAN sebagai sumber kesenangan (bdk. kata sambung “maka” di awal ayat 4b). Jadi, menyenangkan diri di dalam TUHAN mendahului penerimaan berkat-berkat-Nya (ayat 4b). Orang yang berfokus pada berkat tidak akan selalu bergembira, apalagi jika melihat kemujuran orang fasik. Hanya orang yang sukacitanya di dalam TUHAN yang mampu menyenangkan diri mereka di tengah situasi yang tidak enak.
Ketiga, berpaut kepada TUHAN (ayat 5-6). Kata Ibrani gālāl (LAI:TB “serahkan”) secara hurufiah menunjuk pada tindakan mengguling sesuatu (YLT “roll on Jehovah thy way”; bdk. Mzm 119:22; Kej 29:3, 8). Tidak ada keengganan di sana. Sebagian besar versi Inggris mencoba mengekspresikan makna ini melalui terjemahan “commit.” Saya sendiri mengusulkan terjemahan “berpaut.” Jadi, bukan hanya sekadar menyerahkan, melainkan menyerahkannya secara total.
Yang kita pautkan adalah jalan-jalan kita (LAI:TB “hidupmu”; mayoritas versi Inggris “commit your way”). Mempercayai dan bergembira di dalam TUHAN bukanlah tindakan yang pasif. Kita tetap harus berjalan (mengambil tindakan). Namun, kita belajar menyerahkan semua tindakan itu kepada TUHAN. Apabila kita menyerahkan tindakan kita kepada-Nya, Allah akan bertindak bagi kita (ayat 5b-6).
Keempat, menenangkan diri di hadapan TUHAN (ayat 7-8). Terjemahan LAI:TB “berdiam diri” (YLT “be silent”) bisa memberi kesan sesuatu yang pasif. Hanya diam tanpa bicara di hadapan Allah. Maksud pemazmur tentu saja bukan itu. Ide yang ingin disampaikan adalah menenangkan diri.
Ini tentang pengendalian kemarahan (ayat 7b-8). Kita kadangkala tidak membalas, namun kemarahan tetap menyala-nyala dalam diri kita. Pengendalian tindakan (tidak membalas) juga harus disertai dengan pengendalian amarah dalam hati. Peperangan sesungguhnya justru dimulai di sini (bdk. Mat 15:19).
Berkat bagi yang lemah lembut
Teks utama kita hari ini mengajarkan bahwa orang yang lemah lembut akan mewarisi negeri (ayat 11). Untuk mengerti maksud dari ungkapan ini kita perlu memperhatikan konteks yang ada. Penyelidikan konteks yang cermat menunjukkan bahwa mewarisi negeri berkaitan dengan berkat jangka panjang.
Kata “mewarisi” menyiratkan waktu yang panjang, antar generasi. Sama seperti seorang anak baru bisa memiliki warisan orang tuanya nanti sesudah orang tuanya meninggal dunia, demikian pula dengan orang-orang yang lemah lembut. Untuk sekarang, warisan itu tampaknya belum di tangan kita. Orang-orang fasik yang terlihat memanen lebih banyak kesuksesan dan kemakmuran. Namun, situasi ini tidak akan berlangsung terus-menerus. Orang fasik akan dilenyapkan (ayat 2, 9, 10, 13, 15, 17, 20, 22, 28, 38). Walaupun sekarang orang-orang fasik terlihat begitu gagah seperti pohon aras Libanon, tidak lama kemudian mereka akan berguguran (ayat 35-36).
Sebaliknya, orang-orang yang lemah lembut akan menuai di kemudian hari. Milik pusaka mereka tetap ada untuk selama-lamanya (ayat 18). Ayat 37b mengatakan: “pada orang yang suka damai akan ada masa depan.” Di penghujung jalan nanti kita akan berkata seperti pemazmur: “Dahulu aku muda, sekarang telah menjadi tua, tetapi tidak pernah kulihat orang benar ditinggalkan, atau anak cucunya meminta-minta roti” (ayat 25).
Apakah Saudara sedang diperlakukan tidak adil oleh orang lain? Tetaplah bersikap lemah lembut. Semua ada waktunya. TUHAN tidak tinggal diam. Pandanglah Kristus yang lemah lembut dan belajar kepada-Nya (Mat 11:29). Walaupun Ia adalah Raja Semesta, tetapi Ia memilih mengendarai seekor keledai beban betina yang masih muda (Mat 21:5). Soli Deo Gloria.