Dalam khotbah-khotbah sebelumnya kita sudah membahas tentang makna injil. Injil Yesus Kristus. Injil yang murni dan utuh. Beragam aspek yang terkait dengan definisi injil sudah dijabarkan. Dalam beberapa minggu ke depan kita akan mengupas alasan-alasan mengapa harapan satu-satunya bagi manusia berdosa untuk diselamatkan hanyalah oleh karya Roh Kudus yang bekerja melalui berita injil. Salah satu alasan yang akan diterangkan hari ini adalah kegelapan yang mengakar (radikal) dalam hati manusia. Apakah persoalan manusia hanyalah ketidaktahuan atau ketidakadaan terang? Sama sekali tidak! Lalu, apa yang menjadi akar masalah yang sesungguhnya? Itulah yang akan dijelaskan dalam khotbah hari ini.
Teks kita hari ini menyinggung tentang dua respons berbeda terhadap kedatangan terang ke dalam dunia. Dari konteks yang ada terlihat bahwa “terang” yang dimaksud di sini adalah Yesus Kristus sendiri. Bapa telah mengutus Anak ke dalam dunia (3:17). Yesus Kristus terang bagi manusia (1:4). Dia bercahaya di tengah kegelapan (1:5). Dia adalah terang yang sesungguhnya (1:7-8). Jadi, kedatangan Kristus ke dunia lebih dari 2000 tahun yang lalu sebenarnya menempatkan semua orang dalam posisi yang sama: mereka dalam taraf tertentu sudah memperoleh terang.
Persoalannya, tidak semua orang menunjukkan respons yang sama terhadap kedatangan terang itu. Respons mereka itulah yang akan menentukan penghakiman seperti apa yang akan mereka terima. Ayat 19 dimulai dengan: “Dan inilah hukuman itu” (krisis). Secara hurufiah, kata Yunani krisis (LAI:TB “hukuman”) mengandung arti yang netral (“penghakiman”, ASV/RSV/NASB/ESV “judgment”) atau negatif (“penghukuman”, KJV “condemnation”. NIV “verdict”). Seseorang yang berada di dalam krisis belum tentu dinyatakan bersalah dan dihukum.
Sesuai konteks ayat 17-21, kita sebaiknya memahami krisis secara netral. Kedatangan Kristus ke dalam dunia tidak selalu membawa penghukuman (3:17). Namun, sikap orang terhadap kedatangan itulah yang menentukan apakah penghakiman itu pada akhirnya akan menjadi penghukuman (3:18). Ada orang yang memang menolak terang, dan karena itu akan dihukum (3:19-20). Ada pula yang merengkuh terang itu dan diselamatkan (3:21).
Mereka yang menolak terang (ayat 19-20)
Krisis (dalam arti “penghakiman”) benar-benar mengungkapkan keadaan manusia berdosa yang sebenarnya. Mereka sungguh-sungguh berada di dalam krisis (dalam arti “situasi berbahaya”). Kedatangan terang dan respons orang-orang berdosa terhadap terang itu menguak betapa gawatnya keadaan manusia.
Pertama, manusia mencintai kegelapan dan membenci terang. Persoalan manusia bukanlah ketidakadaan terang. Kegelapan bukanlah inti persoalan. Ketidaktahuan bukanlah hal yang paling perlu untuk dirisaukan.
Yang menjadi pokok masalah adalah hati manusia. Hati yang bisa mengasihi dan membenci sesuatu. Hati yang memilih objek yang salah: mengasihi kegelapan dan membenci terang.
Bentuk kata kerja “mengasihi” (ēgapēsan) menyiratkan kesungguhan dari tindakan tersebut (kontra LAI:TB “menyukai”), sedangkan kata kerja “membenci” (misei) lebih menekankan kesinambungan (terus-menerus). Dua respons di atas tidak terpisahkan. Kecintaan orang berdosa terhadap kegelapan mendorong mereka untuk membenci terang. Begitu pula sebaliknya. Tidak ada netralitas. Orang yang sikap hatinya mencintai kegelapan pasti akan terus-menerus membenci terang. Terang sudah ada, namun mereka sengaja menolak terang itu. Mereka melawan terang itu, walaupun kegelapan tidak mungkin menang melawan terang (1:5 “Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya”). Jadi, persoalan terbesar manusia bukan bersifat intelektual (ketidaktahuan), melainkan volisional (berkaitan dengan kehendak). Hati, bukan pikiran.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Yeremia tentang kelicikan hati manusia yang sudah membatu (Yer. 17:9). Benar pula apa yang diutarakan oleh Paulus di Roma 1:18-20 bahwa persoalan manusia bukanlah tidak mengenal kebenaran, melainkan menindas kebenaran itu. Tahu, tapi tidak mau tahu. Tahu, tapi sengaja menekankan pengetahuan itu.
Kedua, manusia selalu melakukan kejahatan. Mencintai kegelapan dan membenci terang ternyata bukan satu-satunya persoalan. Ada alasan lain di balik sikap tersebut. Mengapa mereka menunjukkan sikap seperti itu? “Sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat” (ayat 19b). “Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang” (ayat 20a). Tujuannya? Supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak (ayat 20b).
Dalam teks Yunani, frasa “barangsiapa berbuat jahat” secara hurufiah berarti “setiap orang yang terus-menerus melakukan kejahatan”. Bukan hanya sesekali berbuat jahat. Ini lebih mengarah pada orientasi hidup, bukan sekadar tindakan. Gaya hidup, bukan hanya perilaku.
Mereka yang hidup seperti ini jelas membenci terang. Dia kuatir bahwa terang itu akan membuat kejahatannya nampak. Dalam teks Yunani, kata dasar elenchō bisa mengandung arti “mengecam” (KJV/ASV) atau “membukakan” (mayoritas versi Inggris). Pertimbangan konteks mengarahkan kita pada pilihan yang terakhir. Orang berdosa sengaja tidak mau menghampiri terang, supaya terang itu tidak menguak kejahatan-kejahatannya.
Pemaparan di atas memberikan gambaran yang mengerikan tentang keadaan orang-orang di luar Kristus. Mereka terjebak pada sebuah lingkaran setan: hati yang jahat dan kehidupan yang berorientasi pada kejahatan. Yang satu menyebabkan yang lain. Yang lain menguatkan satunya.
Poin ini mungkin mengagetkan, bahkan terkesan kasar. Tidak semua orang di luar Kristus menunjukkan kehidupan yang jahat. Beberapa bahkan lebih baik dan murah hati daripada rata-rata orang Kristen. Beberapa bahkan mungkin bersungguh-sungguh mencari terang yang benar. Bagaimana mungkin orang-orang seperti ini cocok dengan gambaran di ayat 19-20?
Kunci untuk memahami hal ini terletak pada konteks. Dari perspektif Yohanes 3:1-21, semua manusia dinilai berdasarkan respons mereka terhadap kebenaran yang sejati, yaitu Yesus Kristus (3:18). Ukuran yang dipakai bersifat Kristologis (berkaitan dengan Kristus), bukan sekadar etis atau relijius. Nikodemus adalah contoh yang tepat untuk menjelaskan hal ini. Secara relijius dia tidak diragukan lagi. Dia merupakan salah satu pemimpin agama Yahudi dari aliran Farisi yang paling ketat memelihara detil Hukum Taurat (3:1). Dari sisi etis pun, dia terlihat menonjol. Walaupun dia adalah seorang rabi Yahudi yang terpandang dan Yesus tergolong “tidak belajar formal” dalam hal Taurat (7:15), Nikodemus tidak segan-segan untuk mendatangi Yesus. Pengakuannya juga cukup memuaskan; dia mengakui Yesus sebagai seorang guru yang berkuasa dari Allah (3:2). Dengan kata lain, Nikodemus menempatkan Yesus di atas dirinya: bukan sekadar rabi seperti dia, tetapi diutus dan disertai oleh Allah secara khusus.
Semua kebaikan moral dan relijius di atas tidak terlalu berarti. Seluruh natur manusia sudah rusak oleh dosa. Hanya melalui kelahiran kembali oleh Roh Kudus, manusia berdosa dapat melihat dan masuk ke dalam kerajaan Allah (3:3, 5). Tanpa proses kelahiran dari atas ini (lihat 1:12-13), manusia justru akan menggunakan “kesalehan” mereka yang palsu untuk menutupi persoalan spiritual yang sesungguhnya. Penyakit yang ada cenderung untuk disangkali dan disembunyikan. Kalau pun dicarikan solusi, hanya untuk mengatasi gejala-gejala yang tampak dari luar. Bukankah itu yang dahulu menghalangi Paulus untuk mengenal Kristus (Flp. 3:7-8)? Bukankah kesalehan dan semangat relijius seperti itu yang menghalangi bangsa Yahudi untuk merengkuh kebenaran di dalam Kristus (Rm. 10:2-3)?
Seandainya moralitas dan agama sudah memadai untuk mengubah hati manusia yang rusak oleh dosa, untuk apa Nikodemus masih perlu dilahirkan kembali oleh Roh Kudus (3:3, 5)? Jikalau perbuatan baik dan kesalehan relijius mampu membawa manusia ke surga, untuk apa Allah perlu mengaruniakan Anak-Nya sendiri dan mengutus-Nya dari surga ke dalam dunia (3:16)? Jadi, dari perspektif Yohanes 3:1-21, kejahatan terbesar manusia adalah menolak solusi dari Allah. Mereka seyogyanya seperti bangsa Israel yang sedang dipagut ular-ular berbisa dan tinggal menunggu kematian. Harapan satu-satunya adalah memandang dengan penuh harap kepada ular tembaga yang dibuat oleh Musa. Dan ular tembaga yang diangkat Musa itu sebenarnya menunjuk pada Yesus Kristus (3:14-15). Sayangnya, banyak manusia masih memilih untuk mengatasi krisis darurat dalam kerohaniannya dengan usaha sendiri. Mereka tampaknya tidak sadar tentang betapa mengerikannya keadaan mereka. Itulah orang-orang berdosa.
Mereka yang mendatangi terang (ayat 21)
Tidak semua orang menentang dan menjauhi terang. Ada yang datang kepada terang itu. Mereka adalah orang-orang yang melakukan kebenaran (LAI:TB “melakukan yang benar”). Mereka ini terus-menerus melakukan kebenaran. Kebenaran menjadi orientasi dan gaya hidup mereka.
Apakah hal ini berarti bahwa ada orang-orang berdosa tertentu yang dengan kekuatannya sendiri mampu mendatangi terang? Sama sekali tidak! Sikap seseorang terhadap terang, entah menjauhi atau mendatangi, hanyalah gejala di luar yang mengungkapkan kondisi internal mereka. Respons itu bukan penyebab, tetapi indikator.
Keberanian untuk mendatangi terang menunjukkan kondisi spiritualitas orang tersebut. Perhatikan ayat 21 secara seksama: “tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan di dalam Allah”. Tujuan kedatangannya kepada terang adalah untuk menyatakan suatu fakta: perbuatan-perbuatannya dilakukan di dalam Allah. Bentuk kata kerja “dilakukan” (eirgasmena) menyiratkan bahwa tindakan itu sejak dahulu sudah dilakukan di dalam Allah dan akibatnya masih ada atau terlihat sampai sekarang. Dengan kata lain, Alah sudah lebih dahulu bekerja dalam hati orang itu, sehingga dia mampu mendatangi terang. Jadi, proses mendatangi terang dimulai oleh Allah, bukan dimungkinkan oleh kebaikan intrinsik dalam diri manusia. Soli Deo Gloria.