Pelayanan tidak selalu menyenangkan. Setiap orang yang pernah menerjunkan diri ke dalam pelayanan dengan mudah dapat mengamininya. Ada kritikan dan fitnahan. Ada pula kegagalan dan kekecewaan. Tidak jarang bahkan ada penolakan dan pertentangan.
Situasi yang sama juga dialami oleh Paulus pada saat dia menulis surat 2 Korintus. Sebagian jemaat tergiur dengan para rasul palsu (11:13) yang berusaha memikat hati jemaat demi mendapatkan keuntungan tertentu (2:17). Mereka juga membanding-bandingkan Paulus dengan para penyesat itu (12:11). Ditambah dengan kondisi pelayanan Paulus yang penuh dengan penderitaan, kelemahan dan penolakan (4:7-10), Paulus terlihat “kalah” dibandingkan para rasul palsu itu.
Secara khusus, apa yang terjadi pada pelayanan Paulus sekilas tidak selaras dengan konsep pelayanan yang dia sudah terangkan di pasal 2-3. Bukankah Allah selalu membawa dia pada jalan kemenangan (2:14)? Bukankah pelayanannya di dalam Roh lebih hebat daripada pelayanan Musa (3:6-13)? Bukankah Roh memberikan kemerdekaan (3:17-18)? Lalu mengapa Paulus masih menghadapi penolakan?
Situasi seperti ini memang tidak mudah bagi seorang pelayan Tuhan. Banyak orang mungkin berpikiran negatif terhadap dia. Penolakan dianggap kegagalan; kegagalan dianggap sebagai petunjuk ke arah ketidakberesan pelayan. Menghadapi situasi seperti ini, seorang pelayan Tuhan tidak jarang menjadi lemah.
Tidak demikian dengan Paulus. Rahasianya terletak pada kemurahan Allah (4:1a). Dia menerima pelayanan berdasarkan kasih karunia Allah (1Kor. 15:9-10). Dilibatkan oleh Allah dalam pelayanan Roh yang penuh kemuliaan (3:6-18) juga merupakan bentuk kemurahan ilahi. Kesadaran terhadap kemurahan Allah inilah yang membuat Paulus tidak tawar hati (4:1b, lit. “tidak kehilangan hati”).
Kesadaran tentang kemurahan Allah juga menolong Paulus untuk melakukan pelayanannya dengan penuh integritas (4:2). Dia hanya menyampaikan firman Allah apa adanya. Tidak ada maksud terselubung. Tidak ada motivasi yang bengkok. Dia bahkan membiarkan hidupnya diteropong semua orang. Sikap ini jelas berbeda dengan para rasul palsu. Di pasal 2:17 Paulus dengan lantang berkata: “Sebab kami tidak sama dengan banyak orang lain yang mencari keuntungan dari firman Allah. Sebaliknya dalam Kristus kami berbicara sebagaimana mestinya dengan maksud-maksud murni atas perintah Allah dan di hadapan-Nya”.
Jikalau pelayanan Paulus dipenuhi dengan kemurahan Allah, mengapa masih ada penolakan? Jikalau dia sudah melayani dengan penuh semangat (4:1) dan integritas (4:2), mengapa masih banyak orang yang tidak mau menerima dia dan Injil yang dia beritakan? Jawabannya diberikan dalam teks kita hari ini. Persoalan bukan terletak pada Paulus, melainkan pada kondisi rohani mereka yang menentang Injil. Kondisi mereka benar-benar memprihatinkan. Kegelapan rohani dalam diri mereka benar-benar mengerikan.
Ada tiga petunjuk dalam teks yang menerangkan kualitas kebutaan rohani ini. Ketiganya saling berkaitan. Yang satu disebabkan atau menyebabkan yang lain. Namun, supaya lebih jelas, masing-masing poin akan dibahas secara terpisah.
Mereka sedang menuju kebinasaan (ayat 3b)
Terjemahan “untuk mereka yang akan binasa” (LAI:TB) menyiratkan sebuah peristiwa yang akan terjadi di kemudian hari. Jika dipahami seperti ini, berarti ada kemungkinan peristiwa itu tidak terjadi. Ternyata, bukan seperti itu yang dimaksud oleh Paulus.
Terjemahan “akan binasa” kurang begitu kuat. Dalam teks Yunani kata yang digunakan berbentuk kekinian (tois apollymenois), bukan futuris. Tata bahasa seperti ini biasanya menyiratkan sebuah kepastian atau kesegeraan. Penjelasan selanjutnya di ayat 4 lebih mengarah pada yang pertama: mereka pasti binasa.
Mengapa mereka sedang menuju kebinasaan? Jawabannya ada di poin selanjutnya.
Mereka dibutakan oleh Iblis (ayat 4a)
Sesuai dengan teks Yunani, bagian ini secara hurufiah dapat diterjemahkan sebagai berikut: “yang di dalamnya illah zaman ini telah membutakan pikiran-pikiran orang-orang yang tidak percaya”. Sebutan “ilah zaman ini” (ho theos tou aiōnos toutou) pasti merujuk pada Iblis atau Setan (NLT). Iblis adalah “penguasa kerajaan angkasa, yaitu roh yang sekarang sedang bekerja di antara orang-orang durhaka” (Ef. 2:2). Bentuk kata kerja aktif (kontra LAI:TB “telah dibutakan”) lebih menegaskan keaktifan Iblis dalam pembutaan rohani. Pilihan kata kerja aorist etyphlōsen dalam konteks ini berguna untuk menekankan kesungguhan dari tindakan yang ada. Jikalau illah zaman ini secara aktif dan sungguh-sungguh membutakan pikiran orang yang tidak percaya, mereka benar-benar tidak memiliki harapan.
Mereka sama seperti bangsa Yahudi. Di 3:14-15 Paulus menulis: “Tetapi pikiran mereka telah menjadi tumpul, sebab sampai pada hari ini selubung itu masih tetap menyelubungi mereka, jika mereka membaca perjanjian lama itu tanpa disingkapkan, karena hanya Kristus saja yang dapat menyingkapkannya. Bahkan sampai pada hari ini, setiap kali mereka membaca kitab Musa, ada selubung yang menutupi hati mereka”. Ada selubung rohani yang menutupi hati dan pikiran orang-orang yang menolak Injil.
Penolakan terhadap Injil tidak membutakan mereka. Sebaliknya, kebutaan itulah yang membuat mereka menolak Injil. Bagaimana mereka bisa melihat jikalau kebutaan rohani ini diselesaikan lebih dahulu? Persoalannya, dapatkah seorang yang buta mengoperasi matanya sendiri?
Mereka tidak sanggup melihat terang yang begitu cemerlang (ayat 4b)
Sejak pasal 3 Paulus sudah menjelaskan kemuliaan pelayanan yang baru di dalam Roh. Yang dia maksudkan adalah pemberitaan Injil Yesus Kristus. Kemuliaan yang menyertai pelayanan ini begitu luar biasa sampai mengalahkan kemuliaan ilahi di wajah Musa setiap kali dia menghadap TUHAN di kemah pertemuan (3:6-13). Nah, di 4:4b ini Paulus kembali menyinggung topik yang sama, tetapi dengan keterangan tambahan yang lebih jelas. Kemuliaan dari pelayanan itu berkaitan dengan “cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus”. Pemunculan kata “cahaya” (phōtismos) dan “kemuliaan” (doxa) memberi gambaran yang kuat tentang betapa cemerlangnya berita yang dibawa oleh Paulus.
Lebih jauh, tambahan keterangan untuk Yesus sebagai “gambar Allah” di akhir ayat ini semakin mempertegas poin di atas. Musa bukan gambar Allah. Namun, tiap kali dia berjumpa dengan TUHAN, wajahnya dipenuhi terang ilahi (3:7, 13). Walaupun kemuliaan itu cuma sementara, tetapi cukup untuk meyakinkan bangsa Israel tentang keberadaan dan kemuliaan TUHAN. Kedatangan Kristus ke dunia seharusnya memberi bukti yang jauh lebih kuat. Dia adalah “cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibr. 1:2; Kol. 1:15). Kalau mereka yang pernah melihat Yesus atau mendengarkan Injil tetap tidak mampu melihat kemuliaan-Nya, kita bisa memahami betapa gelap kondisi rohani mereka.
Seperti itulah keadaan kita dahulu. Setiap kita pernah dibutakan oleh ilah zaman ini. Kita takluk dan tunduk pada kehendaknya. Tidak ada harapan bagi kita.
Puji Tuhan! Allah telah membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita (4:6). Dia sendiri berkata: “Dari dalam gelap akan terbit terang”. Soli Deo Gloria.