Kebaikan (Roma 15:14)

Posted on 05/06/2016 | In Teaching | Leave a comment

Dalam khotbah yang lalu kita sudah belajar bahwa rasa ke-5 dari Buah Roh (Galatia 5:22-23), yaitu chrēstotēs (LAI:TB “kemurahan”), mengandung arti “kebaikan.” Secara khusus, kebaikan tersebut biasanya (tidak selalu) ditujukan pada pihak yang tidak layak. Allah menunjukkan chrēstotēs kepada orang-orang berdosa (Rm 2:4; 11:22; Ef 2:7; Tit 3:4). Dengan cara yang sama kita juga diperintahkan untuk memiliki sifat chrēstos kepada musuh-musuh kita (Luk 6:35).

Rasa ke-6 dalam Buah Roh, yaitu agathōsynē (LAI:TB “kebaikan”), memiliki arti yang tumpang-tindih tetapi sedikit berbeda dengan chrēstotēs. Cakupan arti agathōsynē lebih luas (segala macam hal yang dapat dikategorikan “baik”). Obyek agathōsynē juga sangat beragam (baik yang layak maupun tidak). Mayoritas versi Inggris menerjemahkan chrēstotēs dengan “kindness,” sedangkan agathōsynē dengan “goodness.”

Perbedaan lain antara agathōsynē dan chrēstotēs adalah keterkaitan agathōsynē dengan kebenaran dan iman. Kata benda agathōsynē hanya muncul 4 kali di seluruh Perjanjian Baru: dua dikaitkan dengan kebenaran (Rm 15:14; Ef 5:9), yang lain dengan iman (Gal 5:22; 2 Tes 1:11).

Roma 15:14 “Saudara-saudaraku, aku sendiri memang yakin tentang kamu, bahwa kamu juga telah penuh dengan kebaikan (agathōsynē) dan dengan segala pengetahuan dan sanggup untuk saling menasihati”

Galatia 5:22 “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan (agathōsynē), kesetiaan”

Efesus 5:9 “karena terang hanya berbuahkan kebaikan (agathōsynē) dan keadilan dan kebenaran”

2 Tesalonika 1:11 “Karena itu kami senantiasa berdoa juga untuk kamu, supaya Allah kita menganggap kamu layak bagi panggilan-Nya dan dengan kekuatan-Nya menyempurnakan kehendakmu untuk berbuat baik (lit. “kebaikan,” agathōsynē) dan menyempurnakan segala pekerjaan imanmu”

Data Alkitab di atas menunjukkan bahwa agathōsynē bukan sekadar kebaikan yang biasa. Orang yang berbagi agathōsynē juga berbagi pengetahuan/kebenaran Kristiani dan iman dengan orang lain. Khotbah hari ini akan mengeksplor pengertian agathōsynē semacam ini berdasarkan pemunculannya di Roma 15:14.

Sebuah kepekaan pastoral

Apa yang Paulus sampaikan mulai 15:14 menunjukkan kualitas kepekaan Paulus yang luar biasa. Orang-orang tertentu yang memandang Paulus hanya sebagai seorang teolog dan tokoh apologet yang pintar dan tegas mungkin telah mengabaikan sisi-sisi pastoralnya.

Paulus belum pernah mengunjungi jemaat di Roma (15:22; juga 1:13). Terlepas dari situasi yang mungkin terdengar agak janggal ini, ia telah memberanikan diri mengajarkan begitu banyak muatan doktrinal dalam suratnya (pasal 1-11) maupun berbagai nasihat praktis (pasal 12-15). Untuk menghindari kesan terlalu menggurui atau kurang mempercayai kualitas rohani jemaat di Roma, Paulus mengungkapkan keyakinannya terhadap kerohanian mereka.

Entah Paulus mendapatkan kabar tentang jemaat di Roma dari Priskila dan Akwila (Rm 16:3; bdk. Kis 18:2) atau dari berita secara umum (Rm 1:8), ia menyatakan keyakinan pribadinya terhadap kebenaran dari berita yang positif tersebut. Kata “yakin” (pepeismai) sengaja diletakkan di awal kalimat untuk penekanan. Untuk mempertegas hal ini, Paulus mengatakan: “Aku sendiri” (autos egō, KJV “I myself also am persuaded”; NIV “I myself am convinced”). Tatkala menyebut jemaat pun ia tidak lupa memberi penekanan serupa: “kalian sendiri penuh dengan kebaikan” (autoi mestoi este agathōsynēs, NIV “you yourselves are full of goodness”). Pendeknya, Paulus berusaha sebisa mungkin untuk memberi kesan personal (pribadi). Ini menyiratkan kepekaan pastoralnya.

Kebaikan yang benar-benar baik

Di mata banyak orang, agama Kristen sangat dekat dengan kasih dan kebaikan. Sayangnya, sebagian orang Kristen tidak mampu hidup sesuai dengan gambaran populer itu. Khotbah hari ini bertujuan untuk menghidupkan kembali citra positif kita dengan cara menggairahkan kita untuk berbuat kebaikan.

Kebaikan seperti apa yang seharusnya ditunjukkan oleh orang-orang Kristen?

Yang pertama, kebaikan yang melimpah (ayat 14a). Kebaikan (agathōsynē) yang dimiliki oleh jemaat di Roma bukanlah kebaikan yang biasa. Kata sifat “penuh” (mestos) menyiratkan jumlah yang besar (bdk. Yoh 21:11). Hal ini sangat kontras dengan para penyembah berhala yang kehidupannya dipenuhi dengan berbagai macam kejahatan (1:29; 2 Pet 2:14). Tidak cukup hanya memiliki kebaikan yang biasa-biasa saja.

Kebaikan yang penuh (mestē agathōsynē) dapat mengambil beragam bentuk. Ingat, kata agathōsynē memiliki jangkauan arti yang begitu luas. Walaupun demikian, pertimbangan konteks tampaknya menggiring kita untuk memikirkan kebaikan di Roma 15:1-3, yaitu tentang orang-orang yang kuat yang wajib menanggung orang lain yang lemah. Nasihat ini berkaitan dengan kebiasaan makan yang berbeda antar jemaat Roma yang berbudaya Yahudi dan Yunani (14:1-4). Yang dipersoalkan bukanlah isu yang esensial, karena itu tidak perlu menimbulkan pertikaian yang serius. Prinsip yang perlu dianut adalah “yang kuat menopang yang lemah.”

Yang kedua, kebaikan yang disertai kebenaran (ayat 15b). Paulus tidak hanya membicarakan tentang kebaikan. Ia menghubungkannya dengan pengetahuan dan nasihat. Dalam teks Yunani, ayat 14b terdiri dari dua partisip: “dipenuhi” (peplērōmenoi) dan “sanggup” (dynamenoi). Dua-duanya menerangkan kebaikan di ayat 14a.

Sangat disayangkan, penerjemah LAI:TB tidak menerjemahkan kata peplērōmenoi. Seandainya turut diterjemahkan seperti di semua versi Inggris, kita akan menemukan kata sifat “penuh” dan partisip “dipenuhi”; yang pertama berkaitan dengan kebaikan, yang kedua dengan pengetahuan.

Keseimbangan antara kebaikan dan kebenaran ini patut dicamkan, sebab sebagian orang memang terlihat begitu baik, namun mereka tidak menyertainya dengan pengetahuan yang benar. Kebaikan yang berdiri sendiri tanpa didampingi pengetahuan yang benar bukanlah kebaikan yang benar-benar baik. Baik (perbuatan) dan benar (pengetahuan) harus berjalan beriringan.

Hal ini cocok dengan Roma 15:2 “Setiap orang di antara kita harus mencari kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk membangunnya”. Demi kebaikan orang lain berarti demi pertumbuhan rohani mereka. Baik berarti membangun, bukan meruntuhkan. Kebaikan sejati adalah membuat orang lain menjadi lebih baik.  

Bagaimana cara menambahkan pengetahuan pada kebaikan? Bagian terakhir ayat 14 adalah jawabannya. Pemberian pengetahuan dilakukan melalui nasihat.

Kata kerja “menasihati” (noutheteō) hanya muncul 8 kali di Perjanjian Baru. Tujuh di antaranya ada dalam tulisan Paulus. Kata ini bisa mengandung kelembutan (“menasihati,” Kol 1:28) sekaligus ketegasan (“menegur,” Kol 3:16; 1 Tes 5:12, 14). Entah menasihati atau menegur, semuanya harus dilakukan dengan penuh kasih (1 Kor 4:4 “seperi bapa kepada anak-anak”; 2 Tes 3:15 “seperti seorang saudara”).

Menasihati/menegur bukan menghakimi. Bukan pula mengecam atau menggurui. Kasih kepada orang lain adalah motor penggerak nasihat maupun teguran. Kerinduan untuk mendatangkan kebaikan bagi orang lain adalah motivasi sejati bagi nasihat dan teguran.

Sebagai penutup khotbah ini, saya akan memberikan contoh konkrit tentang kebaikan yang disertai dengan pengetahuan dan disampaikan melalui nasihat. Berdasarkan observasi dan pengalaman, ada empat tipe dokter: tidak baik, biasa, baik, dan sangat baik. Dokter yang tidak baik hanya memanfaatkan pasien untuk mendapatkan uang. Dokter yang biasa hanya bisa memberikan obat yang tepat untuk mengobati penyakit pasien, seolah-olah yang dibutuhkan pasien hanyalah secarik kertas resep. Dokter yang baik memberikan obat sekaligus nasihat bagaimana cara hidup yang sehat. Dokter yang sangat baik memberikan obat, nasihat, dan teguran yang penuh kasih (apabila penyakit yang ditangani disebabkan oleh pola hidup atau makan yang keliru dari pasien).

Ada berapa banyak orang yang cenderung menunjukkan kebaikan tanpa kebenaran? Mereka kuatir kalau-kalau nasihat dan teguran yang mereka sampaikan memberi kesan bahwa mereka kurang baik. Kiranya kita semua digairahkan untuk berbuat baik dan benar bagi kemuliaan Allah. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko