Kasih Yang Tanpa Syarat (1 Yohanes 4:10)

Posted on 11/06/2017 | In Teaching | Leave a comment

Kita sudah menjadi begitu terbiasa dengan kalimat: “syarat dan ketentuan berlaku”. Kalimat ini diberlakukan pada hampir setiap hal dalam kehidupan kita: melamar pekerjaan, mengikatkan diri dalam sebuah kontrak, bahkan mendapatkan diskon. Sulit rasanya menemukan sebuah transaksi kehidupan yang benar-benar tanpa syarat dan tanpa ketentuan.

Tidak demikian halnya dengan kasih Allah kepada orang-orang pilihan-Nya. Tidak ada syarat dan ketentuan yang diberlakukan. Benar-benar tidak ada! Kasih ini bukan hanya berbeda, melainkan bertabrakan dengan kasih manusia pada umumnya. Ini adalah kasih yang kontra-budaya (counter-cultural love).

Apa saja karakteristik dari kasih Allah yang tanpa syarat?

Dimulai dari Allah (ayat 10a)

Di bagian sebelumnya Rasul Yohanes sudah menerangkan bahwa kasih berasal dari Allah (ayat 7a). Bahkan orang-orang yang mengasihi pun berasal dari Dia (ayat 7b). Allah bukan hanya sebagai sumber kasih. Allah adalah kasih (ayat 8).

Selaras dengan kebenaran ini, Yohanes lantas menegaskan bahwa Allah adalah inisiator kasih (ayat 10a). Dia yang aktif. Dia yang memulai. Dengan kata lain, kasih Allah bukanlah sebuah reaksi atas sesuatu.

Untuk memperjelas hal tersebut, Yohanes secara sengaja meletakkan kata “bukan” (ouch) di awal kalimat (semua versi Inggris “not that we loved God”). Tidak ketinggalan, penerjemah LAI:TB pun secara tepat mengungkapkan makna yang sama: “bukan kita yang telah mengasihi Allah”. Jadi, yang ditegaskan adalah sisi negatifnya. Kasih kita bukan menjadi alasan, syarat, atau dorongan bagi kasih Allah.

Lebih lanjut, Yohanes juga secara khusus menambahkan subjek eksplisit “kita” (hēmeis), sehingga kata “kita” di ayat 10a muncul dua kali (hēmeis ēgapēkamen, lit. “kita, kita telah mengasihi”). Dengan cara yang sama, kata “Allah” (dalam teks Yunani digunakan kata ganti “Ia”) juga muncul dua kali sebagai penekanan (autos ēgapēsan hēmas, lit. “Ia, Ia telah mengasihi kita”). Maksudnya, Yohanes sedang membandingkan dua pihak: Allah dan kita. Relasi antara keduanya hanya bisa dimungkinkan apabila ada inisiatif Allah (4:10, 19). Kasih Allah bersifat inisiatif, kasih kita bersifat reaktif.

Dari kacamata kultural pada waktu itu, poin di atas cukup mengagetkan. Dalam mitologi Yunani, kebaikan dewa-dewa terhadap manusia seringkali ditujukan untuk kepentingan para dewa. Relasi mereka dengan manusia pun bersifat kondisional (ada persyaratan). Tuntutan dalam persyaratan ini lebih banyak dibebankan di pundak manusia. Manusia harus melakukan ini dan itu atau menjauhi ini dan itu supaya mendapatkan kebaikan dari para dewa.

Allah yang berinisiatif untuk mengasihi manusia merupakan salah satu keunikan kekristenan. Allah selalu menjadi originator (sumber) dan inisiator (prakarsa). Bukan kita yang memilih Allah, tetapi Ia yang lebih dahulu memilih kita (Yoh 15:16). Bukan kita yang mencari Allah, melainkan Allah yang datang untuk mencari dan menyelamatkan kita (Luk 19:10).

Allah yang kita kenal melalui Yesus Kristus bukanlah Sang Penunggu maupun Sang Penuntut. Jika Dia menunggu, maka penantian-Nya akan sia-sia. Kita tidak mungkin mengambil inisiatif untuk mengasihi Dia. Jika Dia menuntut, maka Dia akan kecewa. Kita tidak mungkin mampu memenuhi tuntutan-Nya.

Dibayar mahal oleh Allah (ayat 10b)

Inisiatif belaka tidaklah cukup. Cinta ada harganya. Bukan sekadar rangkaian kata-kata. Bukan hanya perasaan rindu yang menggebu-gebu. Bukan pula kegairahan yang murahan. Entah berapa banyak orang yang berani menyatakan cinta tetapi tidak mampu membuat cinta itu nyata. Hanya mengucapkan, tidak sanggup membuktikan.

Tidak demikian dengan Allah. Dia memegang perkataan melalui perbuatan. Dia rela mencinta hingga terluka. Dia berani membayar harganya.

Kasih Allah bersifat karunia. Diberikan secara cuma-cuma. Gratis. Apakah ini berarti bahwa kasih-Nya tanpa harga? Sama sekali tidak!

Kasih ilahi bukan murahan. Diberikan secara cuma-cuma bukan karena tidak berharga, melainkan karena Dia sendiri telah membayar harganya bagi kita. Tanpa harga (yang Dia bayar), kasih-Nya menjadi tidak berharga (di mata kita).

Jika kita merenungkan secara lebih seksama, kasih Allah dalam diri kita sebenarnya memang bukan tanpa syarat. Ada syarat yang begitu berat. Walaupun demikian, syarat itu sudah dipenuhi oleh Allah sendiri. Ada harga yang tak terkira. Walaupun demikian, harga itu sudah dilunasi oleh Allah sendiri.  

Harga yang dibayar adalah Anak-Nya (ayat 10). Frasa “mengutus Anak-Nya ke dalam dunia” muncul tiga kali di pasal ini (4:9, 10, 14). Di ayat 9 diberi tambahan bahwa Anak ini adalah Anak-Nya yang tunggal.

Dari besarnya harga yang dibayar, kita dapat mengetahui betapa seriusnya dosa. Jikalau dosa adalah persoalan yang sepele, mengutus Anak Allah ke dalam dunia akan menjadi pengorbanan yang berlebihan. Jikalau ada cara lain untuk mengatasi dosa, untuk apa Allah perlu mengorbankan Anak-Nya? 

Dalam sebuah perumpamaan (Mat 21:33-41) pernah dikisahkan bahwa seorang tuan (Allah) sudah berkali-kali mengirim pekerjanya untuk menyelesaikan urusan di tempat kerja. Upaya ini tidak menuai hasil. Sang tuan pun akhirnya mengutus anaknya sendiri. Ironisnya, sang anak juga menemui nasib yang sama dengan para pekerja ayahnya.

Dari besarnya harga yang dibayar, kita juga mengetahui betapa besar kasih-Nya bagi kita. Allah kehilangan Anak-Nya demi mendapatkan kita. Sebuah transaksi yang sangat berat sebelah!

Sebagian orang kurang bisa memahami tindakan Allah ini. Mereka mempersoalkan mengapa bukan Bapa yang turun tangan secara langsung. Menurut mereka, mengorbankan Anak sementara Bapa hanya berpanggu tangan di sorga adalah tindakan yang kurang bijaksana. Bapa seharusnya mengambil kesusahan terbesar dari Anak-Nya, bukan sebaliknya.

Pemikiran di atas jelas tidak tepat. Dari perspektif manusiawi saja kita dapat melihat kekeliruan di balik pemikiran tersebut. Bagi orang tua, melihat anaknya menderita adalah jauh lebih sengsara daripada mengalami penderitaan itu sendiri. Banyak orang tua akan memilih sakit daripada menyaksikan anaknya sakit. Apa yang dialami Bapa sama pedihnya dengan yang dialami Anak. Dan itulah harga kasih-Nya bagi kita!

Ditujukan pada yang tidak pantas (ayat 10c)

Tujuan dari pengutusan Anak Allah ke dalam dunia adalah untuk pendamaian dosa-dosa kita. Kata “pendamaian” (hilasmos) dalam Perjanjian Lama (LXX, Septuaginta) dikaitkan dengan “tutup pendamaian” (hilastērion) yang berada di ruang maha kudus (Kel 25:10-22; 26:34). Itulah tempat imam besar memercikkan darah binatang untuk penghapusan dosa (Im 16:15). Di situ pula tempat TUHAN bertahta dan bersabda (Kel 25:22; 30:6; Bil 7:89). Tanpa darah yang ditumpahkan di tutup pendamaian, tidak ada pengampunan, tidak ada relasi yang intim dengan TUHAN. Rekonsiliasi dan relasi terjadi di atas tutup pendamaian.

Itulah misi yang diemban oleh Anak Allah di dalam dunia. Dia menjadi agen rekonsiliasi dan relasi. Kedatangan-Nya ke dalam dunia untuk membereskan dosa. Namun, kita tidak boleh membayangkan sebuah misi yang mudah. Pemberesan ini membutuhkan pengorbanan. Ada kematian. Ada darah yang ditumpahkan.

Dari gambaran yang diungkapkan di 1 Yohanes 4:10 kita dapat melihat objek kasih Allah. Dia mengasihi orang-orang yang berdosa. Orang-orang yang sebenarnya tidak pantas untuk dikasihi.

Gambaran di ayat ini bersifat kontra-kultural. Menurut mitologi kuno dan berbagai ajaran lain, kesalahan manusia memang bisa mendatangkan murka dan hukuman dari para dewa. Untuk mencegah hal ini, manusia perlu memberikan korban tertentu, misalnya sesajian atau korban nyawa. Kemarahan dewa hanya bisa dipadamkan oleh manusia melalui tindakan manusia. Para dewa hanya bertindak sesuai dengan tindakan manusia.

Allah yang kita kenal dalam Kristus Yesus sangat berbeda. Dia memang membenci dosa. Dia memang menghukum orang berdosa. Sesuatu memang harus dilakukan untuk memuaskan keadilan-Nya. Hanya saja, Dia sendiri yang menyelesaikan semuanya. Allah sendiri yang memadamkan kemarahan-Nya. Tidak ada satu pun yang kita perlu lakukan. Tidak ada syarat apa-apa untuk menyurutkan murka-Nya.

Semua agama di luar Alkitab cenderung legalistik. Ada deretan peraturan yang harus dilakukan oleh manusia terlebih dahulu untuk mendapatkan berkat Allah. Ada deretan larangan yang harus dijauhi sebagai syarat memperoleh kasih Allah.

Puji Tuhan! Allah sudah membayar semua bagi kita. Tidak ada lagi hutang dosa di pundak kita. Soli Deo Gloria!

Yakub Tri Handoko