Dalam bagian sebelumnya Paulus telah mengajarkan bahwa pilihan Allah bersifat berdaulat (9:7-13). Allah bebas memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya. Tindakan ini bukanlah sebuah ketidakadilan (9:14-18). Keadilan bukan kesamarataan. Mengharuskan Allah untuk memilih semua orang tanpa perkecualian justru merupakan sebuah ketidakdilan terhadap Allah. Tindakan ini merampas hak milik Allah.
Sebagian orang mungkin akan membantah konsep di atas, karena Allah seolah-olah telah bertindak sewenang-wenang. Bantahan ini sudah diantisipasi oleh Paulus di ayat 19 “Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?” Sesuai teks Yunani, pertanyaan di ayat 19a seharusnya diterjemahkan: “Mengapa Dia masih menyalahkan?” Maksudnya, apabila semua terjadi sesuai pilihan Allah, mengapa Dia masih meletakkan kesalahan pada manusia? (NIV “Why does God still blame us?”).
Pertanyaan kedua di ayat 19b (“Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?”) memberi penegasan bagi yang pertama. Allah bukan hanya memilih, tetapi pilihan itu bersifat pasti. Tidak ada seorang pun yang dapat melawan kehendak-Nya. Segala sesuatu akan terjadi seperti yang Allah sudah rencanakan. Jika demikian, mengapa manusia masih dipersalahkan oleh Allah?
Fakta bahwa Paulus telah mengantisipasi sanggahan seperti di atas menunjukkan bahwa hal itu merupakan keberatan yang wajar. Paulus mungkin sering menemukan bantahan semacam ini dalam pelayanannya. Persoalannya, apa yang wajar belum tentu apa yang benar. Apa yang lazim seringkali bukanlah apa yang takzim.
Terhadap pertanyaan di atas, Paulus memberikan tiga jawaban: Allah bertindak dengan kedaulatan penuh (ayat 20-21); Allah sudah bersabar terhadap orang-orang yang akan binasa (ayat 22); Allah ingin menunjukkan kemurahan yang besar kepada orang-orang pilihan (ayat 23).
Allah bertindak dengan kedaulatan penuh (ayat 20-21)
Paulus tidak segan-segan untuk meneguhkan kebenaran tentang kedaulatan Allah. Memang benar bahwa tidak ada seorang pun yang dapat menentang kehendak Allah. Allah adalah Pencipta, manusia adalah ciptaan (ayat 20). Perbedaan ini bukanlah sebuah perbedaan yang sepele. Untuk menegaskan perbedaan ini, Paulus secara khusus menggunakan sapaan atau seruan “Oh manusia” (ō anthrōpe) dan kata ganti “kamu” yang diberi penekanan (sy tis ei;). Di samping itu, ia juga memakai kata plassō (“membentuk”) yang dalam Perjanjian Lama (LXX) seringkali merujuk pada kedaulatan mutlak TUHAN dalam menciptakan manusia (Kej 2:7-8, 15, 19; Ay 10:9; Yes 29:16). Kehinaan manusia dan kedaulatan Allah sangat dikontraskan dan disorot dalam bagian ini.
Bukan hanya kehinaan manusia yang dipersoalkan di sini. Paulus juga menganggap tindakan para pembantah sebagai sesuatu yang bertentangan dengan logika. Jika mereka memang mengakui Allah sebagai Pencipta, tidak ada alasan bagi mereka untuk membantah (antapokrinomai) Dia. Kata antapokrinomai di sini mengandung bantahan sekaligus penolakan. Tindakan ini jelas tidak pantas untuk dilakukan. Manusia yang lemah, terbatas, dan berdosa tidak sepatutnya mendikte Allah. Ciptaan tidak layak untuk menilai Pencipta-Nya. Allah memiliki hak prerogatif dalam segala hal. Ia berhak untuk mengontrol segala sesuatu.
Untuk memperjelas poin di atas, Paulus menggunakan sebuah ilustrasi yang sudah sangat terkenal dalam berbagai tulisan Yahudi kuno, baik di dalam (Yes 29:16; 45:9-11; Yer 18:1-6) maupun di luar Alkitab (Sir 33:7-13; Kebijaksanaan 15;7, dsb). Ilustrasi ini berbicara tentang Allah sebagai penjunan dan manusia sebagai tanah liat (ayat 21). Poin analogi yang hendak disampaikan melalui gambaran ini adalah kedaulatan sang penjunan. Ia memiliki hak (exousia, lit. “otoritas”) atas setiap tanah liat di tangannya. Ia memiliki kebebasan untuk membentuk suatu tanah liat menjadi bejana apapun yang ia inginkan. Bahkan ia berhak menggunakan gumpalan yang sama untuk membentuk dua bejana yang berbeda.
Jawaban Paulus di ayat 20-21 menunjukkan kehebatannya dalam berargumentasi. Ia membangun sebuah pijakan bersama: Allah adalah Pencipta. Kebenaran ini diakui juga oleh para pembantah. Dari sana Paulus mengembangkan penalarannya. Jika Allah adalah Pencipta, maka secara definisi Dia berhak melakukan apapun tanpa berkonsultasi dengan ciptaan-Nya. Adalah sebuah kesalahan apabila seseorang mengakui Allah sebagai Pencipta yang berdaulat, namun orang yang sama mencoba mengatur Allah dalam menjalankan alam semesta ini.
Contoh yang baik tentang ketundukan terhadap kedaulatan Allah adalah Ayub. Di tengah semua tragedi dan musibah yang ia hadapi selama bertahun-tahun, ia tetap memberi ruang gerak seluas-luasnya bagi Allah. Ia mengakui bahwa Allah yang memberi, Allah pula yang berhak untuk mengambil kembali (Ay 1:21). Manusia harus siap menerima apapun dari Allah, yang baik maupun yang buruk (Ay 2:10). Bahkan ia tidak ragu-ragu untuk mengakui: “Apabila Ia merampas, siapa akan menghalangi-Nya? Siapa akan menegur-Nya: Apa yang Kaulakukan?” (Ay 9:12).
Allah sudah bersabar terhadap orang-orang yang akan binasa (ayat 22)
Terlepas dari tata bahasa di ayat 22 yang agak rumit, makna yang hendak disampaikan tampaknya cukup jelas. Allah sudah cukup bersabar dengan bejana-bejana kemurkaan-Nya. Kesabaran ini diungkapkan dalam beberapa cara.
Pertama, Allah menanggung kesabaran yang banyak (ēnenken en pollē makrothymia). Allah bukan hanya “menaruh” kesabaran (kontra LAI:TB) tetapi “menanggung” (semua versi Inggris). Yang Ia tanggung bukan hanya kesabaran yang biasa, melainkan kesabaran yang banyak (LAI:TB/NIV “besar”).
Kedua, Allah sebenarnya ingin menunjukkan kemurkaan dan kekuasaan-Nya. Dalam teks Yunani, bagian ini merupakan anak kalimat. Penerjemah New American Standard Bible (NASB) secara tepat menambahkan kata “walaupun” (although) di depan anak kalimat ini. Jadi, ayat 22a-b dapat diterjemahkan sebagai berikut: “Jadi, walaupun ingin menunjukkan kemurkaan dan kekuasaan-Nya, Allah menanggung kesabaran yang banyak terhadap bejana-bejana kemurkaan”. Dengan menghukum mereka, Allah akan menyatakan kekudusan, kemuliaan, dan kekuasaan-Nya, seperti yang Ia lakukan terhadap Firaun (9:17). Walaupun demikian, Allah tidak langsung menghukum.
Ketiga, Allah tahu akhir dari bejana-bejana itu. Ayat 22 diakhiri dengan ungkapan “yang telah disiapkan untuk kebinasaan”. Nasib dari bejana-bejana kemurkaan sudah jelas dari awal. Mereka tidak mungkin berubah menjadi bejana-bejana kemuliaan. Jika memang demikian, penghukuman mereka hanyalah masalah waktu. Allah bisa menghukum mereka kapan saja dengan segera, tetapi bukan itu yang Ia lakukan. Kebebalan manusia berdosa tidak menghalangi Allah untuk memberi mereka kesempatan yang cukup. Dalam Roma 2:4-5 Paulus menjelaskan: “Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya, kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan? Tetapi oleh kekerasan hatimu yang tidak mau bertobat, engkau menimbun murka atas dirimu sendiri pada hari waktu mana murka dan hukuman Allah yang adil akan dinyatakan”.
Allah ingin menunjukkan kemurahan yang besar kepada orang-orang pilihan (ayat 23)
Ayat ini tidak terpisahkan dari ayat sebelumnya, baik secara gramatikal maupun konseptual. Dalam teks Yunani ayat 23 dimulai dengan kata “dan supaya” (kai hina, RSV/ESV), sehingga menyiratkan ayat 23 sebagai tujuan dari ayat 22. Kekuasaan Allah yang akan dinyatakan dalam penghukuman-Nya terhadap bejana-bejana kemurkaan sekaligus akan menyatakan kekuatan kemuliaan-Nya atas bejana-bejana kemurahan-Nya (LAI:TB “bejana-bejana belas kasihan-Nya”). Dengan menyadari betapa besar kemurkaan Allah dan keseriusan hukuman yang menimpa orang-orang berdosa, kita dapat semakin memahami betapa besarnya kemurahan Allah dan kemuliaan-Nya atas kita. Hal ini sama seperti reaksi kita terhadap hujan pertama setelah berbulan-bulan dilanda kemarau panjang. Hujan tersebut terasa lebih indah dari hujan-hujan sesudahnya, karena kita membandingkannya dengan situasi kering sebelumnya yang begitu menyiksa.
Keagungan dari anugerah keselamatan dari Allah digambarkan melalui ungkapan “kekayaan kemuliaan-Nya” (ho ploutos tēs doxēs). Yang melimpah bukan hanya kesabaran Allah atas bejana kemurkaan (ayat 22). Kemuliaan-Nya juga sangat melimpah bagi kita (ayat 23). Bagaimana tidak? Jikalau menahan murka atas bejana kemurkaan saja sudah melibatkan kesabaran yang sedemikian besar dari pihak Allah, apalagi untuk tidak menghukum kita. Tidak terkira betapa banyak kesabaran yang Allah curahkan bagi kita!
Lagipula, semua berkat rohani ini tidak diberikan karena jasa-jasa kita. Ungkapan “bejana kemurahan” menyiratkan bahwa kita tidak pantas dijadikan demikian. Ini semua karena kemurahan Allah atas orang-orang pilihan-Nya. Di samping itu, ungkapan “telah dipersiapkan-Nya untuk kemuliaan” jelas menunjukkan inisiatif dan keaktifan Allah. Sebelum kita ada, Allah sudah memilih kita untuk diselamatkan melalaui Yesus Kristus dan menerima kemuliaan-Nya.
Semua penjelasan di atas mengajarkan kepada kita bahwa Allah berhak melakukan apapun atas ciptaan-Nya. Dia bahkan tidak harus menciptakan apapun. Jikalau Ia memutuskan untuk menciptakan sesuatu, Dia juga bebas menciptakan seturut yang Ia mampu. Kita patut bersyukur bahwa di antara semua manusia yang berdosa, Allah sejak semula telah memilih kita untuk diselamatkan. Bukan karena jasa dan kebaikan kita. Bukan pula karena talenta dan kelebihan kita. Semua karena anugerah-Nya yang tak dapat ditolak. Semua karena kasih-Nya yang tak dapat dibantah. Soli Deo Gloria.