Kasih Yang Menyelamatkan (Titus 3:4-7)

Posted on 04/06/2017 | In Teaching | Leave a comment

Dalam surat ini Paulus berkali-kali membicarakan tentang perbuatan baik. Para penatua harus menunjukkan kehidupan yang baik (1:5-9). Semua orang pun dituntut demikian sesuai dengan kategori mereka: orang-orang tua (2:2), para perempuan tua (2:3-5), orang-orang muda (2:6), maupun hamba (2:9-10). Tidak lupa Paulus juga menasihati Titus untuk menjadi teladan dalam perbuatan baik (2:7-8). Semua orang diperintahkan untuk menunjukkan ketaatan dan kebaikan kepada para pemimpin mereka (3:1). Dalam terjemahan LAI:TB, tidak kurang dari 12 kali kata “baik” muncul dalam surat yang pendek ini (1:8, 15, 16; 2:3, 5, 7, 14; 3:1, 5, 8, 14).

Tidak sukar untuk menemukan alasan di balik nasihat yang diulang-ulang ini. Dari sisi kultural, jemaat tinggal di tengah-tengah orang Kreta yang terkenal tidak baik (1:12). Belum lagi mereka juga sedang diperhadapkan dengan orang-orang yang pengakuan iman dan perilakunya tidak sejalan (1:16). Apa yang mereka lakukan, baik ajaran maupun perilakunya, sudah meresahkan jemaat (1:10-11). Di tengah situasi ini, menunjukkan keteladanan Kristiani menjadi sesuatu yang tidak dapat ditunda lagi.

Persoalannya, bagaimana kita seharusnya menempatkan perbuatan baik dalam kaitan dengan keselamatan? Apakah perbuatan baik merupakan syarat keselamatan? Apakah keselamatan benar-benar tidak berhubungan perbuatan baik?

Teks kita hari ini merupakan satu kalimat yang cukup panjang. Induk kalimat terletak pada “Dia telah menyelamatkan kita” (3:5a). Bagian-bagian lain hanyalah penjelasan dari beragam aspek yang menerangkan keselamatan tersebut. Dalam teks Yunani, penjelasan-penjelasan ini ditandai dengan sebuah keterangan waktu (3:4) dan beberapa frasa kata depan (3:5b-7). Perhatikanlah bagan berikut ini:

Dia telah menyelamatkan (3:5a)

Keterangan waktu (3:4, hote)

Alasan (3:5b)

Cara (3:5c-6)

Tujuan (3:7)

Untuk memudahkan, bagan di atas dapat dipaparkan sesuai pertanyaan-pertanyaan berikut ini: (1) Kapan kita diselamatkan (3:4)?; (2) Mengapa kita diselamatkan (3:5b)?; (3) Bagaimana kita diselamatkan (3:5c-6); (4) Untuk apa kita diselamatkan (3:7).

Kapan kita diselamatkan (ayat 5a)?

Salah satu keunikan doktrin keselamatan Kristiani adalah aspek masa lampaunya. Kata kerja “menyelamatkan” di ayat 5a berbentuk lampau (“Dia telah menyelamatkan”, esōsen). Poin ini dipertegas dengan penggunaan kata kerja lampau juga di ayat 4 (LAI:TB “nyata” = lit. “telah muncul”, epephanē). Dalam perspektif yang lebih luas, keselamatan kita bahkan sudah dimulai sejak kekekalan. Pengharapan keselamatan kita sudah dijanjikan oleh Allah secara pasti sejak kekekalan (1:2 “sebelum permulaan zaman”).

Jadi, kapankah kita diselamatkan? Yaitu ketika “nyata kemurahan Allah, Juruselamat kita, dan kasih-Nya kepada manusia” (3:4). Dalam teks Yunani, kata kerja epephanē (LAI:TB “nyata”; lit. “telah muncul”) berbentuk orang ke-3 tunggal, padahal subjek dari kata kerja ini ada dua: chrēstotēs (LAI:TB “kemurahan”) dan philanthrōpia (LAI:TB “kasih-Nya kepada manusia”). Tata bahasa semacam ini mendorong kita untuk menafsirkan chrēstotēs dan philanthrōpia sebagai satu kesatuan. Paulus tampaknya tidak membedakan maknanya secara tajam.

Di samping itu, dari sisi arti kata, chrēstotēs dan philanthrōpia memang sama-sama berarti “kebaikan”. Yang berbeda hanyalah aspek yang ingin ditekankan dalam kebaikan itu. Kata chrēstotēs lebih berhubungan dengan dan mencakup kesabaran dan kelapangan hati terhadap orang yang bersalah. Misalnya, Roma 2:4 “Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya (chrēstotēs), kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau tahu, bahwa maksud kemurahan (chrēstos) Allah ialah menuntun engkau kepada pertobatan?” Di sisi lain, kata philanthrōpia lebih mengarah pada keramahan atau pertolongan yang diberikan pada semua orang. Misalnya, penduduk di Pulau Malta adalah orang-orang yang menunjukkan philanthrōpia kepada Paulus dan orang-orang lain di atas kapal (Kis 28:2).

Kata chrēstotēs dan philanthrōpia di Titus 3:4 jelas mengarah pada inkarnasi dan penebusan Yesus Kristus. Pemilik chrēstotēs dan philanthrōpia ini adalah “Allah, Juruselamat kita”, sedangkan kata “Juruselamat” (sōtēr) muncul berkali-kali di surat ini sebagai rujukan pada Yesus Kristus (1:3, 4; 2:10, 13; 3:4, 6). Sebagai contoh, 3:6 menyatakan “yang sudah dilimpahkan-Nya kepada kita oleh Yesus Kristus, Juruselamat kita”. Penebusan Kristus menyatakan kasih-Nya yang besar kepada orang-orang yang sudah selayaknya dihukum sejak dahulu (chrēstotēs), sekaligus kebaikan pada

Jika ini diterima, kita menemukan sebuah hal yang luar biasa di ayat 4: Paulus secara eksplisit menyebut Yesus Kristus sebagai Allah. Dia tidak sedang mengatakan: Allah dan Juruselamat, yang bisa ditafsirkan kedua sebutan ini identik maupun berbeda (tergantung pada fungsi “dan” pada setiap konteks, bdk. 1:4 “Allah Bapa dan Kristus Yesus, Juruselamat kita”; 2:13 “Allah yang Mahabesar dan Juruselamat kita Yesus Kristus”). Tidak ada kata sambung “dan” yang menghubungkan sebutan “Allah” dengan “Juruselamat” di 3:4 (lihat juga 1:3; 2:10).

Mengapa kita diselamatkan? (ayat 5b)

Dalam teks Yunani, ayat 5 tidak dimulai dengan frasa “pada waktu itu Dia telah menyelamatkan kita” (kontra LAI:TB). Frase ini baru muncul sesudah “bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan, tetapi karena rahmat-Nya”. Dengan demikian ayat 5 diawali dengan sebuah negasi: “bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan”. Peletakan semacam ini secara tata bahasa Yunani jelas menyiratkan sebuah penekanan.

Hal ini merupakan sesuatu yang sangat menarik. Seperti sudah disinggung sebelumnya, surat ini sarat dengan nasihat untuk berbuat baik. Perbuatan baik merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan Kristiani. Walaupun demikian, kita tidak boleh menempatkan nilai pentingnya secara berlebihan. Perbuatan baik bukanlah syarat keselamatan. Bukan alasan bagi keselamatan.

Pemunculan subjek eksplisit “kita” (hēmeis) dalam frasa “bukan karena perbuatan baik yang telah kita lakukan” berguna sebagai sebuah penegasan, karena secara tata bahasa subjek seperti ini tidak terlalu diperlukan. Jika muncul secara eksplisit berarti bertujuan sebagai penekanan.

Penekanan yang bersifat membandingkan (lihat kata sambung “tetapi” di ayat 5b). Ada perbuatan baik kita. Ada pula kemurahan Allah. Yang menjadi alasan keselamatan bukan yang pertama (kebaikan manusia), melainkan yang kedua (kebaikan Allah). Hal ini selaras dengan ayat 4 yang menjelaskan bahwa keselamatan terjadi ketika kemurahan dan kebaikan Allah dinyatakan kepada kita.

Seandainya perbuatan baik manusia sudah memadai sebagai landasan keselamatan, Allah tidak perlu memberikan rahmat-Nya. Fakta bahwa kita membutuhkan rahmat Allah untuk keselamatan membuktikan kesia-siaan perbuatan baik. Tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkan dirinya dari hukuman Allah melalui perbuatan baik. Hanya rahmat-Nya yang menjadi pangkal selamat.

Bagaimana kita diselamatkan (ayat 5c-6)?

Kata depan Yunani dia yang mengawali bagian ini menyiratkan sebuah sarana. Kebaikan Allah bukan sekadar konsep yang abstrak. Kebaikan ini juga bersifat praktis. Allah ingin agar kita bukan hanya mengerti, tetapi juga mengalami kebaikan ilahi. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Melalui karya Roh Kudus.

Roh melahirbarukan dan memperbarui kita (ayat 5c). Ide tentang pemandian (lit. “pembasuhan”), kelahiran baru, dan pembaruan menyiratkan keadaan lama yang kotor dan mengandung kematian. Itulah keadaan kita sebelumnya.

Karya Roh Kudus ini tidak didasarkan pada perbuatan kita. Pelimpahan Roh kepada kita dilakukan “oleh [dia] Yesus Kristus, Juruselamat kita” (ayat 6b). Banyak versi dengan tepat memilih terjemahan “melalui”, bukan “oleh”. Kata sambung dia sudah muncul di ayat 5c dengan arti “melalui”, sehingga demi konsistensi kita seyogyanya mempertahankan terjemahan yang sama di ayat 6b. Dengan demikian, kita menerima pelimpahan Roh Kudus dari Allah (Bapa) melalui karya Yesus Kristus. Bukan melalui iman kita, apalagi melalui perbuatan baik kita. Karya Kristus di kayu salib bagi orang-orang pilihan adalah dasar dari pelimpahan Roh Kudus. Allah memastikan bahwa orang-orang pilihan yang baginya Kristus mati akan menerima manfaat penebusan itu. Hal ini dilakukan oleh Allah melalui karya Roh Kudus.         

Untuk menegaskan aspek kebaikan Allah dalam proses ini Paulus menggunakan frasa “yang Dia curahkan atas kita dengan limpahnya” (terjemahan hurufiah, lihat mayoritas versi Inggris). “Atas kita” (eph’ hēmas) menyiratkan sumber, yaitu dari Allah atas kita. Kita di bawah, Allah di atas. Kata keterangan “limpahnya” (plousiō) menunjukkan kuantitas yang besar. Bukan sekadarnya. Bukan secukupnya. Melimpah.

Untuk apa kita diselamatkan (ayat 7)?

Ayat ini dimulai dengan kata sambung hina yang menyiratkan sebuah tujuan. Keselamatan dari Allah Tritunggal dimaksudkan supaya kita “berhak menerima hidup yang kekal, sesuai dengan pengharapan kita” (LAI:TB). Terjemahan ini bisa sedikit membingungkan. Kata “berhak” menyiratkan usaha atau posisi kita yang menjadi landasan kehidupan kekal, padahal di ayat yang sama Paulus menekankan “sebagai orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya” (ayat 7a). Kehidupan kekal bukanlah hak kita seolah-olah kita berjasa di dalamnya.

Secara hurufiah, ayat 7b berbunyi: “supaya kita menjadi ahli waris menurut pengharapan kehidupan kekal”. Yang ditekankan adalah status kita sebagai anak-anak Allah atau ahli waris. Status inilah yang membuat kita “berhak” menerima warisan kehidupan kekal. Berhak bukan karena jasa (usaha kita), melainkan status (yang diberikan Allah kepada kita). Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko