Semua orang Kristen mungkin akan mengamini bahwa kasih Allah teramat besar. Bahkan kasih itu masih terlalu cukup untuk semua manusia yang pernah hidup di muka bumi ini. “Kasih Allah sangat besar dan tak dapat dilukiskan,” begitu bunyi sebuah hymne.
Sayangnya, kita sendiri kadangkala tanpa disadari justru mengerdilkan kasih itu. Kita berpikir bahwa objek kasih Allah hanyalah manusia. Ini merupakan kesalahan yang serius. Objek kasih-Nya jauh lebih besar daripada manusia. Objek kasih Allah adalah semesta. Seluruh dunia dan ciptaan-Nya.
Pengabaian terhadap kebenaran ini telah dibayar begitu mahal. Beberapa pengusaha Kristen mengeksploitasi alam tanpa memikirkan dampak buruk bagi lingkungan. Orang-orang Kristen yang lain tidak terlalu memikirkan dan melibatkan diri dalam pelestarian alam.
Teks kita hari ini merupakan sebuah pengingat dan nasihat agar kita mengasihi seluruh ciptaan sama seperti Allah mengasihi mereka. TUHAN, Allah yang kita sembah, bahkan mengungkapkan kepeduliannya terhadap seluruh ciptaan dengan ungkapan yang begitu serius. Ia membuat perjanjian dengan manusia dan seluruh ciptaan.
Istilah “perjanjian” muncul tujuh kali dalam bagian ini (ayat 9, 11, 12, 13, 15, 16, 17). Pemunculan yang sangat banyak ini menyiratkan sebuah penegasan. Bagi para pembaca Alkitab zaman dahulu, istilah “perjanjian” terdengar jauh lebih serius daripada istilah yang sama di telinga orang zaman sekarang. Sebuah perjanjian kuno jauh lebih mengikat. Nasib, reputasi, dan identitas seseorang terlekat kuat dalam perjanjian-perjanjian tertentu, entah itu perjanjian perang/damai, pernikahan, perdagangan, dan yang lain. Perjanjian bukan hanya bersifat legal, melainkan spiritual. Ada nama Allah atau dewa tertentu yang disertakan sebagai saksi dan penjamin.
Cakupan perjanjian yang universal dinyatakan secara jelas dan berulang kali. Ungkapan “dengan segala makhluk hidup” disebutkan lima kali (ayat 10, 12, 15, 16, 17). Pada pemunculan yang pertama, ungkapan ini diberi penjelasan secara gamblang: “burung-burung, ternak dan binatang-binatang liar di bumi yang bersama-sama dengan kamu, segala yang keluar dari bahtera itu, segala binatang di bumi” (ayat 10). Universalitas ini semakin kentara melalui pemunculan kata “bumi” yang juga berulang-ulang dalam bagian ini (ayat 10, 11, 13, 14, 16, 17).
Alasan di balik perjanjian
Sekilas jenis perjanjian dalam bagian ini terasa agak kurang lazim dalam Alkitab. Allah biasanya hanya mengadakan perjanjian dengan manusia, entah itu suatu bangsa atau tokoh tertentu. Kali ini Ia menyertakan bumi dan segala makhluk di dalamnya. Perjanjian ilahi juga biasanya lebih bersifat rohaniah. Kali ini isi perjanjian itu tampaknya lebih jasmaniah.
Mengapa Allah perlu mengikatkan diri-Nya ke dalam sebuah perjanjian seperti ini? Tidak ada alasan eksplisit yang dicantumkan dalam teks. Namun, dari pembacaan secara naratif kita dapat menangkap dua alasan penting.
Yang paling utama, Allah ingin menghilangkan ketakutan manusia terhadap hujan. Pada zaman sebelum air bah, manusia tampaknya tidak mengenal hujan. Seluruh dunia berada dalam iklim yang relatif seragam, yaitu semi-tropikal. Tanah bisa subur karena ada kabut (2:5-6). Situasi ini berubah secara drastis pada masa penghukuman air bah. Allah membuka pintu samudera raya dan tingkap air di langit (7:11-12).
Jika memang benar bahwa hujan hebat dalam hukuman air bah merupakan hujan pertama yang disaksikan oleh manusia, bisa dibayangkan betapa traumatis perasaan Nuh dan keluarganya apabila mereka menyaksikan hujan yang lain. Ditambah dengan perubahan iklim global pasca air bah yang membuat bumi lebih sering diguyur hujan, Nuh benar-benar membutuhkan rasa aman yang lebih. Allah mengenal perasaan takut ini. Pelangi yang muncul sehabis hujan merupakan jaminan ilahi bahwa hujan tidak akan seburuk sebelumnya. Allah tidak akan memusnahkan manusia maupun makhluk hidup lain dengan menggunakan air bah.
Jaminan perlindungan dari hukuman ilahi ini selaras dengan ide perlindungan yang sudah muncul di bagian sebelumnya. Allah melindungi manusia dari binatang buas dengan cara memberikan ketakutan dalam diri binatang terhadap manusia (9:2). Artinya, manusia diberi kemampuan dan jaminan untuk mengatur binatang. Allah juga memberi perlindungan bagi manusia dari ancaman sesamanya. Ia menetapkan pembalasan atas setiap pembunuhan, baik yang dilakukan oleh binatang maupun oleh orang lain (9:5-6). Kali ini, Allah memberi perlindungan bagi manusia dari diri-Nya sendiri. Ia tidak akan memusnahkan manusia lagi (9:11, 15). Allah ingin menegaskan kepada Nuh dan keturunannya bahwa Dia bukanlah sosok yang menakutkan. Hukuman hebat yang ditimpakan-Nya bukan disebabkan oleh kodrat-Nya yang penuh murka, melainkan karena dosa-dosa ciptaan yang begitu fatal.
Untuk meneguhkan perlindungan ini, Allah memberikan pelangi. Menariknya, istilah “pelangi” sendiri tidak muncul di bagian ini. Apa yang kita pahami sebagai pelangi merupakan busur ilahi (9:13, 14, 16). Yang dirujuk memang sama (Yeh 1:28), tetapi makna di baliknya berbeda. Berdasarkan kisah-kisah mitologis di Timur Dekat Kuno, ungkapan “Aku akan menaruh busur-Ku di langit” menyampaikan sebuah pesan bahwa Allah telah memutuskan untuk berhenti berperang. Ia tidak lagi menarik busur-Nya untuk membuka tingkap langit maupun pintu samudera raya. Ia tidak lagi memerangi umat manusia dan segala binatang.
Alasan kedua di balik perjanjian universal di ayat 8-17 adalah Allah ingin menjaga kelestarian binatang dan alam. Di awal pasal 9 ini terkesan bahwa manusia adalah segala-galanya. Binatang-binatang akan tunduk pada manusia (ayat 2). Semua diserahkan ke dalam tangan manusia. Binatang-binatang menjadi bahan makanan manusia (ayat 3). Setiap binatang yang memangsa manusia juga dituntut balik oleh Allah (ayat 5). Semua ini, jika tidak dicermati dan dipahami dengan baik, dapat menimbulkan kesan bahwa manusia boleh berbuat semena-mena terhadap binatang maupun alam.
Perjanjian yang Allah buat di ayat 8-17 menampik semua kesan keliru ini. Sama seperti manusia, binatang dan alam juga menjadi objek kasih Allah. Dia menjamin kelestarian semuanya. Sikap ini sekaligus mengajarkan Nuh dan keturunannya untuk melakukan hal yang sama. Manusia terpanggil untuk memenuhi dan menguasai bumi (9:1, 7; bdk. 1:26-28), bukan mengeksploitasi maupun merusaknya.
Karakteristik perjanjian Allah
Allah tidak hanya mengikatkan diri-Nya ke dalam sebuah perjanjian dengan seluruh ciptaan-Nya. Ia juga melakukan tindakan ini dengan cara yang khas. Semua karakteristik perjanjian yang ada dalam kisah ini menegaskan kebaikan dan kasih Allah atas seluruh ciptaan.
Pertama, perjanjian ini bersifat unilateral. Artinya, hanya satu arah atau satu pihak. Sebuah perjanjian umumnya dilakukan atau mengikat dua pihak (bilateral) atau lebih (multilateral). Bukan perjanjian seperti itu yang kita temukan di Kejadian 9:8-17.
Allah merupakan inisiator perjanjian. Perjanjian ini bukan hasil musyawarah atau kesepakatan antara Allah dan ciptaan-Nya. Bagian ini bahkan tidak menyebutkan tanggung-jawab manusia sama sekali. Dari awal sampai akhir hanya ada Allah. Perjanjian yang ini tidak bersifat timbal-balik.
Kedua, perjanjian ini bersifat tanpa syarat. Perjanjian dibuat bukan karena Allah melihat bahwa kerohanian manusia akan menjadi lebih baik pasca air bah. Sama sekali tidak. Manusia tetap dikuasai oleh kejahatan (6:5; 8:21). Kemabukan Nuh dan respons Ham yang tidak pantas merupakan bukti eksplisit tentang hal ini (9:21-22). Manusia tidak menjadi lebih baik. Puji Tuhan, Allah memang tidak menunggu manusia menjadi lebih baik baru Ia mengadakan perjanjian. Ia mengambil insiatif dan mengikatkan diri-Nya ke dalam perjanjian tanpa syarat.
Ketiga, perjanjian ini bersifat permanen. Sebuah perjanjian bisa terancam batal atau tidak sah apabila salah satu pihak melanggar kesepakatan di dalamnya. Jadi, tidak semua perjanjian adalah permanen.
Tidak demikian halnya dengan Allah. Ia yang mengadakan perjanjian (ayat 9, 11). Kata “mengadakan” di sini secara hurufiah berarti “menegakkan” (versi Inggris “establish”), sehingga lebih mengesankan sesuatu yang kokoh. Perjanjian ini untuk Nuh dan segala keturunannya (ayat 9). Perjanjian ini adalah turun-menurun sampai selama-lamanya (ayat 12, 16). Walaupun “selama-lamanya” (ayat 12) maupun “kekal” (ayat 16) dalam konteks ini bukan seperti yang biasanya kita pikirkan, tetapi makna permanensi dalam ungkapan ini tetap tidak terelakkan. Tidak akan ada apapun yang bisa membatalkan perjanjian ini. Selama bumi masih ada, Allah tidak akan memusnahkannya dengan air bah lagi.
Penggenapan penuh dalam konteks eskhatologis
Janji untuk tidak menghancurkan bumi dengan air bah bukan berarti bahwa bumi yang sekarang ini tidak akan musnah dengan instrumen yang lain. Petrus menyinggung tentang pemusnahan bumi di akhir zaman melalui api (2 Pet 3:7, 10). Langit dan bumi yang sekarang akan berlalu (Why 21:1).
Walaupun demikian, tidak berarti Allah mengabaikan ciptaan-Nya. Penggambaran surga sebagai “langit dan bumi yang baru” (Why 21:1) menyiratkan hasrat Allah yang besar terhadap ciptaan-Nya. Kehidupan di bawah pemerintahan Mesias tidak lain merupakan pemulihan segala sesuatu (Yes 11:6-9). Seluruh bumi akan dipenuhi oleh pengenalan terhadap Allah dan kemuliaan-Nya (Yes 11:9; Hab 2:14).
Jika Allah sedemikian memperhatikan seluruh ciptaan, sudah sepatutnya apabila orang-orang Kristen juga melibatkan diri secara aktif dalam pelestarian alam. Segala kebiasaan dan tindakan yang merusak lingkungan harus dihindari dan dihentikan. Bumi ini bukan sesuatu yang sekuler. Seluruh bumi adalah sakral karena telah disentuh oleh kasih Allah. Bumi memang bukan Allah, tetapi tetap sebagai objek kasih Allah. Soli Deo Gloria.