Kasih Yang Mempersatukan (Kolose 3:12-14)

Posted on 03/12/2017 | In Teaching | Leave a comment

Kekristenan adalah ajaran yang bersifat komunal. Sebuah komunitas iman. Beragam gambaran digunakan untuk menerangkan hal ini: umat perjanjian, tubuh Kristus, dan sebagainya.

Konsep tentang “orang Kristen penyendiri” merupakan hal yang asing dalam kekristenan. Paulus bahkan menentang orang-orang tertentu yang sengaja hidup menyendiri, menjauhkan diri dari kehidupan nyata, dan berkanjang pada hal-hal di dunia roh (2:16-23). Kekristenan bukan agama yang abstrak dan mengambang.

Dengan kata lain, relasi horizontal memegang peranan cukup sentral. Dalam konteks komunal inilah iman dipraktikkan. Pertanyaannya, apakah yang bisa menjadi pengikat dari semua elemen komunal ini? Apa yang harus ada sebagai dasar kebersamaan? Kristus! Itulah jawabannya. Kristus adalah semua dan di dalam semua (3:11b).

Melalui Kolose 3:12-14 Paulus mengajarkan dua dasar kebersamaan. Yang pertama adalah status di dalam Kristus. Yang kedua adalah kasih Kristus. Tanpa dua hal ini kebersamaan hanyalah sebuah perkumpulan. Kesatuan hanyalah kesamaan.

Status di dalam Kristus (ayat 12-13)

Sebelum menasihatkan apa yang harus dilakukan oleh setiap orang Kristen dalam komunitas mereka (ayat 12b-13), Paulus lebih dahulu mengingatkan mereka tentang siapa mereka (ayat 12a). Siapa kita di hadapan Allah seharusnya mempengaruhi apa yang kita lakukan di depan sesama. Pendeknya, status mendahului dan menentukan perilaku.

Ada tiga sebutan yang Paulus singgung di sini. Kita adalah orang-orang pilihan, orang-orang kudus, dan orang-orang yang dikasihi oleh Allah. Tiga poin ini sangat berkaitan erat. Kita dipilih berdasarkan kasih-Nya supaya kita menjadi kudus. Dalam Efesus 1:4-5 Paulus mengajarkan: “Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya”.

Di antara tiga sebutan di Kolose 3:12a, penekanan tampaknya diletakkan pada yang terakhir (“yang dikasihi-Nya”). Dari sisi tata bahasa, sebutan ini satu-satunya yang tidak berbentuk kata sifat (partisip ēgapēmenoi). Dari sisi konteks, topik pembicaraan memang lebih ke arah kasih. Dari sisi urutan kata dalam kalimat, ēgapēmenoi mungkin sengaja diletakkan terakhir supaya langsung menyambung dengan nasihat untuk mengasihi satu sama lain di ayat 12b.

Paulus menasihati jemaat di Kolose untuk mengenakan belas kasihan, kemurahan, kerendahhatian, kelemahlembutan dan kesabaran. Kata “mengenakan” (endynō) menyiratkan sebuah perubahan (3:9). Sama seperti kita mengenakan pakaian yang baru setiap hari, demikian pula kita “mengenakan manusia baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (3:10). Proses menanggalkan (kehidupan lama) dan mengenakan (kehidupan baru) merupakan peristiwa yang sudah, sedang, dan akan terus-menerus terjadi dalam diri kita. Ini bagian dari proses pengudusan yang sudah dimulai oleh Kristus dan diaplikasikan oleh Roh Kudus dalam hidup kita.

Yang harus dikenakan adalah belas kasihan, kemurahan, kerendahhatian, kelemahlembutan dan kesabaran (LAI:TB). Di antara semuanya ini, yang perlu diperjelas artinya adalah kemurahan. Sesuai dengan teks Yunani, kata chrēstotēs seharusnya diterjemahkan “kebaikan”. Semua ini diperlukan untuk membangun sebuah relasi horizontal yang kokoh.

Di ayat selanjutnya (ayat 13) Paulus menjelaskan dua wujud konkrit bagaimana mengenakan semua aspek kebaikan di atas. Sayangnya, makna ini tidak terlalu terlihat dalam terjemahan Indonesia. Penerjemah LAI:TB seolah-olah memperlakukan ayat ini sebagai kalimat yang baru dan sejajar dengan ayat sebelumnya. Sesuai teks Yunani, ayat 13 merupakan anak kalimat yang menerangkan ayat 12 (partisip anechomenoi dan charizomenoi). Maksudnya, sabar dan mengampuni orang lain merupakan wujud konkrit dari mengenakan belas kasihan, kebaikan, kerendahhatian, kelemahlembutan dan kesabaran.

Penjelasan di atas penting untuk digarisbawahi. Belas kasihan, kebaikan, kerendahhatian, kelemahlembutan dan kesabaran bukan sekadar perasaan. Bukan pula sekadar sebuah pemikiran yang agung. Ada tindakan konkrit yang harus menyertainya. Bersabar terhadap orang lain dan mengampuni orang itu merupakan buktinya.

Di samping itu, semua itu baru teruji di dalam sebuah situasi yang tidak mengenakan, yaitu “apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain” (LAI:TB). Terjemahan yang lebih tepat untuk momphē adalah “keluhan” atau “tuduhan” (mayoritas versi Inggris). Pendeknya, apapun yang bisa memicu pertengkaran.

Dalam sebuah komunitas apapun, gesekan kadangkala tidak terelakkan. Berharap agar orang lain tidak melakukan kesalahan kepada kita bukanlah keinginan yang bijaksana. Yang penting bukan apa yang terjadi, melainkan bagaimana merespons apa yang terjadi. Kesalahan memang tak terelakkan, tetapi pertikaian bisa dihindarkan.

Kuncinya terletak pada kemauan kita untuk bersabar dan mengampuni orang lain. Bersabar berarti siap menerima perbedaan dan tidak meributkan hal-hal yang kurang esensial. Belajar lebih toleran terhadap hal-hal yang superfisial. Belajar untuk merengkuh perbedaan. Belajar merayakan ketidaksetujuan. Mengampuni berarti siap menerima kesalahan orang lain. Pengampunan diberikan pada saat orang lain melakukan kesalahan, tidak menunggu sampai orang itu meminta maaf. Mengampuni ditentukan oleh kualitas diri sendiri, bukan tindakan orang lain.

Dua hal ini – bersabar dan mengampuni – sebenarnya bukan hal yang mustahil untuk dilakukan. Bukan juga sebuah teori yang rumit. Ini adalah sebuah pengalaman, sebagaimana yang dikatakan oleh Paulus: “sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu” (ayat 13b). Semakin besar kesadaran kita tentang dosa-dosa kita, semakin besar kesadaran kita tentang anugerah Allah yang menutupi dosa-dosa itu. Semakin besar kesadaran kita tentang anugerah Allah, semakin mudah bagi kita untuk menunjukkan kesabaran dan pengampunan kepada orang lain yang melakukan kesalahan terhadap kita. Sekali lagi, penentunya terletak pada diri kita. Sudahkah kita mengalami dan menyadari betapa besar anugerah-Nya bagi kita?

Kasih Kristus (ayat 14)

Sesuai teks Yunani, kata “kasih” di sini merujuk pada kasih yang tertentu (ada artikel di depan kata agapē). Walaupun kata agapē bisa merujuk pada beragam jenis kasih, dalam konteks ini kita sebaiknya memahaminya sebagai kasih Kristus. Ada banyak dukungan bagi dugaan ini. Keseluruhan konteks Kolose 3 menempatkan Kristus sebagai “semua di dalam semua”. Ayat 13 juga sudah menyinggung tentang pengampunan Kristus bagi kita. Lagipula, ayat-ayat selanjutnya pun berbicara tentang “damai sejahtera Kristus (ayat 15), “perkataan Kristus” (ayat 16), “nama Tuhan Yesus” (ayat 17). Semuanya tentang Kristus!

Yang paling penting, jika agapē di ayat 14 dipahami sebagai kasih manusia (kasih kita kepada orang lain), kita akan mengalami kesulitan memahami perkataan Paulus: “Dan di atas semuanya itu: kenakanlah kasih”. Bukankah belas kasihan, kebaikan, kerendahhatian, kelemahlembutan, dan kesabaran merupakan perwujudan kasih? Mengapa kasih perlu disendirikan? Keutamaan kasih dibandingkan semuanya ini menyiratkan bahwa Paulus sedang membicarakan tentang kasih Kristus.

Kasih itulah yang mampu berfungsi sebagai “pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan” (ayat 14b). Secara hurufiah frasa syndesmos tēs teleiotētos berarti “pengikat kesempurnaan” (KJV). Walaupun demikian, tidak salah apabila mayoritas penerjemah memahami kesempurnaan ini dalam kaitan dengan kesatuan atau keharmonisan antar jemaat (RSV/ESV “perfect harmony”; NASB/NIV “perfect unity”).

Ungkapan “pengikat kesempurnaan” menunjukkan bahwa kasih manusia tidak akan pernah cukup untuk menciptakan keharmonisan atau kesatuan yang sempurna. Masing-masing orang hanya bisa menyodorkan kasih yang tidak sempurna. Terbatas oleh waktu. Terbatas oleh kualitas kesalahan orang lain. Terbatas oleh kepribadian masing-masing orang. Terbatas oleh banyak hal. Namun, hal ini bukanlah alasan untuk menyerah. Kesatuan yang sempurna bukanlah sebuah impian belaka. Semua kasih manusia yang tidak sempurna ini pada akhirnya perlu terus-menerus diikat oleh kasih Kristus. Hanya dengan jalan demikianlah, kita akan menemukan kesatuan yang sempurna.

Maukah masing-masing kita mengejar kesatuan yang sempurna ini? Maukah kita menempatkan Kristus sebagai poros dan elemen paling penting dalam komunitas kita? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko