Kasih Yang Memberi Harapan (Ratapan 3:21-24)

Posted on 01/01/2017 | In Teaching | Leave a comment

Tahun 2016 baru saja kita lalui. Beberapa di antara kita mungkin menganggap tahun lalu sebagai salah satu tahun yang terberat dalam hidup kita. Kita bahkan tidak berani menapaki tahun baru ini dengan sukacita dan pengharapan. Kita takut kecewa lagi. Kita takut gagal lagi. Masih adakah alasan untuk menyongsong tahun baru ini dengan rasa optimis yang benar dan besar? 

Latar belakang historis

Ratapan 3 merupakan salah satu teks terindah. Seluruh bagian ini berbentuk akrostis. Artinya, setiap ayat dimulai dengan abjad Ibrani yang urut. Satu huruf menempati tiga ayat. Keindahan struktur ini juga dibalut dengan kosa kata dan ungkapan yang puitis dan menawan.

Sayangnya, keindahan sastra di atas tidak dibarengi dengan keindahan nasib penulisnya (Yeremia) maupun bangsa Yehuda. Puisi yang begitu indah ini justru ditulis di tengah keterpurukan Yeremia dan bangsa Yehuda. Puisi ini muncul sebagai respons terhadap pembuangan bangsa Yehuda ke Babel.

Secara pribadi situasi ini sangat berat bagi Yeremia (3:1-19). Bertahun-tahun ia memberitakan kebenaran dan peringatan ilahi, tetapi tidak ada respons positif dari bangsa Yehuda. Mereka bahkan menentang dan menganiaya Yeremia. Pada akhirnya mereka benar-benar dihukum oleh Tuhan. Yeremia mungkin merasa semua pelayanannya tidak ada hasilnya sama sekali.

Bagi bangsa Yehuda secara umum, situasi ini jelas begitu menekan. Orang-orang Yehuda yang masih tersisa di tanah perjanjian menghadapi kelaparan yang hebat. Entah berapa ribu orang yang sudah mati karena peperangan dan kelapatan. Mereka kehilangan kota Yerusalem, tanah perjanjian, dan bait Allah di dalamnya (1:1, 4, 6, 10; 2:4-5, 13). Apa yang mereka banggakan telah hilang. Lenyap sudah semua kegemilangan dan nama besar Yerusalem. Sunyi senyap tanah perjanjian ditinggalkan oleh penduduknya. Musnah sudah keindahan, kemegahan, dan kekokohan bait Allah. Bagi bangsa Yehuda, kehilangan Yerusalem, tanah perjanjian, dan bait Allah merupakan penderitaan yang tak terlukiskan. Dunia seakan-akan runtuh di depan mereka.

Sebagai bagian dari bangsa Yehuda, Yeremia memahami kepedihan yang sedang terjadi. Setiap kali ia mengingat keadaan dirinya dan bangsanya, ia selalu diliputi oleh kesedihan yang mendalam. Celakanya, ia tidak mampu mengalihkan pikirannya dari semua kemelut tersebut. Ia berkata, “Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan di dalam diriku” (3:20). Sesuai dengan perkataan TUHAN, situasi ini akan tetap berlangsung selama 70 tahun (Yer 25:11; 29:10). Sesudah lewat masa 70 tahun pembuangan ke Babel, TUHAN baru akan memulihkan keadaan bangsa Yehuda.

Cara pandang yang baru

Situasi hidup mungkin baru berubah sesudah masa yang panjang, namun ada satu perubahan yang harus segera terjadi, yaitu perubahan cara pandang. Ayat 20 dan 21 mengajarkan bahwa situasi yang sama dapat dilihat dari kacamata yang berbeda. Perbedaan cara pandang ini pada gilirannya akan mempengaruhi kehidupan orang yang memandangnya. Di ayat 20 pikiran Yeremia terfokus pada masalahnya. Dia selalu mengingat keadaannya. Tidak heran, ia terbelenggu dengan kepedihan dan keputusasaan. Di ayat 21 Yeremia mengambil pilihan yang tepat. Ia memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan Allah, bukan persoalannya.

Kata kerja “kuperhatikan” dalam teks Ibrani mengandung arti “kukembalikan”. Dikembalikannya adalah pada lēb, yang dalam versi Inggris diterjemahkan “hati” (YLT) atau “pikiran” (ASV/KJV/NASB/NIV/RSV/ESV). Jika kita mengambil terjemahan “hati,” seperti dalam Septuaginta (LXX), kita dapat menerjemahkan ayat 21a sebagai berikut: “hal ini aku kembalikan ke dalam hati”.

Ungkapan ini menyiratkan bahwa Yeremia telah mengisi hatinya dengan hal-hal yang lain. Hatinya begitu dikuasai oleh persoalan diri dan kemalangan bangsa Yehuda, sehingga hidupnya diwarnai oleh kepedihan. Sekarang ia memutuskan untuk mengisi hatinya dengan kebenaran ilahi. Kebenaran ini sempat terlupakan, namun sekarang dikembalikan lagi ke hatinya.

Pada saat perubahan cara pandang ini terjadi, suasana hati Yeremia juga berubah. Ia tidak lagi tertekan (3:20b). Sekarang ia berani berharap (2:20b). Bukan hanya ia “akan berharap” (LAI:TB), tetapi ia “memiliki pengharapan” (mayoritas versi “I have hope”). Pengharapan ini bersifat pasti.

Cara pandang seperti apa yang membuat kita mampu berharap?

Pertama, keadaan kita bisa lebih buruk daripada sekarang (ayat 22a). Penerjemah LAI:TB menerjemahkan bagian ini dengan “Tak berkesudahan kasih setia TUHAN” (juga NASB/RSV/ESV). Terjemahan ini mengasumsikan bahwa subjek dari kata kerja “tak berkesudahan” adalah kasih setia TUHAN. Jika dilihat dari teks Ibrani yang ada, terjemahan ini sedikit meragukan. Subjek dari kata kerja “tak berkesudahan” (lō’-ţāmnû) adalah orang pertama jamak (“kami”). Berdasarkan pertimbangan ini, sebagian versi Alkitab yang lain memilih terjemahan: “oleh karena kasih setia TUHAN, kami tidak habis” (KJV/ASV/NIV).

Seturut dengan terjemahan terakhir ini, kita dapat menyimpulkan bahwa kehancuran Yerusalem dan bait Allah serta pembuangan ke Babel bukanlah situasi yang terburuk yang bisa dipikirkan oleh bangsa Yehuda. TUHAN bisa saja menghukum mereka secara lebih hebat, yaitu dengan memusnahkan mereka seluruhnya. Allah bisa saja memutuskan perjanjian dengan bangsa Yehuda dan memilih bangsa lain sebagai pengganti. Bukankah mereka bangsa yang selalu tegar-tengkuk? Berlebihankah apabila Allah menghabisi mereka semua dari muka bumi ini? Bukankah Allah memilih mereka berdasarkan kasih-Nya? Berlebihankah jika Ia memberikan kasih-Nya kepada bangsa lain? Tentu saja tidak!

Kita acap kali mengeluh karena kita membandingkan keadaan kita sekarang dengan keadaan yang ideal atau keadaan orang lain yang lebih baik. Kita lupa merenungkan bahwa keadaan kita bisa saja lebih buruk daripada sekarang. Allah bisa saja menghancurkan hidup kita karena segala dosa dan kejahatan kita. Kenyataannya, Ia masih menyisakan begitu banyak alasan bagi kita untuk mengucap syukur. Adakah hal-hal positif dalam hidup kita yang seringkali kita abaikan dan lupa untuk disyukuri?

Kedua, kebaikan Allah tidak pernah berhenti dalam hidup kita (ayat 22-23). Yeremia menggunakan tiga kata yang maknanya sangat berdekatan (LAI:TB “kasih setia, rahmat, dan kesetiaan”). Semua kata ini merujuk pada kebaikan Allah, walaupun aspek yang ditekankan berbeda-beda. Kata khesed (LAI:TB “kasih setia”) biasanya digunakan untuk kesetiaan Allah atas perjanjian-Nya. Ini adalah kasih dalam konteks perjanjian. Kata “rahmat” (rahămîm) dapat diidentikkan dengan belas kasihan atas orang berdosa atau orang yang menderita. Kata “kesetiaan” (’ĕmûnâh) lebih mengarah pada kepastian atau keteguhan dalam melakukan sesuatu. Makna di balik kata ’ĕmûnâh cenderung lebih luas daripada kata khesed. Melalui penggunaan tiga kata yang nyaris sinonim ini, Yeremia berniat untuk menegaskan keutamaan kebaikan Allah.

Kasih setia Allah menjamin bahwa perjanjian dengan umat-Nya akan terus ada. Allah tidak akan membatalkan perjanjian. Rahmat-Nya memastikan bahwa umat Allah yang berdosa tetap mengalami kebaikan-Nya. Kesetiaan-Nya merupakan sauh yang kuat untuk menyandarkan hidup kita yang terus bergoncang.

Kebaikan ilahi di atas tidak hanya akan terus ada (ayat 22). Kebaikan itu juga selalu baru tiap pagi (ayat 23). Terus-menerus ada dan selalu baru tiap pagi adalah dua hal yang berbeda. Apa yang terus-menerus belum tentu selalu baru tiap pagi, tetapi apa yang selalu baru tiap pagi berarti terus-menerus ada. Kebaikan Allah mencakup dua hal ini: akan terus-menerus ada, selalu baru tiap pagi. 

Kesadaran tentang kebaikan ilahi ini akan menjadi penghiburan yang teguh, bahkan tatkala dunia ini seakan luruh dan runtuh. Tidak untuk selama-lamanya Allah mengucilkan umat-Nya (3:31). Bahkan pada saat Ia menghajar anak-anak-Nya, Ia melakukan itu dengan penuh sayang dan tangisan (3:32-33). Pendeknya, seperti pemazmur, kita seyogyanya bersyukur kepada-Nya dan berkata: “Tidak dilakukan-Nya kepada kita setimpal dengan dosa kita, dan tidak dibalas-Nya kepada kita setimpal dengan kesalahan kita” (Mzm 103:10).

Ketiga, Allah adalah bagian kita (ayat 24). Ayat ini membuat sebuah inclusio dengan ayat 21. Keduanya sama-sama membicarakan tentang pengharapan. Keduanya sama-sama menyentuh bagian terdalam dalam diri manusia (ayat 21 “hati”; ayat 24 “jiwa”).

Ungkapan “kata jiwaku” di ayat 24 dapat dipahami sebagai sebuah pembicaraan dengan diri sendiri (self-talk). Penerjemah NIV menangkap maksud ini dengan baik pada saat memilih terjemahan: “Aku berkata kepada diriku” (NIV). Dengan terus-menerus mengingatkan diri sendiri bahwa TUhan adalah bagian kita, kita akan selalu dimampukan untuk berharap.

Kata “bagian” (khēleq) di sini seringkali muncul dalam konteks pembagian tanah, harta, atau barang yang lain (Bil 26:53; Mzm 22:19; Ams 16:19), baik melalui undian (Bil 26:53), warisan (Ams 17:2) maupun cara pembagian yang lain (Ams 29:24). Intinya, apa yang dibagikan merupakan milik seseorang sesuai dengan pembagian tersebut. Seseorang tidak perlu merisaukan bagian orang lain. Ia tidak perlu mengingini apa yang bukan menjadi miliknya. Orang lain mendapat bagian yang lain pula.

Pada saat Yeremia mengatakan bahwa TUHAN adalah bagiannya, ia sedang membedakan TUHAN dengan semua pemberian-Nya. TUHAN berbeda dengan berkat-berkat-Nya. Bagian terbaik kita adalah TUHAN sendiri, bukan pemberian-Nya. Sebagian pemberian TUHAN bersifat sementara, misalnya kesehatan, kekayaan, dan keberhasilan. Semua itu dapat hilang karena kecelakaan, kejahatan, atau kesalahan kita sendiri. Hanya satu yang akan terus ada bagi kita, yaitu TUHAN sendiri.

Pada saat menuliskan ratapan ini Yeremia memang tidak memiliki berkat TUHAN apapun. Tanah perjanjian lenyap. Yerusalem rata dengan tanah. Bait Allah tinggal reruntuhan. Tatkala semua berkat ini seakan tak terlihat, masih ada bagian terbaik kita: TUHAN! Soli Deo Gloria.

Hidup memang kadangkala sukar. Namun, kasih sayang TUHAN tidak pernah lekang. Karena itu, bertahanlah dengan tenang dan aman. Ia memastikan bahwa pengharapan kita tidak akan hilang.

Yakub Tri Handoko