Kasih Yang Kekal Bagi Mereka Yang Gagal (Mazmur103:8-18)

Posted on 02/07/2017 | In Teaching | Leave a comment

Mazmur ini bersifat individual maupun komunal, sebagaimana terlihat dari kata ganti orang yang digunakan. Kata “aku” muncul di ayat 1-2, sedangkan kata “kita” di ayat 8-9. Kata ganti “kamu” (ayat 3-5) dan “mereka” (ayat 15-18). Tidak heran, banyak penafsir Alkitab menduga bahwa mazmur ini dinyanyikan dalam konteks ibadah secara bersahut-sahutan. Ada para imam yang memimpin ibadah, ada para penyanyi, ada pula para jemaat.

Cara memuji TUHAN seperti ini tetap dipertahankan dalam Perjanjian Baru. Paulus menasihati jemaat di Efesus: “berkata-katalah seorang kepada yang lain dalam mazmur, kidung puji-pujian dan nyanyian rohani. Bernyanyi dan bersoraklah bagi Tuhan dengan segenap hati” (Ef 5:19). Ada waktunya kita berkata-kata kepada TUHAN. Ada waktunya kita mendengarkan suara TUHAN melalui pujian yang dinaikkan oleh orang lain.

Pujian lebih dari sekadar kesenian. Pujian adalah sarana pembelajaran. Ada banyak pemikiran theologis di dalamnya. Bukan hanya sarana; pujian adalah sarana yang efektif. Benarlah yang dikatakan oleh Warren Wiersbe jemaat lebih banyak belajar theologi melalui pujian daripada khotbah. Tanpa disadari, beragam konsep theologis (entah benar atau salah) disampaikan secara efektif melalui pujian.

Mazmur 103 juga merupakan sebuah pujian yang sarat dengan pengajaran. Melaluinya kita dapat mengenal siapa Allah dan siapa manusia. Dalam khotbah kali ini kita hanya akan berfokus pada kasih TUHAN di ayat 8-18.

Analisa konteks (ayat 7)

Apa yang dinyanyikan di ayat 8-18 tidak dapat dipisahkan dari ayat 7 “Ia telah memperkenalkan jalan-jalan-Nya kepada Musa, perbuatan-perbuatan-kepada orang Israel”. Teks ini merujuk balik pada sebuah episode dalam perjalanan bangsa Israel di padang gurun. Secara khusus, peristiwa yang dimaksud adalah kegagalan bangsa Israel di pdang gurun pada saat mereka menyembah anak lembu emas (Kel 32). Sesudah TUHAN tidak jadi membinasakan bangsa Israel, Musa berkata kepada TUHAN: “Maka sekarang, jika aku kiranya mendapat kasih karunia di hadapan-Mu, beritahukanlah kiranya jalan-Mu kepadaku, sehingga aku mengenal Engkau, supaya aku tetap mendapat kasih karunia di hadapan-Mu. Ingatlah, bahwa bangsa ini umat-Mu” (Kel 33:13). Sebagai respons terhadap permohonan ini, TUHAN “telah memperkenalkan jalan-jalan-Nya kepada Musa” (Mzm 103:7a).

Alasan lain untuk menghubungkan Mazmur 103:8-18 dengan penyembahan lembu emas adalah ayat 8. Dalam ayat ini disebutkan: “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia”. Kalimat yang sama diucapkan oleh TUHAN pada saat Dia menunjukkan kemuliaan di hadapan Musa: “TUHAN, TUHAN, Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar, berlimpah kasih-Nya dan setia-Nya” (Kel 34:6).

Penjelasan ini bermanfaat untuk menunjukkan bahwa dosa dan kesalahan yang dibicarakan di ayat 8-18 bukan sekadar pelanggaran yang sepele. Kebaikan TUHAN yang dikagumi di teks ini bukan hanya berlaku pada hal-hal yang kecil. Sebaliknya, kasih ilahi akan terlihat semakin besar karena menutupi dosa yang sedemikian besar. Dosa kita besar, tetapi lebih besar lagi kasih-Nya bagi kita.

Kasih yang kekal bagi mereka yang gagal (ayat 8-18)

Ide utama dari bagian ini terletak di ayat 8: “TUHAN adalah Allah yang penyayang dan pengasih, panjang sabar, dan berlimpah kasih setia”. Semua sifat yang menunjukkan kebaikan Allah ini ditujukan pada orang-orang yang berdosa (bdk. ayat 7). Kata “penyayang” lebih tepat diterjemahkan “berkemurahan” (misalnya KJV/ASV/ESV/RSV) atau “berbelas-kasihan” (NASB/NIV). Orang yang bersalah atau bermasalah diberi perhatian dan pertolongan. Kata “pengasih” berarti “beranugerah”. Orang yang tidak layak justru diberi sesuatu yang berharga. “Panjang sabar” berarti tidak langsung menghukum. Allah mau menanti dan memberi kesempatan kedua. “Berlimpah kasih setia” mengaitkan kasih Allah dengan perjanjian. Dia setia pada perjanjian-Nya, walaupun bangsa Israel tidak setia.

Di antara semua sifat di atas, yang terakhir (kasih setia) adalah yang paling dominan. Sifat ini muncul berkali-kali di bagian ini (ayat 8, 11, 17). Pelanggaran bangsa Israel tidak membatalkan kesetiaan Allah pada perjanjian-Nya.

Apa saja bentuk konkrit dari semua sifat ilahi tersebut?

Pertama, TUHAN tidak selalu menuntut dan selamanya mendendam (ayat 9). Kata “menuntut” bisa berarti “mencaci” (RSV/ASV/ESV) atau “menuduh” (KJV/NIV). Yang dimaksud mungkin adalah “menentang atau melawan” (NASB). Mata TUHAN terlalu suci untuk melihat dosa, tetapi Dia seringkali memilih untuk menahan diri daripada melawan sang pelanggar.

Senada dengan hal itu, TUHAN juga tidak selamanya mendendam (ayat 9b). Makna yang terkandung di dalam ungkapan ini adalah TUHAN tidak mempertahankan kemarahan-Nya untuk selamanya (lihat semua versi Inggris). Ini bukan tentang dendam, melainkan kemarahan. TUHAN memang beberapa kali marah, tetapi Dia tidak pernah sekalipun mendendam. Kalaupun Dia marah, kemarahan tidak bertahan lama.

Kedua, TUHAN tidak selalu menghukum secara setimpal (ayat 10). Semua kesalahan – tidak peduli sekecil apapun itu – merupakan kesalahan yang serius di mata TUHAN. Kesucian-Nya terlalu sempurna sehingga tidak dapat berkompromi dengan dosa. Setiap dosa harus dihukum. Hukuman apapun yang akan diambil oleh TUHAN, Dia layak dan berhak untuk melakukannya. Walaupun demikian, Dia tidak selalu memberikan hukuman yang setimpal, apalagi maksimal. Jikalau Dia selalu membalas secara setimpal, tidak ada satu manusia pun yang masih pantas untuk hidup. Ingat, kekudusan-Nya terlalu sempurna, bahkan untuk dosa sekecil apapun.

Apakah ini berarti bahwa Allah mengorbankan keadilan-Nya? Bukankah pelanggar harus dihukum setimpal? Sama sekali tidak! Manusia yang tidak sempurna dalam kasih pun menyadari bahwa keadilan seringkali tidak bisa berdiri sendirian. Apa yang dianggap “setimpal” seringkali tidak diberikan. Ada faktor-faktor lain yang patut dipertimbangkan. Misalnya, terdakwa yang menunjukkan kesopanan dan kerjasama selama proses penyidikan biasanya akan mendapatkan keringan hukuman. Begitu pula dengan narapidana yang menjadi teladan di penjara.

Dalam kaitan dengan hukuman TUHAN yang tidak setimpal, faktor yang meringankan bukan terletak pada diri manusia. Hanya kemurahan dan belas-kasihan TUHANlah yang menjadi alasan di balik keringan hukuman itu. Allah berhak melakukan itu. Dia yang membuat hukum. Dia berada di atas hukum. Kalaupun ada yang dirugikan dalam peringanan hukuman itu, bukankah yang dirugikan adalah Allah sendiri? Jadi, jikalau Allah, dalam kasih-Nya, rela “dirugikan”, hal itu tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap keadilan. Ini bisa disamakan dengan seorang korban yang tidak mau mengajukan tuntutan perdata pada orang lain. Tindakan ini tidak melawan hukum.    

Ketiga, TUHAN menjauhkan pelanggaran-pelanggaran kita (ayat 11-12). Dalam istilah Alkitab, pelanggaran seringkali dibedakan dari dosa. Dosa sudah ada sebelum Hukum Taurat diberikan, tetapi dosa itu belum dianggap sebagai pelanggaran, sebagaimana diajarkan Paulus di Roma 5:13 “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (lihat juga Rm 4:15). TUHAN tidak hanya mengampuni dosa, tetapi juga menjauhkan pelanggaran.

Kata “menjauhkan” (LAI:TB) sebenarnya kurang begitu tepat. TUHAN bukan sekadar menjauhkan, melainkan menghilangkan (lihat semua versi Inggris “removed”). Sejauh langit dari bumi (ayat 11) atau sejauh timur dari barat (ayat 12) tidak boleh dipahami secara hurufiah. Ini merupakan bahasa figuratif untuk sesuatu yang tidak terbatas atau tidak terseberangi.

Ungkapan yang mirip dengan ini dapat ditemukan di Yesaya 55:7-9. Sesudah memberitakan belas kasihan dan pengampunan yang limpah bagi mereka yang mau bertobat (ayat 7), TUHAN lantas berkata: “Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (ayat 8-9).

Keempat, TUHAN menerima kita apa adanya (ayat 13-18). Gambaran sebagai “bapa” (ayat 13) mengandung banyak makna sesuai dengan konteks pemunculannya. Dalam teks ini, poin yang disorot tampaknya adalah figur seorang bapa yang mau menerima anak apa adanya, dalam semua keterbatasan dan kelemahan anak itu. Poin ini tersirat dari kata sambung “sebab” di ayat 14: “Sebab Dia sendiri tahu apa kita, Dia ingat, bahwa kita ini debu”.

Ada dua gambaran tentang kehinaan manusia di bagian ini. Manusia seperti  debu (ayat 14). Ini menunjukkan kerendahan dan kesementaraan manusia (Pkt 3:20; 1 Raj 16:2). Manusia seperti bunga di padang gurun (ayat 15-16). Tidak ada orang yang memperhatikan. Apabila angin gurun yang terik menerpa, semua akan binasa.

Betapa kontrasnya kasih setia TUHAN dengan kehinaan manusia! Kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, sedangkan hidup manusia hanya sementara. Kasih setia-Nya mengatasi langit, sedangkan manusia hanyalah makhluk yang serba terbatas dan lemah. Bagaimanapun, kehinaan kita tidak menghalangi Allah untuk menerima kita apa adanya.

Kebenaran ini sangat menghiburkan. Kadangkala kita merasa tidak layak dikasihi oleh Allah. Kita merasa begitu hina dan berdosa.

Pemikiran tidak layak seperti ini benar-benar tidak layak untuk dipikirkan. Mereka yang merasa terlalu hina untuk dikasihi TUHAN sebenarnya sedang menghina TUHAN. Mereka menganggap bahwa kasih TUHAN bersifat bersyarat. Mereka berpikiran bahwa manusia perlu melakukan sesuatu untuk mendapatkan kasih Allah. Adalah lebih menghormati dan menyukakan hati Allah jikalau kita terkesan dengan kebaikan-Nya yang ajaib daripada membuat Dia terkesan atas kebaikan-kebaikan kita. Soli Deo Gloria. 

Yakub Tri Handoko