Kita semua pasti sudah tahu bahwa kitab terakhir dari tulisan Musa disebut Kitab Ulangan. Namun, sebagian dari kita mungkin belum tahu apa yang diulang. Sesuai dengan namanya - kitab ini kerap kali disebut “Hukum Kedua” (Deuteronomy; deuteros = kedua dan nomos = hukum) – yang diulang adalah penyataan hukum atau perintah-perintah Allah.
Pengulangan ini merupakan sesuatu yang sangat diperlukan. Hampir semua generasi bangsa Israel yang keluar dari Mesir sudah mati di padang gurun. Generasi yang baru perlu mendengarkan ulang sekali lagi secara utuh dengan penekanan di sana-sini.
Di samping itu, bangsa Israel sebentar lagi akan memasuki negeri Kanaan (7:1-5). Mereka akan menjumpai begitu banyak agama dan moralitas mereka yang menyimpang di sana. Ini bahaya yang luar biasa. Bangsa Israel memerlukan pegangan hidup, yaitu Hukum Taurat.
Salah satu yang berkali-kali diulang adalah identitas mereka sebagai umat pilihan. Mereka berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Identitas yang berbeda ini merupakan alasan mengapa mereka tidak boleh mengikuti cara hidup bangsa-bangsa di tanah Kanaan (ayat 6 “sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu”). Siapa kita menentukan perilaku kita.
Umat yang spesial (ayat 6)
Bangsa Israel diperintahkan untuk membasmi bangsa-bangsa lain yang diam di Kanaan (7:1-2). Seperti yang sudah dikatakan TUHAN kepada Abraham ratusan tahun sebelumnya, dosa penduduk Kanaan sejak dahulu sudah sedemikian besar. Jika kedurjanaan mereka penuh, hukuman ilahi akan menimpa mereka (Kej 15:16). Kini hukuman itu semakin dekat.
Sebelum penaklukan itu seluruhnya dilakukan, bangsa Israel harus menghadapi kenyataan bahwa mereka hanyalah salah satu dari sekian banyak bangsa yang mendiami Kanaan. Di tengah keragaman seperti ini, mereka perlu memahami keunikan diri sendiri. Apa yang membedakan mereka dari bangsa-bangsa lain?
Mereka adalah umat yang kudus (ayat 6a). Kata sifat qādôsh di dalam Alkitab dapat berarti “kudus” (sebagai kontras terhadap dosa) atau “khusus” (sebagai kontras terhadap hal-hal yang umum). Yang pertama merujuk pada kekudusan secara moral. Yang kedua lebih ke arah pembedaan dengan hal-hal lain yang sejenis. Misalnya, X disebut barang kudus karena X telah dipilih dari sekian banyak barang yang sejenis, dan juga dikhususkan untuk tujuan tertentu.
Yang dimaksud di ayat 6a ini adalah arti yang terakhir. Bangsa Israel jelas bukan bangsa yang suci. Berbagai pelanggaran terhadap Taurat telah dilakukan selama perjalanan di padang gurun. Selain itu, keseluruhan ayat 6 sendiri memberi dukungan yang senada. Mereka dipilih dari segala bangsa (ayat 6b). Mereka dikhususkan “bagi TUHAN” (ayat 6a).
Mereka adalah umat kesayangan (ayat 6b). Dalam teks Ibrani, kata segūllâ (LAI:TB “kesayangan”) mengandung arti “kepunyaan atau harta sendiri” (ASV/RSV/NASB). Beberapa versi Inggris mencoba memberi makna yang lebih mendalam dengan memilih terjemahan “harta yang disimpan” (NRSV/NIV/ESV). Arti manapun yang diambil, pesan yang disampaikan tetap sama: bangsa Israel adalah milik pribadi Allah.
Jika TUHAN telah menjadikan mereka sebagai milik-Nya, mereka adalah umat yang berharga. Dia akan memelihara dengan segala perhatian. Maleakhi 3:17 menyamakan kualitas perhatian ini dengan perhatian seorang ayah kepada anak laki-laki yang melayaninya: “Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya (semua versi Inggris “his son”) yang melayani dia”. Bagi bangsa Yahudi yang berbudaya patriakhal, anak laki-laki begitu berharga, apalagi seorang anak laki-laki yang melayani orang tuanya. Sang ayah pasti akan membanggakan dan memperhatikan anaknya itu. Begitulah TUHAN memperlakukan umat-Nya.
Kita adalah Israel yang baru, milik Allah (Gal 6:16; Ef 1:14; Yak 2:7). Kita telah dibeli dengan harga yang mahal, yaitu dengan darah Anak Domba yang sempurna (1 Pet 1:18-19). Karena itu, kita harus hidup berbeda dengan dunia (Rm 12:2). Sadarkah kita tentang keunikan ini? Sudahkah kita mensyukuri identitas ini?
Pilihan yang beranugerah (ayat 7-8)
Status yang khusus seringkali membuat orang terlena. Keistimewaan menjadi jerat yang menenggelamkan orang pada kesombongan. Itulah sebabnya TUHAN memberitahu bangsa Israel mengapa mereka bisa menjadi umat yang spesial. Posisi ini tidak ditentukan oleh siapa mereka, melainkan siapa Allah. Tidak didasarkan pada apa yang mereka lakukan bagi Allah, melainkan apa yang Allah lakukan bagi mereka.
Rahasianya terletak pada pilihan Allah. Kata “memilih” muncul dua kali di ayat 6-7. TUHAN tidak memilih bangsa Israel gara-gara mereka adalah umat yang spesial. Sebaliknya, pilihan ilahi yang membuat mereka menjadi spesial. Ayat 6b mengatakan: “engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya”. Pendeknya, pemilihan mendahului keberhargaan. Apa yang dilakukan Allah menentukan siapa umat-Nya.
Mengapa TUHAN menjatuhkan pilihan pada bangsa Israel? Ada begitu banyak di bumi ini, mengapa Dia memilih bangsa Israel? Adakah keistimewaan dalam diri mereka yang mendorong TUHAN untuk memilih mereka? Sama sekali tidak! Musa memberikan alasan secara negatif maupun positif tentang hal ini.
Secara negatif, pilihan ini tidak didasarkan pada kelebihan bangsa Israel (ayat 7). Dalam konteks kuno pada waktu itu, kekuatan suatu bangsa sangat ditentukan oleh jumlah mereka. Jumlah yang banyak berarti ketersediaan pasukan yang melimpah untuk peperangan. Jumlah yang banyak berarti ketersediaan tenaga yang melimpah untuk berbagai pekerjaan.
Poin di atas sangat dipahami oleh para pemimpin Mesir pada waktu bangsa Israel tinggal di sana. Penambahan populasi bangsa Israel di Mesir yang cukup pesat menimbulkan keresahan bagi Firaun (Kel 1:7-10). Mereka pun melakukan berbagai cara untuk mengatasinya (Kel 1:11-15). Mereka benar-benar paham bahwa jumlah yang besar akan menjadi bencana besar pula bagi bangsa Mesir.
Jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain, jumlah umat Israel di padang gurun tergolong sedikit. Masih banyak bangsa lain yang lebih besar. Masih banyak bangsa lain yang memiliki sejarah lebih panjang daripada mereka. Masih banyak bangsa lain yang kebudayaannya lebih maju daripada bangsa Israel.
Puji TUHAN! Pilihan Allah memang tidak didasarkan pada kehebatan manusia. Musa berusaha menyatakan kebenaran ini secara eksplisit kepada bangsa Israel supaya mereka tidak sombong. Sebaliknya, mereka dapat mensyukuri hal ini.
Secara positif, pilihan TUHAN didasarkan pada sifat-Nya sendiri (ayat 7-8). Yang pertama adalah kasih-Nya. Hati TUHAN terpikat pada bangsa Israel (ayat 7). TUHAN mengasihi mereka (ayat 8a). Pengulangan dua kali seperti ini menyiratkan sebuah penegasan.
Terjemahan “hati TUHAN terpikat” (LAI:TB) sebenarnya tidak terlalu tepat. Ungkapan ini dapat menimbulkan kesan yang salah, seolah-olah ada sesuatu yang positif dalam diri bangsa Israel yang membuat TUHAN akhirnya jatuh hati kepada mereka. Terjemahan ini seolah-olah menyiratkan kepasifan dari pihak TUHAN. Hampir semua versi Inggris dengan tepat menerjemahkan: “TUHAN telah menetapkan kasih-Nya atas kalian”.
Prinsip yang sama berlaku di Perjanjian Baru. Pilihan Allah tidak didasarkan pada perbuatan manusia (2 Tim 1:9). Semua bersumber dari kasih-Nya (Ef 1:5). Kasih ini berada di luar segala ukuran dan pengetahuan (Ef 3:18-19). Bagaimana bisa orang-orang yang hina, berdosa, dan pantas menerima murka seperti kita justru dijadikan harta-Nya yang berharga?
Yang kedua adalah kesetiaan-Nya (ayat 8b). Dalam kasih-Nya yang besar, TUHAN berkenan memberikan janji kepada nenek moyang Israel yang kecil. Tidak ada keharusan bagi Allah untuk melakukan itu. Kasih-Nya sendiri yang mendorong Allah untuk mengambil inisiatif dan mengikat diri-Nya dengan mereka Israel dalam sebuah sumpah. Ia berjanji kepada Abraham untuk memberikan tanah Kanaan, keturunan yang banyak, dan nama yang besar (Kej 12:1-3). Dia pun sudah menetapkan rencana dan waktu untuk realisasi janji itu, yaitu sesudah keturunan keempat dan tatkala keberdosaan bangsa Kanaan semakin penuh (Kej 15:13-16).
Kasih TUHAN tidak berhenti sampai di situ saja. Dia berkomitmen untuk memelihara apa yang Ia sudah janjikan kepada nenek moyang Israel. Waktu yang panjang tidak membuat TUHAN lupa. Kelemahan para patriakh tidak melemahkan kesetiaan-Nya (bdk. 2 Tim 2:13).
Pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir adalah salah satu bukti kesetiaan TUHAN (Ul 7:8b). Kelepasan dari perbudakan Firaun ini terjadi karena “Allah mendengar mereka mengerang, lalu Ia mengingat kepada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak dan Yakub” (Kel 2:24). Kumpulan budak di Mesir telah menikmati kesetiaan TUHAN semesta alam. Bangsa yang hina telah mengalami lawatan dari TUHAN yang berkuasa. Kasih yang besar diberikan pada umat yang kecil. Soli Deo Gloria.