Sebagaimana tertulis di bagian awal, Mazmur 138 merupakan karya Daud. Kita tidak dapat mengetahui dengan pasti kapan dan mengapa mazmur ini ditulis. Teks hanya memberi petunjuk bahwa mazmur ini muncul dari sebuah situasi sulit yang dihadapi oleh Daud. Secara khusus, ia sedang berada dalam kesesakan karena musuh-musuhnya. Mungkin dia sedang menghadapi pertempuran yang sengit melawan bangsa Filistin. Mungkin juga dia sedang melarikan diri dari Saul atau Absalom. Alternatif manapun yang benar, hal itu tidak akan terlalu mempengaruhi penafsiran detil terhadap mazmur ini. Paling tidak, latar belakang secara umum ini bermanfaat sebagai sebuah perspektif dalam memahami pikiran penulisnya.
Sebagian besar penafsir sepakat bahwa inti dari mazmur ini terletak di ayat 6. Ayat ini menjadi simpul yang mengaitkan ayat 1-5 dengan ayat 7-8. Penekanan pada transendensi atau kebesaran TUHAN di awal ayat 6 (“TUHAN itu tinggi”) merujuk balik pada ayat 1-5, sedangkan petunjuk tentang imanensi atau kedekatan TUHAN di bagian selanjutnya (“Ia melihat orang yang hina”) menjadi landasan bagi permohonan di ayat 7-8.
Berdasarkan penjelasan di atas, mazmur ini dapat dibagi menjadi tiga bagian: ucapan syukur kepada TUHAN (ayat 1-5), TUHAN yang jauh sekaligus dekat (ayat 6), keyakinan dan permohonan (ayat 7-8). Marilah kita sekarang menguraikan masiing-masing bagian ini.
Ucapan syukur (ayat 1-5)
Istilah “ucapan syukur” atau “mengucap syukur” sudah begitu terbiasa di telinga kita. Sebagian dari kita mungkin bahkan sudah menjadikan ini sebagai gaya hidup kita. Dalam situasi apapun kita bersyukur kepada TUHAN.
Itulah yang ditunjukkan oleh Daud di sini. Walaupun ia berada di tengah situasi yang pelik, ia memilih untuk merespons hal tersebut dengan ucapan syukur. Kata kerja “bersyukur” (yādâ) muncul sebanyak tiga kali di mazmur ini (ayat 1, 4, 5). Pemunculan di ayat 4 sayangnya tidak tercermin dalam terjemahan LAI:TB, karena yādâ di sana diterjemahkan “memuji”.
Apa yang dimaksud dengan “bersyukur”? Studi kata yādâ di Alkitab menunjukkan bahwa makna dasar yang terkandung di dalamnya adalah “mengakui”. Itulah sebabnya penerjemah Septuaginta seringkali menerjemahkan kata ini dengan exomologeō (“mengakui”). Yang ditekankan dalam kata ini adalah pengakuan atau deklarasi terhadap suatu fakta, entah itu berhubungan dengan dosa, sifat dan tindakan Allah, maupun karakter manusia (TWOT). Dalam konteks Mazmur 138, fakta yang diketahui dan diakui berhubungan dengan TUHAN: sifat-sifat Allah (siapa Allah) dan karya Allah (apa yang Allah lakukan).
Sifat-sifat Allah (ayat 2a). Dua sifat Allah yang ditekankan di mazmur ini adalah kasih-setia (khesed, LAI:TB “kasih-Mu”) dan kebenaran (’ĕmet, LAI:TB “setia-Mu”). Kata “khesed” merujuk pada kasih Allah, dan seringkali muncul dalam konteks perjanjian. Para ahli umumnya memahami khesed sebagai kasih TUHAN yang rela mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dan menjaga perjanjian itu sedemikian rupa sehingga tidak gagal. Penerjemah LAI:TB biasanya memilih terjemahan “kasih-setia” untuk kata khesed. Karena kasih-Nya, TUHAN setia menjaga perjanjian-Nya.
Kata ’ĕmet bisa berarti keteguhan atau kebenaran. Jika keteguhan ini berhubungan dengan janji, ’ĕmet dapat diterjemahkan kesetiaan (RSV/NIV/ESV). Melihat keseluruhan konteks Mazmur 138, kita sebaiknya menerjemahkan ’ĕmet dengan “kebenaran” (KJV/ASV/NASB). Yang ditekankan di sini adalah perkataan TUHAN (’imrâ di ayat 2 atau ’ōmer di ayat 4). Sayangnya, penerjemah LAI:TB mengaburkan ide ini dengan memilih terjemahan “janji”. Hampir semua terjemahan Inggris mengambil terjemahan “word”. Begitu pula dengan penerjemah Septuaginta yang menggunakan logion (ayat 2) dan rhēma (ayat 4).
Penekanan pada kasih-setia dan kebenaran TUHAN di mazmur ini sangat mungkin mengacu pada perkataan TUHAN melalui Nabi Natan kepada Daud bahwa keturunannya akan terus-menerus ada di tahta Israel (2 Sam 7:12-16). Daud sendiri memandang hal ini sebagai sebuah nubuat yang akan digenapi di masa yang akan datang (2 Sam 7:19-21). Nubuat ini berhubungan dengan kebesaran TUHAN atas segala bangsa (2 Sam 7:22-29). Intinya, dalam MAzmur 138 Daud sedang mengungkapkan keyakinannya terhadap janji dan nubuat TUHAN di 2 Samuel 7:12-29. Di tengah keadaan serumit apapun, ia selalu mengingat dan mengakui kebenaran dari perkataan TUHAN.
Karya Allah (ayat 2b-3). Siapa Allah (sifat-Nya) menentukan apa yang Ia perbuat (karya-Nya). TUHAN tidak mungkin melakukan sesuatu yang bertabrakan dengan sifat-sifat-Nya. Itulah yang diamini oleh Daud dalam mazmur ini.
TUHAN telah meninggikan nama dan perkataan-Nya melebihi segala sesuatu (ayat 2b). Melalui berbagai perbuatan ajaib yang Dia lakukan, Allah telah menunjukkan kemuliaan-Nya atas segala bangsa dan dewa. Sebagai contoh, pada saat Ia menghukum bangsa Mesir dan Firaun, berita itu tersebar ke seluruh pelosok dunia kuno (Yos 9:9-10; Rm 9:17).
Bukan hanya itu. TUHAN juga mengabulkan doa (ayat 3). Di tengah keadaan yang genting, Dia langsung memberikan pertolongan pada hari itu juga (ayat 3a). Dia mengenal jiwa yang terpuruk. Itulah sebabnya Dia memberi pertolongan agar jiwa yang lemah itu dapat dikuatkan kembali (ayat 3b).
Pemaparan di atas mengajarkan kepada kita bahwa bersyukur kepada Allah tidak sama dengan menyangkali realita yang buruk atau menghibur diri sendiri dengan harapan kosong. Bersyukur terkait dengan fakta dan bagaimana kita mengetahui maupun mengakui fakta tentang TUHAN. Tanpa pengetahuan dan pengakuan ini, semua pujian kita (sebagai salah satu bentuk ucapan syukur, bandingkan ayat 2b dan ayat 5) tidak akan berarti apa-apa. Itu hanyalah kata-kata indah tanpa makna. Sehubungan dengan hal ini, Daud memberi contoh bagaimana ucapan syukur seyogyanya dilakukan. Bersyukur sepatutnya dimulai dari hati (ayat 1a). Ini terutama bukan tentang apa yang kita ucapkan, melainkan apa yang kita percayai.
TUHAN yang jauh sekaligus dekat (ayat 6)
Berbagai agama dan aliran kepercayaan menawarkan beragam bentuk relasi antara Allah dan manusia. Ada yang terlalu menekankan transendensi Allah. Allah itu mahabesar, mahakuasa, mahamulia, dsb. Filsafat Deisme yang berkembang mulai akhir abad ke-17 mengajarkan Allah sebagai pembuat jam tangan. Sesudah Ia menciptakan alam semesta, Allah mengatur semuanya berdasarkan hukum alam. Tidak ada intervensi ilahi secara langsung di dalam dunia. Allah yang dipercayai oleh para penganut Deisme adalah Allah yang (sangat) jauh.
Beberapa ajaran terlalu mengedepankan imanensi Allah. Allah ada di mana-mana. Segala sesuatu adalah Allah. Melalui cara tertentu, manusia dapat menjadi Allah. Agama-agama misteri pada zaman Yunani-Romawi kuno menawarkan konsep tentang Allah yang seperti ini. Allah yang dipercayai oleh penganut Gerakan Zaman Baru juga sama.
Alkitab menyediakan cara pandang yang seimbang. TUHAN memang Allah yang besar dan mulia (ayat 6a). Ia lebih berkuasa daripada segala dewa (ayat 1) dan raja (ayat 4). Besar kemuliaan-Nya (ayat 5b). Tinggi luhur nama dan perkataan-Nya (ayat 2b).
Walaupun demikian, TUHAN juga sangat dekat (ayat 6b). Ia melihat orang yang hina. Melihat di sini jelas menyiratkan kedekatan (bdk. ayat 6c “mengenal orang yang sombong dari jauh”). Ia mengenal orang yang hina bukan hanya karena TUHAN mahatahu. Ia mengenal, karena Ia dekat dengan mereka. Banyak penerjemah berusaha mengekspresikan makna ini melalui terjemahan “menghargai” (regard or respect, kontra NIV “look upon”).
Perpaduan antara transendensi dan imanensi inilah yang membuat kasih Allah terlihat begitu istimewa. Apa artinya memiliki Allah yang mahabesar tetapi tidak terlibat secara dekat dan nyata dalam kehidupan sehari-hari? Apa artinya memiliki Allah yang dekat tetapi tidak mampu melakukan apa pun yang luar biasa? Bukankah kasih akan tampak semakin indah apabila dilakukan oleh pribadi yang begitu mulia kepada pribadi lain yang begitu hina? Itulah TUHAN kita!
Keyakinan dan permohonan (ayat 7-8)
Pengetahuan dan pengakuan terhadap sifat dan karya TUHAN merupakan sauh yang kuat untuk menambatkan pengharapan kita. Pengharapan ini tidak akan bergoncang oleh perubahan keadaan atau besarnya tantangan. Sebagaimana TUHAN tidak pernah berubah, begitu pula pengharapan kita kepada-Nya.
Daud sangat memahami hal ini. Walaupun ia berada dalam kesesakan (ayat 7a, lit. “berjalan di tenggah-tengah kesulitan”), ia meyakini pemeliharaan (“Engkau mempertahankan hidupku”), pembelaan (“Engkau mengulurkan tangan-Mu’), dan keselamatan (“menyelamatkan aku”) dari TUHAN (ayat 7b). Musuh-musuhnya tidak akan berhasil membunuh dia dan merampas tahta dari keturunannya. Berbagai pengalaman di dalam hidup Daud menjadi bukti tak terbantahkan tentang hal ini.
Apa yang dilakukan TUHAN di masa lalu memberi alasan yang teguh untuk menantikan janji TUHAN di masa yang akan datang. Allah akan menyelesaikan semuanya bagi Daud (ayat 8a). Maksudnya, janji ilahi tentang kekekalan dan kebesaran tahta Daud pasti akan terwujud. Kasih-setia TUHAN memastikan bahwa Dia tidak akan meninggalkan apa yang Dia sudah mulai (ayat 8b). Permohonan yang penuh kepastian ini tidak jauh berbeda dengan doa Paulus untuk jemaat Filipi: “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus” (Flp 1:6).
Apa yang dikatakan oleh TUHAN dan dimani oleh Daud akhirnya menjadi kenyataan melalui Yesus Kristus. Dalam keadaan-Nya sebagai manusia, Dia adalah keturunan Daud (Mat 1:1; Rm 1:3). Dalam keadaan-Nya sebagai Allah, Dia adalah Anak Allah yang berkuasa (Rm 1:4). Kelak semua lutut akan bertelut dan segala lidah akan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan (Flp 2:9-11). Apa yang telah diperlihatkan TUHAN kepada Daud sejak lama akan menjadi kenyataan di akhir zaman. Soli Deo Gloria.