Kasih Yang Berdaulat (Maleakhi 1:2-5)

Posted on 12/03/2017 | In Teaching | Leave a comment

Kitab Maleakhi ditulis sekitar abad ke-6 Sebelum Masehi. Pada waktu itu bangsa Yehuda sudah pulang dari pembuangan ke Babel, dan kembali ke tanah perjanjian. Tembok Yerusalem sudah dibangun kembali. Kehidupan sehari-hari sudah berjalan normal. Ibadah kepada TUHAN juga sudah dilakukan kembali.

Sayangnya, reformasi spiritualitas tidak sepenuhnya sukses. Patung-patung berhala memang sudah tidak ada lagi. Namun, ibadah mereka masih dibalut oleh dosa dan pelanggaran. Para imam mempersembahkan kurban yang sembarangan (1:6-14). Mereka juga gagal mengajar umat Allah dengan baik dan benar (2:1-9). Bangsa Yehuda melakukan perkawinan campur dengan perempuan-perempuan lain dan meninggalkan istri mereka yang mula-mula (2:10-16). Orang-orang Lewi masih perlu dimurnikan supaya persembahan mereka berkenan di mata TUHAN (3:1-6). Bangsa Yehuda sangat kikir dalam memberikan persembahan (3:7-18).

Dalam kitab yang dipenuhi dengan teguran dan kecaman ini, sangat menarik untuk menemukan bahwa kitab ini dimulai dengan pernyataan kasih TUHAN kepada umat-Nya (1:2-5). Pesan ilahi pertama yang disampaikan oleh Maleakhi adalah: “Aku ini mengasihi kamu,” firman TUHAN semesta alam (ayat 2a). Lebih menarik lagi, kitab ini juga ditutup dengan janji yang manis dari TUHAN; janji pemulihan (5:1-4). TUHAN adalah Allah yang pengasih dan penyayang!

Mengapa Maleakhi perlu memulai kitabnya dengan ungkapan kasih dari TUHAN? Apa hubungannya dengan ibadah bangsa Yehuda yang sembarangan?

Ibadah merupakan salah satu bentuk ucapan syukur atas kasih TUHAN. Karena kasih-Nya, Allah telah memberikan segala sesuatu yang baik kepada kita (misalnya Mzm 103 dan Mzm 136). Kesungguhan dalam mengungkapkan syukur ditentukan oleh seberapa besar kita mengerti dan mengalami kasih itu. Orang-orang yang merasa tidak dikasihi oleh Allah tidak dapat mampu memberikan syukur yang besar dan benar. Ibadah mereka hanyalah rutinitas yang lahir dari keterpaksaan. Tidak heran, mereka melakukannya dengan sembarangan.

Maleakhi ingin menegaskan dan menjelaskan kembali kasih TUHAN atas umat-Nya. Ia ingin menunjukkan bahwa keraguan bangsa Yehuda terhadap kasih ilahi sama sekali tidak berdasar. TUHAN mengasihi mereka dengan kasih yang luar biasa. Kasih ini diwarnai dengan kesetiaan dan kedaulatan.

Kasih yang setia (ayat 2)

Dalam teks Ibrani kata kerja “mengasihi” di teks ini berbentuk perfek. Ini menyiratkan bahwa suatu tindakan terjadi selama durasi waktu tertentu. Panjangnya durasi ditentukan oleh konteks pembicaraan. Berdasarkan petunjuk di ayat 2, Maleakhi tampaknya memikirkan sebuah durasi yang sangat panjang. Dari sejak zaman patriakh (diwakili oleh Yakub) sampai kepulangan dari Babel. Lebih dari seribu tahun sudah berlalu, tetapi kasih Allah tidak pernah pudar. TUHAN setia!

Kesetiaan-Nya bukan hanya diukur dari durasi waktu. Kesetiaan itu menjadi lebih kentara apabila kita mempertimbangkan siapakah umat Israel itu. Apakah mereka memiliki kelebihan tertentu yang membuat TUHAN mengasihi mereka dengan penuh setia? Sama sekali tidak! Dari awal Ia memilih umat-Nya bukan berdasarkan kelebihan mereka, tetapi kasih-Nya yang besar (Ul 7:6-8). Walaupun mereka terus-menerus tidak setia – seperti seorang istri yang berkali-kali selingkuh dengan orang lain – TUHAN tetap mau mengambil mereka kembali dan mengasihi mereka (Hos 3:1; 11:8, 9; 14:5). Ia mengasihi mereka dengan kasih yang kekal (Yer 31:3).

Kasih yang berdaulat (ayat 2b-5)

Kesetiaan saja seringkali tidaklah cukup. Kesetiaan tanpa kedaulatan bisa menciptakan kisah pilu. Itulah yang sering terjadi di sekitar kita. Seorang suami yang begitu mengasihi istrinya harus menghadapi kenyataan bahwa nyawa istrinya terenggut maut akibat kecelakaan. Seorang istri yang setia dirundung kepedihan dan kekuatiran tatkala menjaga suaminya yang sedang berjuang melawan penyakit yang mematikan. Mereka setia, tetapi tidak berkuasa untuk mengubah apa yang ada.

Tidak demikian dengan kasih Allah. Dia bukan hanya setia, tetapi juga berkuasa. Kasih-Nya bukan hanya kuat, melainkan juga berdaulat. Perpaduan antara kesetiaan dan kedaulatan inilah yang sanggup memberikan kekuatan, penghiburan, dan pengharapan yang tak tergoyahkan.

Ayat 2b-5 menerangkan kedaulatan kasih TUHAN melalui beberapa cara. Yang pertama, kasih yang berdaulat adalah kasih yang memilih dengan bebas (ayat 2b-3a). Pemunculan Yakub dan Esau di ayat ini cukup menarik. Maleakhi seharusnya memulai dengan Abraham sebagai cikal-bakal bangsa Israel. Seandainya ia ingin memilih figur lain di luar Abraham, ia masih bisa mempertimbangkan Ishak. Bukankah dalam banyak hal Ishak lebih baik daripada Yakub?

Pemilihan Yakub-Esau pasti didorong oleh pemikiran tentang pemilihan ilahi yang berdaulat. Bangsa Yehuda pasti mengingat bahwa pemilihan atas Yakub (bukan Esau) dilakukan oleh Allah sejak keduanya masih di dalam kandungan (Kej 25:23). Pilihan ini jelas tidak dilandaskan pada perbuatan mereka (Roma 9:10-13). Di antara dua anak kembar ini, Allah memutuskan untuk memilih Yakub. Ada kasih dan kedaulatan di dalam pemilihan itu.

Bukan itu saja. Pemilihan ini juga bertabrakan dengan budaya pada waktu itu. Menurut tradisi, anak yang tua pasti lebih utama daripada yang muda. Usia tua memberikan banyak keuntungan dan keistimewaan dalam banyak hal. Dalam kedaulatan-Nya, TUHAN menetapkan dari semula bahwa yang tua akan menjadi hamba dari yang muda. Jika bukan karena kedaulatan Allah dalam pemilihan-Nya, yang akan terjadi secara otomatis adalah kebalikannya.

Untuk menghindari kesalahpahaman, kita perlu memperhatikan bahwa istilah “membenci” dalam budaya Yahudi seirngkali berarti “kurang mengasihi”. Bukan benci dalam arti ada kepahitan. Mengasihi X dan membenci Y bisa jadi sama-sama mengasihi, hanya saja tingkatannya berbeda.

Tiga contoh dari Alkitab mungkin bisa menjernihkan poin ini. Kejadian 29:30-31 “Yakub menghampiri Rahel juga, malah ia lebih cinta kepada Rahel dari pada kepada Lea. Demikianlah ia bekerja pula pada Laban tujuh tahun lagi. Ketika TUHAN melihat, bahwa Lea tidak dicintai, dibuka-Nyalah kandungannya, tetapi Rahel mandul”. Kata “tidak dicintai” di ayat 31 secara hurufiah berarti “dibenci”. Hal yang sama ada di Ulangan 21:15-17. Dalam budaya poligami yang marak di zaman kuno, tidak terelakkan akan ada istri yang lebih dicintai daripada yang lain. Ungkapan yang digunakan untuk dua kategori istri ini adalah “istri yang dikasihi dan istri yang dibenci” (KJV/ASV/RSV). Contoh yang lain adalah Matius 10:37 dan Lukas 14:26. Dua bagian ini paralel. Di Matius 10:37 disebutkan “Barangsiapa mengasihi bapa atau ibunya lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku; dan barangsiapa mengasihi anaknya laki-laki atau perempuan lebih dari pada-Ku, ia tidak layak bagi-Ku,” sedangkan di Lukas 14:26 dikatakan "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”.

Yang kedua, kasih yang berdaulat adalah kasih yang tuntas (ayat 3b-4). Allah bukan hanya memilih, namun Ia juga memastikan bahwa pilihan itu akan terealisasi secara tuntas. Kepulangan bangsa Yehuda dari Babel merupakan bukti nyata bahwa Ia mengasihi mereka secara tuntas. TUHAN tidak meninggalkan mereka di sana. TUHAN tidak membiarkan mereka punah.

Untuk menjelaskan hal ini, Maleakhi menggunakan sebuah perbandingan. Bangsa Israel berasal dari Yakub, sedangkan bangsa Edom dari Esau (Kej 25:30). Keduanya sama-sama berdosa. Keduanya sama-sama pantas untuk dimusnahkan. Keduanya sama-sama dihukum dengan cara ditaklukkan oleh bangsa lain. Tidak ada perbedaan sama sekali. Keduanya sama-sama mendapatkan keadilan Allah atas dosa-dosa mereka.

Yang membedakan adalah pasca penghukuman. Bangsa Yehuda mendapatkan restorasi dari TUHAN. Tidak ada demikian halnya dengan bangsa Edom. Perlahan tetapi pasti, daerah kekuasaan mereka diambil oleh bangsa-bangsa lain, terutama suku bangsa Nabatean. Negeri mereka akan ditinggalkan dalam kehancuran dan kesunyian (ayat 3). Di samping itu, restorasi secara moral atau spiritual juga tidak terjadi pada mereka. Mereka akan senantiasa dikenang sebagai bangsa yang fasik (ayat 4). Ingatan banyak orang tentang mereka adalah sebagai bangsa yang dihukum oleh TUHAN.

Yang ketiga, kasih yang berdaulat adalah kasih yang universal (ayat 5). Universal, tetapi bukan dalam arti universalisme (semua orang pada akhirnya akan diselamatkan). Universal dalam arti melampaui batasan suku bangsa. TUHAN Mahabesar sampai di luar daerah Israel. Bangsa yang mempertanyakan kasih TUHAN kepada mereka (ayat 2) akhirnya akan melihat sendiri dan mengakui bahwa kasih ilahi itu bahkan lebih besar daripada diri mereka sendiri.

Penggenapan yang dekat dari janji di ayat 5 ini jelas berkaitan dengan masa depan Israel dan Edom. TUHAN bukanlah dewa lokal yang hanya berkuasa atas satu daerah. Ia mengontrol dan mengarahkan sejarah bangsa-bangsa.

Penggenapan yang jauh akan dilakukan Allah melalui kedatangan Mesias. Pemerintahan-Nya akan menjangkau seluruh bumi (Mik 5:3). Janji tentang keselamatan eskhatologis ini (Mzm 35:27; 40:17; 70:5) dipenuhi secara sempurna oleh Yesus Kristus. Kasih Allah yang sedemikian besar tersedia bagi dunia (Yohanes 3:16). Tidak ada batasan etnis atau domisili. Yang penting adalah iman kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko