Kasih (Roma 13:8-10)

Posted on 10/04/2016 | In Teaching | Leave a comment

Dalam khotbah minggu yang lalu kita sudah mempelajari perbandingan (kontras) antara perbuatan-perbuatan daging dan buah Roh (Gal 5:19-23). Buah Roh berbicara tentang persandaran pada Roh (pohon yang mengeluarkan buah), sebuah proses yang panjang (tidak langsung terlihat secara spontan), dan keutuhan karakter Kristiani (satu buah dengan sembilan rasa). Hari ini kita akan mengupas rasa yang pertama, yaitu kasih.

Roma 13:8-10 bukan hanya menasihati orang Kristen untuk mengasihi, tetapi sekaligus menerangkan cara pandang kekristenan terhadap kasih. Paulus menekankan konsep dan tindakan sekaligus. Konsep yang benar tetapi tidak disertai tindakan nyata hanyalah sekadar kumpulan teori yang kering dan tidak berguna. Sebaliknya, tindakan yang terlihat baik tetapi tidak dilandaskan pada konsep yang benar hanyalah legalisme yang menipu dan moralitas manusiawi yang dangkal. Konsep dan tindakan adalah tidak terpisahkan.

Khotbah hari ini akan menjelaskan dua konsep penting tentang kasih. Berbekal dua konsep ini kita akan didorong – bukan hanya untuk mengasihi -  namun untuk mengasihi dengan benar. Apa saja yang kita perlu pahami tentang kasih?

Kasih adalah hutang kepada orang lain (ayat 8a)

Terjemahan LAI:TB (juga KJV) di bagian ini (“Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapapun juga, tetapi hendaklah kamu saling mengasihi”) memberi kesan bahwa Paulus sedang memberikan dua perintah yang terpisah: (1) larangan untuk berhutang; (2) perintah untuk mengasihi. Jika kita melihat teks Yunaninya, kesan semacam itu akan langsung sirna. Dalam teks Yunani, bagian ini berbunyi: “Janganlah kalian berhutang apapun kepada siapapun, kecuali untuk saling mengasihi” (lihat mayoritas versi Inggris). Dari terjemahan ini terlihat jelas bahwa Paulus menganggap mengasihi orang lain sebagai sebuah hutang.

Pemunculan metafora hutang di teks ini sebaiknya tidak dipandang sebagai larangan mutlak terhadap segala bentuk hutang. Alkitab sendiri mengatur tentang hutang-piutang (Kel 22:24; Ul 15:1-1; 31:10). Dalam arti tertentu kita bahkan dikatakan memiutangi TUHAN (Ams 19:17). Hutang yang dilarang Alkitab adalah yang didasari ketidakmauan untuk mencukupkan diri dalam segala hal (Flp 4:11-12). Artinya, berhutang bukan untuk sebuah kebutuhan (bdk. Ul 15:8), tetapi keinginan dan kenyamanan hidup.

Poin yang ingin disampaikan Paulus melalui metafora hutang di Roma 13:8a adalah kewajiban untuk melunasinya. Sebuah hutang menuntut pertanggungjawaban. Kita harus membayarkan apa yang orang lain pantas dapatkan, baik itu pajak, cukai, rasa takut maupun rasa hormat (13:7 “apa yang harus kamu bayar” = lit. “hutang”). Nah, salah satu yang kita harus bayar adalah kasih kepada sesama.

Paulus tampaknya cukup menyukai metafora ini. Beberapa kali ia menggunakannya di Surat Roma. Ia berhutang pemberitaan injil kepada banyak orang, termasuk mereka yang tinggal di Roma (1:14-15). Orang Kristen berhutang ketaatan kepada Roh Kudus (8:12-13). Kita pun berhutang ketaatan kepada pemerintah (13:7). Sekarang ia mengajarkan hutang kasih kepada sesama (13:8a).

Kita perlu berhati-hati untuk tidak memasukkan “keterpaksaan” ke dalam metafora hutang ini. Bagi orang yang bertanggung-jawab dan bermartabat, membayar hutang bukanlah sebuah beban atau keterpaksaan. Membayar adalah sebuah kebanggaan dan kelegaan.

Metafora hutang bukan hanya mendorong kita untuk segera melunasinya. Metafora ini sekaligus memperingatkan kita untuk tidak mengharapkan imbalan balik. Sebagaimana tidak ada imbalan bagi mereka yang membayar hutang (itu adalah sebuah kewajiban), demikian juga kita tidak sepatutnya berharap orang lain yang kita kasihi untuk memberikan imbalan. Tatkala kita mengasihi orang lain, kita tidak sedang memiutangi mereka. Kita hanya membayar hutang kita sendiri.

Kasih tidak terpisah dari Hukum Taurat (ayat 8b-10)

Sebagian orang sulit memahami hubungan antara kasih dan Hukum Taurat. Sebagian memandang dua hal ini sebagai kontras yang tidak mungkin disandingkan. Sebagian lagi menilai dua hal ini terpisah, tetapi tidak selalu bertentangan. Yang lain lagi menganggap kasih sebagai salah satu perintah dalam Hukum Taurat.

Dalam bagian ini Paulus menunjukkan bahwa kasih tidak bertentangan, tidak terpisah, dan tidak hanya sebagai salah satu bagian dari Hukum Taurat. Kasih dan Hukum Taurat terikat secara erat. Paulus menerangkan keterkaitan ini dalam tiga cara. Kasih adalah : (1) pemenuhan (ayat 8); (2) rangkuman (ayat 9); (3) penggenapan (ayat 10). Tiga ide ini jelas tidak terpisahkan. Kasih adalah prinsip yang melandasi semua perintah dan larangan dalam Hukum Taurat, karena itu mengasihi orang lain dapat dikatakan sebagai pemenuhan dan penggenapan dari Hukum Taurat.

Perlu untuk digarisbawahi di sini, Paulus tidak mengatakan bahwa kasih adalah akhir dari Hukum Taurat. Ia pun tidak mengajarkan bahwa kasih adalah pembatalan Hukum Taurat. Jika ia menggunakan kata “akhir” atau “pembatalan,” maka orang-orang Kristen sudah tidak terikat dengan Hukum Taurat. Namun, bukan itu yang dijelaskan Paulus di sini.

Sejak awal kasih tidak pernah dikontraskan dengan Hukum Taurat. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa inti Taurat terletak pada kasih kepada Allah dan sesama (Mat 22:34-40). Hal yang mirip dengan itu bahkan diajarkan dalam agama Yahudi pada waktu itu. Ketaatan yang disukai Allah adalah yang dilandasikan pada kasih.

Fakta bahwa sebagian besar orang Yahudi pada zaman Alkitab telah memanipulasi kasih sebagai alat untuk diperkenan Allah atau mendapatkan berkat-berkat-Nya tidak berarti bahwa Perjanjian Lama mengajarkan konsep tersebut. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa keselamatan dapat diraih melalui ketaatan atau perbuatan baik. Itu hanyalah penafsiran yang keliru dari pihak orang-orang Yahudi terhadap Hukum Taurat. Kasih kepada Allah dan sesama adalah motivasi dan dorongan kudus bagi ketaatan.

Jika benar demikian, apakah keunikan konsep Kristiani dalam hal ini? Paulus sudah menjawab ini di Roma 8:1-4, yaitu melalui karya penebusan Kristus Yesus yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam hati setiap orang yang percaya. Tidak ada satu pun manusia yang dapat memenuhi tuntutan Taurat (3:9-20). Akar persoalan bukan terletak pada ketidaktahuan tentang kebenaran (bdk. 1:18 “menindas kebenaran”), melainkan pada natur manusia yang berdosa (7:14-24). Solusi bagi situasi ini dimulai dan diteruskan oleh Allah. Kurban Kristus di kayu salib memenuhi dan menggenapkan tuntutan Taurat (8:3). Roh Kudus memimpin kita untuk mengalahkan kedagingan (8:4).

Keterkaitan antara kasih, Hukum Taurat, dan penebusan Kristus di sini perlu untuk dicamkan baik-baik. Beberapa ajaran yang bersikap terlalu negatif terhadap Hukum Taurat telah merembes ke dalam gereja. Pertama adalah antinomianisme. Istilah “antinomianisme” berarti sebuah paham yang menjadikan kebebasan di dalam Kristus sebagai alasan untuk tidak menuruti Hukum Taurat. Ajaran ini ini sudah ada sejak abad permulaan. Paulus sudah mengantisipasi bahaya ini (6:1-14). Ia bahkan pernah dituduh mengajarkan antinomianisme (3:8).

Ajaran lain adalah Hyper-Grace. Ajaran ini memang tidak bersifat antinomian seperti yang sering dipikirkan banyak orang. Bagaimanapun, Hyper-Grace telah memahami Taurat secara keliru. Mereka tidak peka terhadap keragaman arti kata nomos dalam Perjanjian Baru (legalisme Yahudi, Perjanjian Lama, Dasa Titah, dsb). Dengan bekal beberapa ayat yang terkesan negatif terhadap Taurat, mereka cenderung memahami semua rujukan tentang Taurat secara negatif. Akibatnya, Hukum Taurat terlihat seolah-olah tidak relevan sama sekali bagi kehidupan orang Kristen. Roma 13:8-10 mengajarkan sebaliknya. Kasih yang ditunjukkan orang-orang Kristen memenuhi dan menggenapkan Hukum Taurat. Penggenapan dan pemenuhan Taurat ini jelas tidak menggantikan maupun menambahkan penggenapan Taurat yang dilakukan oleh Kristus Yesus di kayu salib.

Ajaran lain yang perlu disorot adalah etika situasi. Etika ini telah meletakkan kasih sebagai patokan dalam segala tindakan. Segala sesuatu yang terlihat tidak mengasihi dianggap keliru. Konsep semacam ini bertentangan dengan Roma 13:8-10. Kasih tidak terpisah dari Hukum Taurat. Maksudnya, kasih tidak boleh diceraikan dari hukum moral. Perbuatan apapun yang mengatasnamakan kasih tetapi menabrak hukum moral jelas tidak dapat dibenarkan. Kasih dan kebenaran berjalan beriringan.

Bagaimana dengan kehidupan kita? Apakah kita sudah membayar hutang kasih kepada orang-orang di sekitar kita? Ataukah kita justru menambah hutang itu dengan cara melakukan tindakan-tindakan yang merugikan orang lain? Kiranya kasih Kristus di kayu salib yang sudah dicurahkan ke dalam hati kita oleh Roh Kudus selalu memampukan kita untuk membayar hutang kita. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko