Teks ini merupakan usaha terakhir dari musuh-musuh Yesus untuk menjatuhkan Dia melalui jebakan theologis. Sesudah peristiwa ini justru Yesus yang menyerang mereka melalui pertanyaan yang sukar (22:41-46) dan kecaman yang tajam (23:13-39).
Bukan kebetulan jika pada usaha terakhir ini mereka mencoba memberikan upaya yang terbaik (22:34). Mereka merasa perlu untuk mengumpulkan seluruh kekuatan guna memikirkan cara terbaik untuk menjatuhkan Yesus. Mereka juga mengutus seorang "ahli Taurat" (nomikos). Hampir semua versi Inggris dengan tepat menerjemahkan nomikos dengan "pengacara" (KJV/RSV/NASB/ESV). Kata Yunani yang muncul di sini memang berbeda dengan kata grammateus yang biasa digunakan (2:4; 8:19; 9:3, dsb). Nomikos di ayat ini mungkin merujuk pada orang yang terbaik di antara para ahli Taurat.
Pertanyaan yang diajukan si ahli ini memang sangat sulit dan dilematis. Sulit, karena dalam kitab suci terdapat ratusan perintah. Menurut tradisi Yahudi, terdapat 613 perintah di seluruh Alkitab. Jumlah ini didasarkan pada jumlah huruf Ibrani yang muncul di Dasa Titah (Kel. 20). Dari sekian perintah ini, masih dibagi lagi menjadi 248 perintah positif (untuk dilakukan) dan 365 perintah negatif (untuk dihindari). Angka 248 diperoleh dari jumlah anggota tubuh manusia, sedangkan 365 dari jumlah hari dalam setahun. Walaupun tradisi ini mengandung beberapa aspek yang masih kabur (tahun pemunculan, inisiator, alasan di balik angka, dsb), tetapi sudah cukup untuk memberikan gambaran betapa rumitnya pertanyaan yang digunakan untuk mencobai Yesus.
Selain rumit, pertanyaan tersebut juga dilematis. Orang-orang Yahudi sudah sering memperdebatkan isu ini. Sebagian meyakini bahwa semua perintah adalah setara. Tidak ada yang lebih besar atau kecil. Sebagian yang lain mencoba mengelompokkan semua perintah dalam kategori besar dan kecil. Pada masing-masing kategori juga masih dibuatkan urutan. Jawaban apapun yang Yesus berikan pasti akan mendapat sanggahan dari salah satu kelompok.
Seperti biasanya, Yesus selalu memiliki jawaban yang tak terduga. Dia tidak mau masuk ke dalam jebakan. Dia tidak mau mengikuti keinginan ahli Taurat tersebut. Dengan hikmat-Nya, Yesus sengaja menggeser fokus pertanyaan. Ahli Taurat menanyakan: "Perintah mana yang terbesar?". Yesus menunjukkan apa yang terbesar dalam seluruh perintah yang ada. Ahli Taurat berfokus pada apa yang terbesar, Yesus berfokus pada apa yang terpenting. Bukan urutan yang dipedulikan oleh Yesus, namun esensi. Apa sebetulnya esensi dari semua perintah yang ada?
Poin inilah yang membuat jawaban Yesus terdengar begitu bijaksana. Semua orang Yahudi pasti sudah mengetahui dua perintah yang dikutip oleh Yesus dalam jawaban-Nya. Mereka bahkan setiap hari mengucapkan perintah untuk mengasihi TUHAN dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (bdk. Ul. 6:4-5). Perintah untuk mengasihi sesama manusia juga tidak asing sama sekali di telinga mereka (Im. 19:18).
Yang terlihat baru adalah pemahaman Yesus terhadap dua perintah itu. Di mata Yesus, keduanya bukan sekadar perintah di antara deretan perintah yang lain. Keduanya berada di dalam kategori yang lain.
Jawaban Yesus di Matius 22:37-40 mengajarkan beberapa poin penting tentang kasih dan ketaatan. Dua hal ini tidak terpisahkan. Pada saat yang satu diceraikan dari yang lain, maka keduanya akan kehilangan makna yang sebenarnya.
Pertama, mengasihi merupakan sebuah perintah. Kata kerja "kasihilah" di ayat 37 dan 39 berbentuk kalimat imperatif (agapēseis). Ini berbicara tentang sebuah tindakan. Sesuatu yang aktif, bukan pasif.
Poin yang sederhana ini perlu untuk digarisbawahi, karena budaya populer seringkali memandang kasih hanya sebatas perasaan. Banyak orang terlalu menekankan aspek emosional belaka, sehingga mengabaikan keutuhan kasih. Mengasihi melibatkan seluruh kehidupan kita: hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan (ayat 37; Mrk. 12:30 "segenap hati, jiwa, akal budi, dan kekuatan"). Jika kasih memang bersifat utuh, sangat masuk akal apabila mengasihi berbentuk imperatif. Kasih bukan tentang apa yang kita rasakan saja, tetapi apa yang kita pikirkan dan lakukan.
Bagian lain dari Alkitab mengajarkan kebenaran yang sama. Ketaatan merupakan salah satu wujud kasih (Yoh. 14:15). Sebaliknya, barangsiapa yang tidak menaati Allah berarti tidak mengasihi Dia (Yoh. 14:24). 1 Yohanes 2:5 berkata: "Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah". Jadi, antusiasme belaka tidaklah cukup. Perasaan yang berkobar-kobar pun tidak akan berguna apabila tidak disertai dengan tindakan nyata.
Kedua, mengasihi merupakan dasar dari semua perintah. Semua perintah dalam kitab suci bergantung pada perintah untuk mengasihi (ayat 40). Jadi, mengasihi bukan sekadar sebuah perintah. Bukan pula sebatas perintah yang terbesar. Ini adalah pondasi dari segala perintah.
Mari kita ambil contoh Dasa Titah. Perintah ke-1 sampai ke-4 mengatur relasi vertikal dengan Allah. Mengapa kita harus menyembah Allah saja, menghormati kekudusan nama-Nya, dan beribadah kepada-Nya? Jawabannya adalah karena kita mengasihi Dia. Begitu pula dengan perintah ke-5 sampai ke-10 yang mengatur relasi horizontal dengan sesama manusia. Mengapa kita perlu mengupayakan yang baik bagi orang lain dan menghindari yang buruk bagi mereka? Jawabannya adalah karena kita mengasihi mereka. Tanpa kasih, ketaatan menjadi legalisme yang kering. Tidak ada unsur personal dan emosional yang menggairahkan di dalamnya. Perintah-perintah Allah akan menjadi deretan peraturan kaku yang memberatkan.
Kata "tergantung" di ayat 40 bahkan menyiratkan ide yang lebih mendalam lagi. Ketaatan harus digantungkan pada kasih. Artinya, segala bentuk ketaatan terhadap perintah Allah tidak akan berguna apabila tidak dilekatkan pada kasih. Jatuh-bangunnya sebuah ketaatan ditentukan oleh motivasi di baliknya.
Jika ketaatan itu tidak dilandaskan pada kasih, hal itu tidak pantas disebut sebagai ketaatan. Tanpa kasih, ketaatan hanya akan menjadi ajang pamer diri sendiri (23:2-12). Tanpa kasih, ketaatan identik dengan kemunafikan (23:13, 14, 15, 23, 25, 27, 29). Di luar terlihat beribadah kepada Allah, tetapi jauh di dalam hati mereka tidak ada kasih kepada Dia (Mat. 15:8-9). Pendeknya, tanpa kasih ketaatan hanyalah sebuah sarana untuk memanipulasi Allah dan orang lain.
Sebaliknya, jikalau kasih yang melandasi ketaatan, kita akan rela melangkah lebih jauh daripada tuntutan minimum. Kita tidak hanya menghindarkan diri dari hal-hal yang membawa dampak buruk bagi orang lain, tetapi kita juga ingin menghadirkan hal-hal yang baik kepada mereka. Intinya, kasih memampukan kita untuk melangkah lebih jauh daripada yang diharapkan oleh orang lain (5:39-42).
Poin ini tampaknya sudah dilupakan oleh banyak orang Kristen. Mereka menaati Allah hanya untuk menghindari hukuman. Yang lagi hanya untuk mendapatkan berkat-berkat-Nya. Sebagian lagi hanya untuk mendapatkan sesuatu dari orang lain. Dengan demikian mereka telah menggeser posisi kasih, dari pondasi (motivasi) bagi suatu tindakan menjadi sarana (alat) untuk mencapai suatu tujuan. Ini jelas sangat ironis. Tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dimanfaatkan oleh seseorang atas nama cinta.
Sebelum menutup khotbah ini, kita perlu memikirkan sebuah pertanyaan penting: "Bagaimana kita dapat mengasihi Allah (dan orang lain)?" Semua dimulai dari pengalaman kita dengan kasih Allah. Sebelum Dasa Titah diberikan, TUHAN Allah terlebih dahulu mengingatkan bangsa Israel tentang kebaikan-Nya, yaitu melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir (Kel. 20:1-2). Pendahuluan seperti ini dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa ketaatan mereka seharusnya merupakan respons terhadap kasih Allah dan wujud kasih mereka kepada-Nya. Tanpa Allah terlebih dahulu mengambil insiatif untuk mengasihi kita, tidak mungkin kita mampu mengasihi Dia.
Ajaran yang sama muncul di Perjanjian Baru. Kasih Allah yang sedemikian besar kepada kita merupakan dorongan terbesar dan satu-satunya untuk mengasihi Dia dan orang lain. 1 Yohanes 4:10-11 berkata: "Inilah kasih itu: Bukan kita yang telah mengasihi Allah, tetapi Allah yang telah mengasihi kita dan yang telah mengutus Anak-Nya sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita. Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi". Tuhan Yesus juga memberikan sebuah perintah baru yang sangat indah dan bersumber dari pengalaman kita terhadap kasih-Nya: "Sama seperti Aku telah mengasihi kamu, demikian pula kamu harus saling mengasihi" (Yoh. 13:34). Soli Deo Gloria.