Kasih Allah Kepada Semua Manusia (Kis 17:24-27)

Posted on 30/01/2017 | In Teaching | Leave a comment

Perbedaan antar manusia merupakan fakta yang tak terbantahkan. Umat manusia terdiri dari berbagai etnis, latar belakang, historis, agama, pendidikan, status ekonomi, dan sebagainya. Tidak jarang, keragaman ini terlalu dibesar-besarkan sehingga menimbulkan pertikaian. Banyak orang mengabaikan bahwa semua orang memiliki sebuah kesamaan yang fundamental, yaitu sama-sama manusia dan sama-sama ciptaan yang dikasihi oleh Allah.

Setiap orang Kristen juga perlu mewaspadai kecenderungan di atas. Berbagai perbedaan tidak boleh menjadi penghalang bagi kita untuk mengasihi sesama manusia seperti diri kita sendiri (Mat 22:39). Kasih seperti ini mencerminkan kasih Allah. Dia mengasihi semua manusia.

Kasih seperti apa yang ditunjukkan oleh Allah kepada manusia

Allah yang menopang kehidupan manusia (ayat 24-25)

Kepada orang-orang Athena yang memeluk agama yang berlainan dengan dirinya, Paulus memulai dengan sebuah kebenaran yang akan diterima oleh mayoritas pendengarnya. Allah adalah Pencipta langit dan bumi serta segala sesuatu (ayat 24a). Ia bukan hanya pencipta, tetapi juga Tuhan atas semuanya itu (ayat 24b). Sebagai Pencipta, Allah adalah sumber dari segala sesuatu. Sebagai Tuhan, Ia mengontrol segala sesuatu.

Dia tidak seperti Allah yang dipercayai oleh penganut Epikurianisme maupun Deisme yang memandang Allah hanya sebatas Pencipta belaka. Ia menciptakan, tetapi tidak terlalu terlibat dalam urusan dunia. Di mata Paulus, Allah aktif mencipta sekaligus aktif mengontrol. Bentuk partisip present “adalah” (hyparchōn) semakin menegaskan konsistensi Allah dalam mengontrol seluruh ciptaan.

Walaupun orang-orang yang relijius umumnya meyakini Allah sebagai Pencipta dan Pengontrol semesta, konsep dan praktik keagamaan mereka seringkali tidak mencerminkan keyakinan tersebut. Agama politheistik yang dianut sebagian besar penduduk Athena adalah buktinya. Mereka meyakini bahwa dewa-dewa memerlukan tempat tinggal tertentu. Mereka berpandangan bahwa manusia perlu melayani para dewa. Kegagalan dalam melakukan hal ini dapat menimbulkan kemarahan para dewa, sehingga umat manusia akan dikenai berbagai musibah dan kutukan sebagai bentuk hukuman dari para dewa.

Allah di dalam Alkitab bukan seperti itu. Allah yang benar tidak terbatas oleh tempat ibadah (ayat 24c; 1 Raj 8:27-30). Allah yang benar tidak membutuhkan manusia (ayat 25a; Mzm 50:9-13). Poin ini tampaknya sangat ditekankan oleh Paulus. Dalam bagian ini ia mengulang frasa “buatan tangan manusia” sebanyak dua kali (cheiropoiētois dan cheirōn anthrōpinōn).

Allah yang hanya minta dilayani oleh manusia bukanlah Allah yang mengasihi manusia. Allah yang menuntut manusia untuk memenuhi kebutuhan-Nya adalah Allah yang egois. Puji Tuhan! Allah kita bukan seperti itu. Ia Pencipta dan Pemelihara. Ia tidak membutuhkan manusia.

Ibadah dan pelayanan kita bukan pemenuh kebutuhan ilahi. Bukan pula strategi menjauhi hukuman ilahi. Ibadah dan pelayanan yang benar muncul dari kesadaran bahwa kita adalah ciptaan. Beribadah kepada Pencipta adalah sepatutnya, melayani Pemelihara adalah sukacita.

Allah bukan hanya tidak membutuhkan pelayanan manusia. Ia justru menopang seluruh umat manusia. Ia memberikan kehidupan, nafas, dan segala sesuatu kepada semua orang (ayat 25b). Kebenaran ini mendapat penekanan melalui penambahan autos (lit. “Dia sendiri”; lihat semua versi Inggris, kontra LAI:TB “Dialah”).

Pemunculan kata “kehidupan”, “nafas”, dan “segala sesuatu” tidak memberi ruang sedikit pun untuk perkecualian. Bahkan untuk hidup pun manusia berhutang pada Allah (Yak 4:15 “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup…”). Tidak ada satu pun yang kita miliki yang bukan merupakan pemberian dari Allah (1 Kor 4:7 “Sebab siapakah yang menganggap engkau begitu penting? Dan apakah yang engkau punyai, yang tidak engkau terima?”).

Allah yang menyatakan diri kepada manusia (ayat 26-27)

Salah satu bentuk topangan ilahi atas seluruh umat manusia (ayat 24-25) adalah pengaturan dan keberlangsungan hidup manusia (ayat 26-27). Kepada orang-orang Yunani yang memandang diri lebih superior daripada bangsa-bangsa lain, Paulus mengingatkan bahwa semua orang memiliki nenek moyang yang sama (ayat 26a). Dalam kedaulatan-Nya, Allah menetapkan untuk menjadikan setiap bangsa di seluruh muka bumi dari satu orang.

Tujuan dari penetapan ini ada dua. Masing-masing disiratkan dengan pemunculan kata kerja infinitif: “untuk mendiami” (katoikein, ayat 26) dan “supaya mencari” (zētein, ayat 27). Topangan Allah di ayat 24-25 bukanlah tanpa tujuan. Allah telah menetapkan tujuan yang seragam di baliknya. Dari sini terlihat bahwa semua manusia bukan hanya memiliki nenek moyang yang sama, tetapi juga diberi tujuan hidup yang sama oleh Allah.

Untuk mendiami seluruh muka bumi (ayat 26). Sejak awal penciptaan Allah menghendaki supaya manusia beranak-cucu, bertambah banyak, dan memenuhi bumi, sehingga mereka dapat menaklukkan dan menguasai bumi (Kej 1:28). Jika manusia tidak bisa berkembang-biak, bagaimana jumlah mereka mencukupi untuk menguasai bumi? Jika manusia tidak mau terserak ke seluruh muka bumi, bagaimana mereka dapat menguasainya?

Bagi orang-orang Yahudi yang sudah akrab dengan kitab suci, mereka pasti mengenal hukuman Allah atas para pembuat menara Babel (Kej 1:1-9). Rencana jahat manusia yang tidak mau terserak ke seluruh bumi akhirnya dikacaukan oleh Allah melalui kekacauan bahasa. Perbedaan bahasa memaksa mereka memisahkan diri satu dengan yang lainnya.

Sebagai seorang Yahudi yang mahir Kitab Taurat, Paulus pasti mengetahui kisah tersebut. Namun, ia memilih cara lain untuk mengungkapkannya. Partisip horisas (lit. “telah menentukan”) menyiratkan sebuah cara bagaimana manusia dapat mendiami seluruh muka bumi (versi Inggris “having determined”; kontra LAI:TB yang menambahkan kata sambung “dan,” seolah-olah bagian ini sejajar dengan kalimat sebelumnya).

Cara yang digunakan oleh Allah adalah melalui penentuan musim-musim (ayat 26b). Para penafsir masih memperdebatkan apakah kairos (lit. “waktu”) di ayat ini sebaiknya dipahami “musim” (ASV/LAI:TB, bdk. Kej 1:14) atau “periode” (ESV/NRSV, bdk. Dan 2:36-45). Jika opsi pertama tepat, berarti setiap bangsa memilih wilayah masing-masing sesuai dengan pertimbangan musim. Jika opsi kedua benar, berarti keberadaan setiap bangsa di dalam sejarah berada dalam penentuan Tuhan. Pilihan mana pun yang benar, maknanya tetap sama: Allah mengontrol waktu sehingga bangsa-bangsa bisa mendiami seluruh muka bumi.

 Bukan hanya waktu. Allah juga menentukan tempat (ayat 26b). Ada beragam alasan mengapa suatu bangsa ada di suatu tempat. Ada banyak cara yang mereka tempuh untuk sampai ke sana. Namun, dalam perspektif Paulus, semua tidak lepas dari kontrol Allah. Penentuan ilahi ini memungkinkan manusia untuk mendiami seluruh muka bumi.

Untuk mencari Allah (ayat 27). Mendiami seluruh muka bumi adalah tujuan pertama dari topangan ilahi bagi seluruh umat manusia. Mencari Allah adalah tujuan yang kedua. Kedaulatan Allah yang sudah dinyatakan begitu rupa kepada umat manusia seyogyanya sudah memadai sebagai petunjuk dan penuntun dalam menemukan Allah. Walaupun Ia tidak terlihat, tetapi Ia tidak jauh dari kita (ayat 27b). Kita bahkan terus-menerus berada di dalam Dia di setiap waktu dan dalam segala keadaan (ayat 28).

Ironisnya, Allah yang dekat ini tetap tidak dikenal dengan benar. Dalam struktur kalimat Yunani. Ungkapan “mudah-mudahan menjamah dan menemukan Dia” mengandung nuansa pesimistis yang kental. Mereka memang berusaha mencari Allah, tetapi tidak pernah menjamah dan menemukan Dia dengan benar. Mereka terjebak pada penyembahan berhala yang bodoh.

Jika dilihat dari perspektif theologi Paulus secara luas, kegagalan ini sangat berhubungan dengan dosa. Sama seperti orang buta yang tidak dapat mengetahui barang-barang di sekitarnya, demikian pula dengan orang-orang yang dibutakan oleh dosa. Apa yang sudah jelas ternyata masih kabur. Kebenaran yang sudah dikenali justru ditindas (Rm 1:18-20).

Walaupun menemukan Allah yang benar tidak mungkin dilakukan tanpa iman kepada Kristus Yesus, bukan berarti anugerah dan wahyu umum kepada semua manusia tidak ada gunanya. Semua itu tetap bermanfaat bagi manusia. Masih banyak kebaikan ilahi di alam semesta ini yang patut disyukuri. Hujan dan panas yang teratur (Mat 5:45). Binatang dan tanaman yang dipelihara oleh Allah (Mat 6:26, 28-30). Masih ada hukum moral dalam diri manusia sehingga mereka mengenal benar dan salah. Mereka juga dibekali dengan hati nurani supaya mengarahkan keputusan dan tindakan mereka sesuai hukum moral dalam diri mereka.

Khotbah hari ini mengingatkan kita bahwa Allah mengasihi semua manusia. Ia memelihara kehidupan semua orang. Ia mengontrol perjalanan hidup semua bangsa. Sudah sepantasnya apabila kita berusaha menegaskan dan mensyukuri kesamaan kita dengan semua manusia. Sudah sepatutnya apabila kita mengasihi semua manusia, tidak peduli perbedaan apapun yang ada. Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko