Penderitaan selalu menjadi isu kehidupan yang sangat pelik. Ada beragam aspek tercakup di dalamnya: intelektual, emosional, sosial, dsb. Begitu sulitnya isu ini, kita lebih baik melihat penderitaan bukan hanya sekadar sebagai sebuah persoalan, melainkan sebagai sebuah misteri. Kita tidak berada di luar sebagai pemberi solusi dan penjelasan. Kita justru berada di dalamnya, menjadi bagian dari persoalan itu, dan merasakan rasa sakit yang begitu nyata.
Di antara banyak jenis penderitaan, salah satu yang sangat sukar untuk diterangkan adalah penderitaan yang menimpa anak-anak. Mereka terlihat begitu polos dan tanpa dosa. Mengapa mereka harus dilahirkan dalam penderitaan? Jika keadaan mereka seperti itu, bukankah lebih baik bagi Allah untuk tidak pernah membiarkan anak-anak itu lahir? Bagaimana kita sebagai orang tua harus menjelaskan situasi ini kepada mereka pada saat mereka bisa bertanya?
Persoalan ini sama sekali tidak mudah. Tidak ada penjelasan yang memuaskan. Tidak ada buku yang mampu mengakhiri kegetiran dalam diskusi ini. Jawaban terbaik pun tidak akan mengurangi – apalagi meniadakan – rasa sakit dan kekecewaan mendalam dalam hati orang tua yang memiliki anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Dalam artikel ini saya mencoba memberanikan diri dalam kerendahhatian untuk menyentuh isu yang sangat sensitif ini. Kali ini saya tidak akan mendekati persoalan ini secara filosofis. Saya sudah sering melakukan hal itu di berbagai seminar saya tentang persoalan penderitaan/kejahatan (the problem of evil). Saya hanya ingin mengulas persoalan ini secara Alkitabiah dan sederhana.
Apa kata Alkitab tentang situasi seperti ini? Yang tidak boleh dilupakan adalah kejujuran Alkitab untuk memberitahu kita bahwa persoalan penderitaan seringkali memang di luar jangkauan pemikiran kita. Ayub bergumul dengan persoalan ini begitu rupa. Dia kehilangan harta, keluarga, dan kesehatan. Semua terjadi secara bertubi-tubi. Di akhir pergumulannya, dia tetap tidak mengapa dan bagaimana semua itu bisa terjadi pada dirinya. Dia menutup perjalanan rohaninya yang melelahkan dengan sebuah pengakuan: “Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui” (42:3). Kemenangan Ayub dalam pergumulan tidak terjadi pada saat semua pertanyaannya terjawab tuntas. Bukan pula pada saat keadaannya dipulihkan oleh TUHAN. Kemenangan itu justru diperoleh pada saat Ayub semakin menyadari siapa dia dan siapa Allah. Dia adalah ciptaan yang terbatas dalam banyak hal. TUHAN adalah Allah yang sanggup melakukan segala sesuatu tanpa ada yang bisa menggagalkan rencana-Nya (42:2 “Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal”).
Kebenaran ini seringkali tanpa sadar kita lupakan atau abaikan. Kita menuntut TUHAN untuk menyediakan sebuah penjelasan yang gamblang dan tuntas sehingga tidak ada lagi pertanyaan tersisa di benak kita. Tanpa disadari kita telah meletakkan ketenangan dan kedamaian kita pada kelengkapan pengetahuan kita. Jika semua jawaban tersedia dan kita bisa menerimanya, kita merasa tenang dan damai. Kecenderungan ini kurang selaras dengan ajaran Alkitab. Kita tidak selalu mampu memahami seluk-beluk kehidupan kita. Allah tidak selalu membukanya bagi kita. Justru di tengah ketidaktahuan itulah Allah sedang melatih iman kita. Apakah kita masih bisa meyakini tangan Allah yang berdaulat di atas semua kekacauan dan kehancuran kita?
Hal lain yang perlu untuk kita renungkan adalah tujuan ilahi di balik semua penderitaan itu. Yohanes 9:1-3 mencatat sebuah dialog yang sangat relevan dengan topik kita sekarang. Murid-murid Yesus melihat seorang pemuda yang lahir dalam keadaan buta, lalu mereka bertanya kepada-Nya: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (ayat 2). Yesus menolak untuk mengikuti arah pertanyaan mereka. Mencari siapa yang patut disalahkan tidak akan menyelesaikan persoalan. Sebaliknya, Yesus memilih untuk menerangkan apa yang paling penting dalam situasi seperti itu. Yang paling penting adalah penggenapan rencana Allah dalam kehidupan seseorang. Yesus menjawab: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (ayat 3)….bersambung…