Jauh Menjadi Dekat (Efesus 2:11-18)

Posted on 17/03/2019 | In Teaching | Leave a comment

Salah satu penghambat kesatuan adalah perbedaan rasial. Ini bukan hanya persoalan warna kulit, jenis rambut atau bentuk mata. Dalam perbedaan itu seringkali terkandung sejarah yang pahit, prinsip hidup yang bertabrakan, kebiasaan-kebiasaan kecil yang berlainan, dan stereotipe negatif yang beredar dengan liar. Sungguh tidak mudah untuk membangun kesatuan di tengah keragaman.

Bagaimana perspektif Alkitab tentang perbedaan dan pembedaan rasial? Bagaimana orang-orang Kristen seharusnya menyikapi situasi seperti ini?

Dalam teks kita hari ini Paulus sedang membahas sebuah persoalan yang pelik dan sensitif, yaitu perbedaan etnis antara bangsa Yahudi dan non-Yahudi. Masing-masing pihak merasa diri lebih baik daripada yang lain. Orang Yahudi memandang etnis lain sebagai orang-orang fasik yang diciptakan untuk perapian neraka. Sebaliknya, bangsa Yunani melihat orang-orang Yahudi sebagai kaum barbar yang primitif dan tidak beradab.

Alkitab memberikan beberapa petunjuk konkrit tentang situasi ini. Bangsa Yahudi menyamakan etnis lain dengan sesuatu yang najis (Mat. 15:26). Bahkan bangsa Samaria yang memiliki nenek moyang sama dengan merekapun dipandang sebagai orang yang kerasukan setan (Yoh. 8:48). Orang Yahudi tidak bergaul dengan mereka sama sekali (Yoh. 4:9b). Dengan stereotipe negatif seperti ini, tidak heran jika orang-orang Yahudi dilarang dengan keras untuk masuk ke rumah non-Yahudi (Kis. 10:28). Pendeknya, relasi mereka diwarnai dengan kesombongan, kebencian, dan kepahitan.

Pada saat orang-orang dari beragam kubu ini bernaung di dalam “gereja”, berbagai persoalan praktis dengan mudah bisa bermunculan. Sebagai contoh, tentang makan bersama. Daging apa saja yang boleh dikonsumsi? Bagaimana makanan itu seharusnya dimasak dan dihidangkan? Bagaimana pula dengan kebiasaan-kebiasaan lain yang sudah melekat dalam diri orang-orang Yahudi? Haruskah mereka mengubahnya demi merangkul orang lain ataukah sebaiknya dipertahankan dan menuntut orang lain untuk menyesuaikan? Deretan persoalan ini bisa diperpanjang tanpa batas.

Yang perlu diubah bukan sekadar kebiasaan atau tindakan. Yang paling penting adalah perubahan konseptual-teologis. Ini tentang bagaimana masing-masing orang menempatkan diri di hadapan Allah. Jika persoalan teologis ini sudah benar, yang lain-lain akan mengikuti. Sebaliknya, jika konsep teologis yang benar tidak diaminkan, semua perubahan hanya terjadi di permukaan. Tidak ada kesatuan. Hanya penyesuaian.

 

Keterasingan bangsa-bangsa lain (ayat 11-12)

Dalam perikop sebelumnya Paulus sudah menunjukkan bahwa semua orang adalah berdosa (2:1-10). Tidak ada perbedaan antara orang Yahudi maupun Yunani (2:3). Semua juga diselamatkan dengan cara yang sama, yaitu oleh anugerah Allah melalui iman (2:8-9). Sekarang semua orang dipersiapkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik (2:10).

Penjelasan di atas tidak berarti penyangkalan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Paulus menyadari bahwa ada perbedaan-perbedaan penting antara bangsa Yahudi dan non-Yahudi. Semua perbedaan ini perlu dikaji ulang dalam perspektif Injil Yesus Kristus: kematian dan kebangkitan-Nya.

Paulus mengajak jemaat non-Yahudi untuk memikirkan kembali keadaan mereka yang dahulu. Kata “mengingat” (mnēmoneuō) diletakkan di depan (ayat 11a). Objek ingatan ini ada dua; keduanya ditandai dengan kata sambung “bahwa” (hoti) di ayat 11 dan 12.

Yang perlu diingat adalah pandangan negatif dari pihak Yahudi kepada mereka yang bukan Yahudi (ayat 11). Bangsa-bangsa lain dianggap kaum yang tidak bersunat. Bagi orang Yahudi, sunat merupakan tanda perjanjian (Kej. 17) sekaligus kebanggaan (Flp. 3:5a). Semua bangsa di dunia dibedakan berdasarkan patokan ini: bersunat atau tidak bersunat. Bersunat berarti umat perjanjian. Bersunat berarti mempunyai Hukum Taurat. Sunat dan Taurat adalah kebanggaan besar bagi bangsa Yahudi.

Paulus memahami betapa sensitifnya persoalan ini, karena itu dia sangat berhati-hati dalam mengungkapkan hal ini. Dia tidak lupa menambahkan “menurut daging” atau “lahiriah”. Bagi Paulus, semua orang percaya adalah bangsa Israel secara rohani (Rm. 9:6; Gal. 6:16), keturunan Abraham (Rm. 4:9-25). Sunat yang sejati adalah dalam hati dan ditandai dengan ketaatan kepada Allah (Rm. 2:28-29).

Hal kedua yang diingat adalah keterpisahan dan keterasingan (ayat 12). Ayat ini dipenuhi dengan ungkapan “tanpa”, “tidak termasuk”, dan “tidak mendapat bagian”. Mayoritas versi Inggris mengungkapkan hal ini dengan lebih jelas: “terpisah”, “diasingkan”, “orang asing”, “tanpa pengharapan” dan “tanpa Allah” (bdk. KJV/NASB/ESV/NIV).

Bangsa-bangsa non-Yahudi hidup tanpa Kristus (tanpa pengharapan mesianis). Terpisah dari umat perjanjian yang khusus. Tanpa pengharapan. Tanpa Allah. Dari perspektif Yahudi, tidak memiliki semuanya ini berarti memiliki kehidupan yang sangat tragis. Bagi bangsa Yahudi, tidak peduli seburuk apapun keadaan mereka, yang penting mereka tetap sebagai umat pilihan yang memiliki pengharapan mesianis dan disertai oleh Allah.

Masih adakah orang-orang di sekitar kita yang merasa terasing dan terpisahkan? Masih adakah stereotipe negatif terhadap etnis atau golongan lain yang masih kita pertahankan?

 

Disatukan oleh Allah di dalam Kristus (ayat 13-18)

Perseteruan rasial antara Yahudi dan non-Yahudi sudah berlangsung berabad-abad. Banyak peristiwa pahit yang turut memperburuk keadaan. Berbagai labelisasi negatif terus bermunculan. Saling curiga dan menghina sudah menjadi begitu biasa.

Puji Tuhan! Allah tidak berdiam diri. Sejak awal Dia menciptakan manusia supaya menjadi penolong (Kej. 2:18) dan penjaga (Kej. 4:9). Ketika manusia gagal mencapai hal ini, Allah bertindak dengan cara-Nya sendiri.

Dua kubu yang dulu terpisah jauh kini didekatkan melalui Kristus (ayat 13). Kristus membawa pendamaian untuk kedua pihak. Kata “damai” atau “damai sejahtera” (eirēnē) muncul 4 kali (2:14, 15 17[2x]). Ide tentang dua menjadi satu juga muncul berkali-kali dalam bagian ini (2:14, 15, 16, 18). Belum termasuk kata “mempersatukan” (2:14) dan “memperdamaikan” (2:16).

Inti pendamaian berkaitan dengan Hukum Taurat (ayat 15). Beberapa versi bahkan memperjelas bahwa perseteruan yang dimaksud adalah Hukum Taurat (NASB “by abolishing in His flesh the enmity, which is the Law of commandments contained in ordinances”). Beberapa menempatkan Hukum Taurat sebagai faktor penambah perseteruan yang lain (KJV “Having abolished in his flesh the enmity, even the law of commandments contained in ordinances”).

Terjemahan manapun yang diadopsi, intinya tetap sama: perseteruan antara Yahudi – non Yahudi berhubungan erat dengan Taurat. Bangsa Yahudi merasa diri lebih saleh di hadapan Allah dibandingkan bangsa-bangsa lain karena mereka memiliki Taurat, baik yang tertulis maupun tradisi lisan. Mereka adalah umat pilihan yang diberikan hukum yang agung. Sikap negatif mereka terhadap bangsa lain dipicu oleh konsep mereka tentang Taurat.

Bagaimana pokok perseteruan ini dilenyapkan dan semua orang didamaikan? Pertama, kurban Kristus yang sempurna di kayu salib menggenapi semua tuntutan dan perintah Taurat (ayat 15). Bangsa Yahudi tidak patut membanggakan diri di atas Taurat, karena mereka terbukti gagal memenuhi semua perintah dan tuntutan yang ada di dalamnya (Rm. 2:17-24; Gal. 3:10). Bangsa-bangsa lain juga berdosa di hadapan Allah. Dengan demikian, tidak ada perbedaan di antara keduanya (Rm. 3:9-20).

Penggenapan Taurat di dalam Kristus menunjukkan bahwa semua orang berada pada posisi yang sama. Sama-sama gagal. Sama-sama bersandar pada karya Kristus. Tidak ada yang lebih daripada yang lain.

Kedua, memperdamaikan keduanya dengan Allah (ayat 16). Kegagalan dalam menaati Taurat membuat semua orang berada di bawah murka Allah. Tidak ada seorangpun yang dikecualikan. Semua berdiri sebagai seteru Allah yang patut dihukum. Semua tidak layak untuk mendekati Allah.

Melalui kurban Kristus, sebuah jalan yang baru telah dibuka (ayat 18). Bukan oleh ketaatan jasmaniah terhadap Taurat, melainkan secara Roh. Bukan melalui berbagai ritual relijius, melainkan iman kepada Kristus.

Di dalam Allah bangsa Yahudi dan Yunani dipersatukan. Mereka melintasi jalan masuk yang sama. Mereka memiliki tujuan yang sama. Keduanya tidak lagi terasing dari Allah.

Karya Kristus ini seharusnya lebih dari cukup untuk menjadi fondasi bagi kesatuan jemaat. Tidak boleh ada perbedaan apapun yang bisa menguranginya. Kesatuan di dalam Kristus jauh lebih fundamental daripada semua perbedaan yang superfisial.

Maukah Anda menanggalkan semua kebanggaan etnis yang ada? Maukah Anda menjadikan karya Kristus sebagai pengikat kuat dalam komunitas? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko