Jangan Membunuh (Matius 5:21-26)

Posted on 11/09/2016 | In Teaching | Leave a comment

Teks ini merupakan pendahuluan dari rangkaian penjelasan Tuhan Yesus terhadap Hukum Taurat (dan tradisi yang mengikutinya). Ungkapan “kamu telah mendengar apa yang difirmankan kepada nenek moyangmu” (ayat 21, 27, 31, 33, 38, 43) bisa merujuk pada Hukum Taurat atau pemahaman orang-orang Farisi dan ahli Taurat terhadap Hukum Taurat. Jika berkaitan dengan yang pertama berarti Tuhan Yesus sedang menafsirkan ulang Hukum Taurat. Ia tidak membatalkan atau merendahkan Taurat (bdk. 5:17-20). Ia hanya memperjelas esensi dari perintah-perintah Allah di dalam Hukum Taurat. Jika berkaitan dengan yang kedua berarti Tuhan Yesus sedang memberikan kritikan terhadap penafsiran kelompok Farisi dan ahli Taurat. Mereka telah melakukan kesalahan dalam bentuk menambahkan berbagai tradisi lisan buatan manusia dan menganggapnya setara (atau lebih tinggi) daripada Hukum Taurat itu sendiri (bdk. 15:1-9).

Perintah jangan membunuh (ayat 21)

Kita sebaiknya memahami “membunuh” (ayat 21a) di sini bukan secara umum (kill), tetapi dalam konteks tindakan kriminal pembunuhan (murder). Tidak semua pembunuhan dikecam dalam Alkitab. Allah menerapkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan yang serius (Kel 21:12, 15-17, 29; 22:19). Beberapa suku yang terkenal dengan kekejamannya juga diperintahkan untuk ditumpas (Kej 15:16; 1 Sam 15:33). Keseriusan hukuman ini bukan penolakan terhadap nilai manusia sebagai gambar Allah (gambar Allah tidak pantas untuk dibunuh). Sebaliknya, hukuman ini merupakan tindakan preventif bagi kemungkinan pembunuhan-pembunuhan yang lebih besar dan sembarangan.

Membunuh dalam arti tindakan kriminal (murder) sudah dilarang oleh Alkitab sejak awal. Kejadian 9:6 mengajarkan: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri.” Larangan ini juga muncul dalam Dasa Titah (Kel 20:13).

Frasa “siapa membunuh harus dihukum” (ayat 21b) kemungkinan merupakan penafsiran tradisional yang berkembang dalam masyarakat Yahudi secara turun-menurun. Konsekuensi pembunuhan ini diletakkan dalam konteks hukum yang sangat kental. Kata “harus” (enochos) secara hurufiah berarti “pantas secara legal,” sedangkan kata “dihukum” (tē krisei, lit. “kepada penghakiman”) juga mengandung nuansa legal yang kuat. Nuansa ini semakin kental dengan pemunculan Mahkamah Agama sebagai badan legal (ayat 22) dan hakim pengadilan (ayat 25).

Penafsiran ulang terhadap perintah (ayat 22)

Orang yang bijaksana selalu melihat pada esensi, bukan ekspresi; pada apa yang tersembunyi, bukan pada permukaan saja. Itulah yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Ia tidak mau hanya berkutat pada bentuk tindakan (pembunuhan), melainkan pada esensi dari tindakan itu (kemarahan yang tidak benar).

Frasa “tetapi Aku berkata kepadamu” (egō de legō hymin) menyiratkan penekanan (kata “Aku” muncul sebanyak dua kali). Penegasan ini berfungsi untuk menunjukkan otoritas Tuhan Yesus (bdk. 7:28-29). Ia tidak menggantungkan otoritas pada tradisi, melainkan pada diri-Nya sendiri.

Esensi dari larangan untuk membunuh adalah kemarahan (ayat 22a “setiap orang yang marah terhadap saudaranya”). Terjemahan “marah tanpa alasan” dalam beberapa terjemahan kuno (misalnya KJV) didasarkan pada salinan-salinan yang kurang bisa dipercaya. Walaupun “tanpa alasan” tidak ada di naskah asli, tetapi tambahan ini merupakan penafsiran yang benar. Tidak semua kemarahan adalah berdosa. Pemazmur berkata: “Biarlah kamu marah, tetapi jangan berbuat dosa” (Mzm 4:5). Kalimat yang sama dikutip dalam Efesus 4:26. Tuhan Yesus juga beberapa kali marah (Mrk 3:5).

Jenis kemarahan yang dimaksud di ayat 22a diterangkan di bagian selanjutnya. Ini bukan kemarahan yang kudus atau yang biasa. Orang yang marah ini menyebut saudaranya sebagai “kafir” (rhaka). Asal-usul dan makna kata rhaka sulit dipastikan. Beberapa penerjemah memilih untuk mempertahankan kata asli ini (KJV/ASV/NIV). Beberapa versi hanya menambahkan “menghina,” tetapi tidak menuliskan isi dari hinaan itu (RSV/ESV). Jika kata rhaka berasal dari istilah Aramik yang berarti “kosong,” arti kata ini sangat mungkin berhubungan dengan perendahan terhadap orang lain. Rhaka mungkin berarti “(kepala) kosong” (bodoh) atau “tidak memiliki nilai sekali”. Penerjemah NASB telah bertindak bijaksana pada waktu memilih: “you good-for-nothing”.

Hinaan lain yang diucapkan adalah “jahil” (mōros). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “jahil” berarti “bodoh, terutama dalam hal keagamaan.” Hampir semua versi Inggris juga memilih terjemahan “bodoh”. Walaupun dari sisi terjemahan hurufiah sudah jelas, namun makna di baliknya masih kabur. Tidak semua ucapan “bodoh” yang ditujukan pada seseorang berarti pantas untuk dihukum. Tuhan Yesus memanggil orang-orang Farisi sebagai orang-orang bodoh (23:17). Para rasul beberapa kali menegur kebodohan jemaat (1 Kor 3:18; 15:36; Gal 3:1; Yak 2:20). Sebagian penafsir menduga kata “bodoh” di sini tidak hanya memiliki muatan intelektual, tetapi terutama secara relijius dan moral. Bodoh dalam arti “jahil” (LAI:TB).

Yang dipentingkan dalam penghinaan ini bukanlah kata-katanya, melainkan sikap hati terhadap orang lain. Ini tentang kemarahan yang merendahkan orang lain. Ini tentang kebencian terhadap orang lain. Merendahkan dan membenci orang lain secara esensial tidak berbeda dengan pembunuhan. Orang yang membunuh dan menghina sesamanya berarti tidak menghargai orang lain sebagai gambar Allah (Kej 9:6; Yak 3:9). Orang yang membenci sesamanya berarti seorang pembunuh (1 Yoh 3:15). Bukankah semua tindakan kriminal pembunuhan yang disengaja berasal dari kemarahan, kebencian, dan penghinaan terhadap orang lain?

Sama seperti pembunuh, orang yang marah secara sembarangan, benci, dan merendahkan sesamanya juga patut dihukum (Mat 5:22). Konsekuensi ini bukan hanya secara legal (dibawa ke Mahkamah Agama), melainkan juga secara spiritual. Orang itu pantas dihukum ke dalam neraka. Orang yang tidak mau mengampuni sesamanya berarti tidak menyadari betapa besar dosa-dosanya dan memerlukan pengampunan dari Allah (6:12, 14-15). Orang yang tidak mau mengampuni sesamanya berarti belum mengalami pengampunan sejati dari Allah (18:21-35).

Aplikasi (ayat 23-26)

Teguran dan peringatan yang keras di ayat 21-22 bukan hanya dimaksudkan sebagai tambahan informasi. Ada respons yang dituntut. Ada tindakan yang perlu diambil. Hal ini ditunjukkan melalui pemunculan kata sambung “sebab itu” di awal ayat 23. Perubahan kata ganti orang dari “barangsiapa” menjadi “engkau” semakin memperkuat nuansa aplikasi dari bagian ini.

Ada dua konsekuensi dengan inti yang sama, yaitu berdamai. Yang satu berkaitan dengan saudara (ayat 23-24), yang lain dengan lawan (ayat 25-26). Yang satu dalam konteks ibadah, yang lain dalam konteks pengadilan.

Bagi orang Yahudi, mempersembahkan kurban di bait Allah merupakan tindakan yang sangat relijius. Sebagian bahkan menganggap ritual ini sebagai hal yang paling penting. Tidak heran mereka terjebak pada ritualisme, yaitu mementingkan ritual di bait Allah tetapi melupakan kehidupan keseharian. Para nabi mengecam orang-orang Israel yang rutin memberikan kurban tetapi juga terlibat dalam dosa-dosa yang lain (Yes 1:10-20; Am 5:21-24). Tuhan Yesus menegur orang-orang Farisi yang melupakan tanggung-jawab kepada orang tua demi urusan bait Allah (Mat 15:3-6). Mereka juga rajin dalam memberikan persembahan tetapi melupakan belas kasihan dan keadilan bagi orang lain (Mat 23:23). Bagi Tuhan Yesus, ibadah bukan hanya terbatas pada hal-hal ritual, melainkan juga mencakup kehidupan sehari-hari, termasuk bagaimana menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Relasi vertikal dengan Allah dan relasi horizontal dengan orang lain harus sama-sama sehat.

Apabila seseorang teringat ada sesuatu dalam hati saudaranya terhadap dia, ia perlu membereskan persoalan itu terlebih dahulu. Menariknya, yang dibicarakan di sini bukanlah kemarahan dari orang yang sedang mempersembahkan kurban, melainkan kemarahan orang lain. Jadi, kita tidak hanya dituntut untuk menahan kemarahan, namun juga tidak membangkitkan kemarahan orang lain. Entah kita yang sedang marah atau orang lain yang marah, dua-duanya perlu segera diselesaikan. Kesegeraan ini bahkan diterangkan melalui situasi yang sangat ekstrim: meninggalkan kurban yang sedang dipersembahkan. Pesan yang disampaikan cukup jelas: sesuatu yang dianggap paling penting sekalipun (misalnya mempersembahkan kurban) masih kalah penting dengan kedamaian dan kasih terhadap orang lain.

Contoh yang kedua adalah proses tuntutan ke pengadilan (ayat 25-26). Kasus yang sedang dipikirkan adalah perkara perdata yang berhubungan dengan hutang-piutang. Jika ada orang yang menuntut kita ke pengadilan, cepatlah selesaikan persoalan itu sebelum diputuskan di pengadilan. Penyelesaiannya seperti apa tidak dijelaskan di ayat ini. Yang disorot adalah hasilnya, yaitu perdamaian. Mungkin si penggugat akan memberikan tenggat waktu tambahan untuk pelunasan dengan jaminan tertentu. Mungkin yang dituntut merendahkan diri dengan meminta maaf dan mulai menunjukkan itikad baik untuk membayar hutangnya.

Pesan yang ingin diungkapkan di ayat 25-26 sama dengan ayat 23-24. Perdamaian tidak seharusnya ditunda-tunda. Perdamaian tidak perlu menunggu situasi yang lebih buruk. Kapanpun dan di manapun, perdamaian perlu segera dilakukan. Ini bahkan tetap harus segera diupayakan dengan orang-orang yang memusuhi kita. Orang yang tidak mau berinisiatif maupun suka menunda-nunda perdamaian dengan orang lain tidak lebih benar daripada para pembunuh. Masihkah Saudara akan menunggu? Soli Deo Gloria.

Yakub Tri Handoko